Thursday, April 23, 2009

Seratus Buku Sastra: Riuh Di Masa Jepang (4 dari 20)

Oleh AN Ismanto

Masa pendudukan Jepang (1942-1945) adalah periode yang buruk dalam sejarah Indonesia. Masa ini sering dilukiskan sebagai masa di mana situasi perang membuat orang Indonesia sangat menderita.

Pelukisan semacam ini merangsang timbulnya pandangan yang menempatkan para pelibat di dalamnya pada posisi yang oposisional secara eskstrem: ada penjajah dan ada pihak yang dijajah.

Ditulis jauh setelah masa itu berlalu, Dan Perang pun Usai punya kesempatan yang lebih luas untuk mendedahkan bahwa situasi perang pada masa itu sebenarnya mengandung kontradiksi-kontradiksinya sendiri.

Letnan Ose, pribadi yang hidup—dan berpencaharian—dari adanya perang namun justru menginginkan perang itu selesai, Wimpie si Belanda interniran Belanda, Kliwon si Jawa romusha yang digelandang ke Riau, Satiyah yang diperbantukan kepada Ose, adalah sosok-sosok yang tidak pas jika ditempatkan dalam relasi oposisional yang kaku.

Oleh keberadaan sosok-sosok itu, kehidupan pada masa yang keras itu dalam roman ini adalah kehidupan yang bergradasi, tak melulu hitam-putih. Namun komposisinya secara keseluruhan pekat oleh ideal populer bahwa perang membuat manusia sengsara dan manusia harus dibebaskan dari kesengsaraan itu.

Jalan pembebasan itu rupanya bagi sebagian besar tokohnya adalah kematian. Namun demikian, mereka yang tetap hidup pun dipandang sebagai ideal juga, yang punya kemuliaannya sendiri. Maka dapat dimafhumi bila Letnan Ose tak melakukan harakiri sebagaimana teman-temannya sesama serdadu Jepang.

Sedangkan perang yang terjadi selama Revolusi Fisik (1945-1950) dipandang lebih kurang sebagai perang yang adil (just war) oleh bangsa Indonesia—dan juga oleh sebagian besar pengarang Indonesia. Dalam perang total itu berhadapan kekuatan-kekuatan yang tujuannya saling bertolak belakang: yang satu kepingin kembali berkuasa sedangkan yang satu lagi menolak dikuasai oleh penguasa yang lama.

Dalam perkembangan situasi selama Revolusi Fisik itu, yang saling berhadapan bukan hanya dua kekuatan lagi, melainkan lebih. Sejarawan kita mencatat bahwa selama periode genting itu timbul berkali-kali perpecahan sosial politik yang melibatkan kekerasan.

Salah satu yang membuat publik sastra kita trenyuh sampai sekarang adalah tentang terbunuhnya Raja Penyair Pujangga Baru Amir Hamzah dalam revolusi sosial yang pecah di Sumatera Timur tak lama setelah Proklamasi.

Dalam lapangan politik, pihak “sini” goyah ketika suatu faksi politik menculik PM Hatta. Dalam lapangan ekonomi, Ori (Oeang Republik Indonesia) megap-megap digasak uang merah terbitan NICA. Dalam lapangan militer, TNI kacau balau sehingga NICA-KL/KNIL berhasil dua kali memuingkan garis pertahanan linear di Jawa dan Sumatera. Perpecahan semakin meluas ketika FDR melancarkan “kup” di Madiun pada 1948.

Di pihak “sana” sendiri terjadi bentrok antarpartai di Tweede Kamer ketika membahas persoalan Indonesia.

Puncak dari semua kemelut itu adalah perang. Bangsa yang hendak dijunjung tinggi oleh karya-karya sastra berbahasa Indonesia terancam batal dan, bahkan, punah.

Pagar Kawat Berduri dan Pulang adalah dua karya utama yang bercorak romantisisme revolusioner. Walaupun keduanya secara emosional menggambarkan peperangan itu sebagai perang yang syah dan secara keseluruhan merupakan glorifikasi terhadap periode penuh peluru dan pembunuhan itu, namun mereka punya asumsi-asumsi ideal masing-masing.
Pagar Kawat Berduri terasa lebih kosmopolit dan “toleran” karena memberikan ruang yang lapang juga kepada tokoh “musuh” untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya tentang relasi Indonesia-Belanda.

Sedangkan dalam hal tokoh-tokoh Indonesia, kedua roman itu sama-sama melukiskan sebagaimana galibnya dan sebagaimana seharusnya pelukisan tokoh pejuang pada masa itu: keras hati, rela berkorban, mencintai Tanah Air, namun dengan perumitan yang memperlihatkan “daging dan tubuh” mereka sehingga menjadi sosok yang seolah-olah bernyawa, utuh-lengkap sebagai manusia, termasuk pula dengan rasa-rasa negatif seperti benci, iri hati, takut.

Bahkan ketika tokoh utama dalam Pulang adalah “pejuang” yang pernah menjadi anggota Heiho serta melakukan kebohongan publik, ia dilukiskan tetap berusaha memenuhi ideal pejuang yang populer pada masa itu.

Latar untuk narasi-narasi dalam Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma merentang sejak masa pendudukan Jepang hingga Revolusi Fisik. Inilah kumpulan narasi yang membuat banyak orang menuduh pengarangnya sebagai “defaitistis” dalam revolusi Indonesia.

Berlawanan dengan karya-karya sastra yang memperlakukan masa Jepang dengan “intensifikasi kesengsaraan rakyat” dan revolusi dengan glorifikasi yang membuta-tuli, Dari Ave Maria penuh dengan narasi-narasi tentang “kejelekan-kejelekan” yang kontroversial dan skeptis, terutama dalam novelet “Surabaya”.

Namun “sisi lain” dari perjuangan itu justru menghadirkan warna lain dalam lanskap kesusastraan kita yang pada waktu itu masih hijau.

Gaya tutur dalam karya ini memang luar biasa dan “baru” bagi masanya yang masih belum lepas dari gaya romantik-impresionis. Dari Ave Maria ditulis dengan gaya yang disebut oleh HB Jassin sebagai “kesederhanaan baru”: kalimatnya pendek-pendek, pikiran-pikirannya meloncat-loncat, dalam satu kalimat terkandung banyak pikiran, pikiran dan perasaan tidak dituruti sampai yang sekecil-kecilnya, satu perkataan mengandung banyak asosiasi, artinya oleh satu perkataan itu orang jadi teringat pada banyak pikiran yang lain.

Lebih jauh, Jassin menyatakan bahwa narasi-narasi Idrus bukanlah cerita pendek, akan tetapi “lukisan-lukisan”, yang melukiskan keadaan-keadaan, kejadian-kejadian, dan kelakukan-kelakukan orang seorang sekelilingnya, tapi tidak sampai menceritakan dari semula hingga akhirnya pertumbuhan sesuatu kejadian atau sesuatu jiwa. Dengan kebaruan-kebaruan itulah maka dari Dari Ave Maria ditabalkan sebagai pembaharu prosa sastra Indonesia modern.

Jalan Tak Ada Ujung mengambil garis yang sama sinisnya dengan Dari Ave Maria. Namun, gaya tutur karya yang ditulis setelah konfrontasi dengan pihak “sana” rampung ini berlawanan dengan Dari Ave Maria. Perkembangan jiwa adalah pokok yang utama dan ditelisik perkembangannya sebegitu detail sejak awal hingga akhir sehingga ditemukan sebab-sebab penyimpangan yang terjadi.

Guru Isa, misalnya, diceritakan sembuh dari impotensi setelah ia mengetahui bahwa sebab penyakitnya itu adalah ketakutannya yang berlebihan kepada ketidakpastian dan kekerasan hidup yang muncul sebagai akibat masuknya kembali Belanda ke Indonesia. Dalam roman ini terlukiskan bahwa revolusi Indonesia, se-syah apapun, juga menimpakan akibat yang melukai kemanusiaan.

Mungkin, Jalan Tak Ada Ujung memang sebenarnya sepakat dengan adagium yang telah kelewat sering diulang-ulang itu: “Revolusi memakan anak-anaknya sendiri”. (Bersambung)

No comments: