Friday, April 24, 2009

Seratus Buku Sastra: Pencarian Penyair (5 dari 20)

Oleh AN Ismanto

Pertanyaan abadi dalam hidup manusia menimpakan “kutuk” dan “berkat” pada saat yang bersamaan. Pertanyaan-pertanyaan memang telah coba dijawab oleh nalar—dan ilmu sebagai pirantinya. Namun ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan nalar. Jawabannya mungkin memang ada, namun berupa dugaan dan “lokalistis”—maksudnya, tidak disepakati sebagai jawaban yang secara universal dianggap “benar”.

Maka, pertanyaan tentang “roh”, “jiwa”, kelahiran, kematian, Tuhan, hubungan antarmakhluk hidup, eskatologi, usia, kosmologi, waktu, dan ruang, menimbulkan jawaban yang beragam. Pertanyaan “Siapakah atau apakah Tuhan itu?”, misalnya, dapat membuat dua orang yang berbeda agama dan keyakinan berdiskusi atau melakukan pencarian jawaban sampai mati.

Soal-soal eksistensial seperti ini mungkin dapat dirumuskan dengan “tiga pertanyaan dasar dalam hidup”: Dari mana kita datang? Sedang apa kita dalam hidup ini? Ke mana kita pergi setelah mati?—betul, memang ini “judul” salah satu lukisan Gauguin. Soal-soal ini adalah rangsang pertama yang selalu melahirkan “tanya di hati” para pengarang kita. Hasilnya adalah karya-karya seperti Deru Campur Debu dan Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan yang Putus. Kedua buku ini memerlukan keterangan tersendiri.

Kedua buku ini “patut dibaca” sebagai satu kesatuan karena ada banyak sajak penting yang sama-sama termuat ke dalam buku itu. Konsekuensinya dari segi pembacaan sangat penting. Profesor Teeuw, misalnya, menunjukkan ada perbedaan tekstual antara sajak “Kawanku dan Aku” dalam kedua terbitan itu. Dalam Deru Campur Debu, bait terakhir sajak itu berbunyi “Sudah larut sekali/Hilang tenggelam segala makna/Dan gerak tak punya arti”. Sedangkan dalam Kerikil Tajam, bunyinya adalah “Sudah larut sekali/Hingga hilang segala makna/Dan gerak tak punya arti”. Analisis Profesor Teeuw menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kedua versi itu: “hingga hilang” dianggap lebih baik ketimbang “hilang tenggelam”.

Virtuositas Chairil dalam menyajak diimbangi dengan klop oleh kedalaman “isi” sajak-sajak dalam kedua buku yang terbit secara anumerta itu. Walhasil, banyak sajak Chairil yang sekaligus merupakan puisi suasana dan puisi ide karena efek yang ditumbulkannya dari teks.

Eksistensialisme sering dilekatkan pada sajak-sajak dalam buku-buku ini. Anasir yang paling sering dirujuk orang adalah hedonisme—baik positif maupun negatif—yang terkandung di dalam sajak-sajak itu. Bagi Jassin, seruan “Aku mau hidup seribu tahun lagi”, misalnya, pada masa sajak “Aku” ditulis adalah “goncangan” tersendiri terhadap kecenderungan umum yang berlaku pada masa sajak itu ditulis, yaitu kepasrahan total seperti yang dianjurkan oleh tradisi masyarakat Indonesia pada masa itu. Elan vital semacam inilah yang membuat penyairnya ditahbiskan sebagai “dewa sastra Indonesia” dan dipuja habis-habisan oleh banyak orang.

Orang juga merujuk kepada ekspresi eksistensialis lain yang diajukan oleh Chairil, yaitu kematian, tepatnya pada sajak “Yang Terampas dan yang Putus”:

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku
Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin
Malam semakin merasuk, rimba jadi semati tugu
Di karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
Lalu aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu
Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku


Dua sajak yang berlainan “isi”-nya itu membuat kita menyadari kompleksitas kehidupan manusia. Seakan-akan sajak-sajak dalam buku-buku ini membukakan dugaan, bahwa orang yang haus akan hidup ternyata bisa juga sangat haus akan kematian.
“Isi” dari buku-buku semacam Deru Campur Debu dan Kerikil Tajam seringkali mendapatkan perhatian yang berlebih ketimbang “bentuk” sastra yang mewadahinya. Sehingga, kilauan wujudnya sebagai sebuah “komposisi sastra”—komposisi menyiratkan adanya campur tangan bakat, keahlian, dan ketekunan—seringkali kalah ketimbang “amanat” (atau “pesan” atau “isi”). Akibatnya cukup mengkhawatirkan.

Kecerlangan kedua buku itu membuat banyak orang hendak meniru sosok si pencipta. Sayangnya, yang kemudian ditirukan lebih banyak sekadar sosok lahiriah saja: penyair yang kumal, bohemian, “semau gue”, hedonistik. Sedangkan usaha penciptaan karya yang cerlang seperti kedua buku itu menjadi nomor dua: banyak penyair yang sekadar pesolek dan kenes namun miskin papa dalam soal karya.

Jika Deru Campur Debu dan Kerikil Tajam sering dirujuk sebagai perwujudan elan vital dan elan mortal pada titik paling ekstrem, Dan Kematian Makin Akrab, Atheis, duka-mu abadi, Ziarah, Sajak-sajak 33, Sebuah Radio, Kumatikan, dan Gairah untuk Hidup dan Gairah untuk Mati melakukan “pendalaman” pada ruang di antara kehidupan dan kematian.

Ruang di antara kedua titik itu terisi antara lain oleh pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan dan hubungan antarmakhluk (baik antarinsan maupun antara insan dengan makhluk lain).

Atheis mendedahkan pergolakan keyakinan seseorang akan Tuhan sebagai causa prima bagi segala sesuatu Dan Kematian Makin Akrab adalah kumpulan sajak-sajak pilihan dari seorang penyair yang telah puluhan tahun menggeluti persajakan dan menampilkan sajak-sajak yang kontemplatif dan ideistis, seperti “Salju” dan “Dan Kematian Makin Akrab”.

Sedangkan Sajak-sajak 33 dan Sebuah Radio, Kumatikan banyak menyoal hubungan antara laki-laki dan perempuan. Melalui komposisi yang rumit, misalnya, Cocktail Party mengungkapkan kegeraman atas “nasib” perempuan yang “dikutuk” untuk hidup dalam sebuah dunia sosial yang partriarkhal.

Sementara itu, duka-mu abadi adalah kumpulan komposisi literer yang banyak memanfaatkan simbol-simbol religius dan alam untuk mengartikulasikan pelbagai soal eksistensial. Gairah untuk Hidup dan Gairah untuk Mati langsung menyergap pembaca dengan judulnya, yang menggunakan tanda-tanda (hidup, mati) yang menjadi atribut dasar eksistensialisme—mahzab apapun. (Bersambung)

No comments: