Sunday, April 26, 2009

Seratus Buku Sastra: Puncak Surealisme (6 dari 20)

Oleh AN Ismanto

Komposisi realis dalam sastra rupanya tidak memuaskan para pengarang kita. Kerangka realisme yang banyak dipakai dianggap tidak memberikan ruang yang cukup sehingga Godlob, Sumur Tanpa Dasar, dan Memorabilia pun muncul.

Ketiga karya itu mengingatkan kita pada Andre Breton yang pernah menyatakan bahwa kesenian harus berasal dari alam bawah sadar dan oleh karena itu seniman harus mendapatkan ilham sebebas-bebasnya dari imaji-imaji impiannya. Namun, seniman juga berusaha mencapai “super-realisme”, tempat antara batas-batas mimpi (dunia di dalam bawah sadar) dan kenyataan (dunia di dalam kesadaran) melebur.

Seniman pun diasumsikan sebagai seseorang yang memiliki kapabilitas untuk menembus sensor dari kesadaran dan membiarkan kata-kata dan imaji-imaji itu bermain dengan bebas.

Godlob adalah sebuah kumpulan cerpen dengan tema-tema yang “melangit” dan diceritakan dengan cara yang surealistis. Di dalamnya kita mendapati pertemuan antara cerita-cerita yang sudah dikenal sebelumnya dengan hal-hal baru yang dibawa Danarto dan “dihantamkannya” sehingga segala isi badan cerita yang mapan itu berantakan dan terbentuklah bangunan cerita yang baru.

Peristiwa dalam cerita juga seringkali musykil terjadi di alam nyata dan hanya mungkin terjadi di dalam angan-angan yang tak berbatas itu. Namun, pencampur-bauran cerita-cerita itu tidak dilakukan dengan sembarangan, melainkan dengan penuh perhitungan.

Alhasil, kita mendapati, misalnya, wawasan yang mendalam tentang kosmologi dalam cerpen berjudul “Godlob” yang mendedahkan oposisi biner yang melandasi kosmos. Sekilas, cerpen ini dan cerpen-cerpen lainnya merupakan “khotbah” tentang soal-soal eksistensial yang “berat” yang dibungkus dengan rangkaian cerita. Hanya berkat kemampuan bercerita pengarangnya saja maka “khotbah” atau “ajaran” itu tidak menjadi bacaan yang membosankan.

Maka dapat dimafhumi bila pola cerita dalam cerpen-cerpen itu biasanya adalah pencarian seorang tokoh yang kebingungan karena tak tahu apa yang mereka cari namun kemudian menemukan pencerahan.

Tuhan dan alam setelah kehidupan banyak ditemukan di dalam kumpulan cerpen ini. Rintrik yang buta di dalam cerita “Hujan” dapat menjadi contohnya: bahkan di dalam cerita ini karakter Rintrik menekankan hubungannya dengan Tuhan dalam sebuah bentuk yang sangat manusiawi, ”Untuk terakhir kalinya apa keinginanmu?”, ”Syahwat yang besar sekali”, ”Apa itu?”, ”Melihat Wajah Tuhan”.

Pencarian para tokoh di dalam kumpulan cerpen “Godlob” mewakili suara-suara tentang realitas kehidupan manusia yang penuh dengan perjuangan mencari kebenaran. Kebenaran yang ditemui tidak pernah sejati dan selalu saja berubah bentuk dalam kehidupan manusia yang multidimensi ini.

Bila surealisme a la Godlob adalah surealisme yang religius dan transendental, maka surealisme yang diusung oleh Memorabilia tampak aneh, absurd, dengan sinisme sosial yang bernuansa kelam.

Bentuk cerpen-cerpen dalam himpunan cerpen itu berupa struktur narasi yang mengekspresikan kecemasan, kesunyian yang berbaur dengan kekerasan dan keliaran, dan memperlihatkan karakter tokoh-tokoh yang schizophrenik yang didukung oleh detail-detail yang cermat dan digambarkan pada tingkat yang paling esktrem, entah yang baik entah yang buruk.

Misalnya, konstruk sosial tentang anak laki-laki yang harus perkasa begitu melekat pada diri seorang ayah dalam cerita “Anak Ayah”.
Keperkasaan itu diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan kekerasan. Si ayah gemar menghajari si ibu, yang dianggap sebagai makhluk lemah. Contoh itu membuat si anak berani melakukan tindakan kekerasan dan pemerasan kepada sekelompok anak-anak sekolah.
Ketika anak-anak itu melawan, si ayah menyuruh si anak melakukan perhitungan. Si anak membunuh salah satu dari anak-anak sekolah itu sehingga ia ditangkap dan dibui.

Namun, pada akhirnya, bukan kekerasan yang menjadikan seseorang manusia bahagia, melainkan kasih sayang. Selama di penjara, hanya ibunya yang menjenguk si anak. Hal itu membuat si anak menyadari bahwa ayahnya, yang sangat dipujanya itu, bukanlah sosok yang pantas untuk dipuja. Maka selepas dari penjara ia mencari si ayah dan membunuhnya.

Kekerasan juga menjadi tampak sangat menjijikkan dalam “Keluarga Bahagia”. Tokoh aku semula tak ingin menikah karena sering melihat orangtuanya bertengkar dan berkelahi.

Ketika si aku akhirnya jatuh cinta dan menikahi sebuah jerangkong, keluarganya dikaruniai “anak-anak serigala” yang sangat nakal, bahkan tega membunuh orang yang mengadu kepada si aku tentang kenakalan anak-anaknya. Si aku menyesal, tetapi ia tak berdaya menghadapi kenakalan anak-anaknya.

Kekelaman suasana dalam cerpen-cerpen Memorabilia seakan menyiratkan pandangan hidup yang pesimis. Dunia dipandang sebagai tempat yang sangat menjijikkan, kotor, tidak aman, dan penuh kekerasan.

Akan tetapi, dengan mengingat Bertold Brecht, cerpen-cerpen itu justru bisa dimaknai lebih positif: Memorabilia seperti sekadar menunjukkan, bahwa bila konstelasi sosial, politik dan kemanusiaan dibiarkan terjadi seperti di dalam cerpen-cerpen “mengerikan” itu, maka kondisi “mengerikan” itu memang akan terjadi dalam kenyataan.

Godlob dan Memorabilia adalah puncak-puncak surealisme dalam sastra kita. Namun, bila Godlob banyak menerapkan teknik surealisme untuk mengolah tema-tema yang “melangit”, Memorabilia menerapkan teknik yang sama untuk tema-tema yang lebih “membumi”.

Di sinilah juga kita temukan kearifan pencarian persona kreatif: selalu ada lanjutan bagi capaian sastra yang telah dianggap mapan.

Kebalauan surealisme sekilas sulit untuk diterapkan dalam naskah lakon. Namun, Sumur Tanpa Dasar berhasil menyiasati trisula kesatuan di dalam drama. Ada dua buah alam yang dilukiskan oleh naskah ini, yaitu alam faktual dalam drama dan alam angan-angan yang ada dalam kepala Jumena.
Dialog atau peristiwa dalam angan-angan dihadirkan pada panggung yang sama dengan yang terjadi di alam faktual dalam drama. Batas-batas masing-masing alam disiasati dengan pergantian giliran dialog dan tindakan.

Maka, Pemburu yang hanya hidup dalam kepala Jumena dapat berbicara dan beraksi di atas panggung. Pada saat yang sama, dialog dan peristiwa potensial dalam alam faktual diam. Demikian juga sebaliknya: bila alam faktual Jumena yang hendak diajukan kepada penonton, maka alam angan-angan membeku.

Penyiasatan naskah ini tidak sebatas itu saja. Waktu pun disiasatinya. Bila salah satu alam sedang berlangsung, maka alam yang lain dilukiskan membeku baik ruang dan waktunya. Sehingga dua alam itu dapat terus berlangsung secara konsisten menurut hukum-hukumnya sendiri. Dengan cara inilah batas-batas teknis dalam pemanggungan suatu naskah lakon didobrak.

Dengan teknik surealis semacam ini, Sumur Tanpa Dasar lebih cenderung mengisahkan manusia sebagai pribadi. Akibat-akibat sosial dari Jumena sang tokoh utama adalah keluaran dari apa yang berlangsung di dalam dirinya, yang tergambar dengan jelas melalui dialog dan peristiwa yang melibatkan Pemburu.

Ketakutan akan kematian, rasa sayang kepada harta, dan kecintaan kepada kerja keras, menjelma menjadi motif psikologis yang menyebabkan reaksi sosial di alam faktual.

Asumsi-asumsi eksperimentalistik-surealis Godlob, Sumur Tanpa Dasar, dan Memorabilia yang melahirkan “ketercekaman” dan “kekelaman” memperoleh imbangan dari Cantik Itu Luka.

Cantik Itu Luka menawarkan kisah pergulatan nasib yang absurd yang kerap dialami oleh mereka yang hidup pada zaman peralihan. Pergantian kekuasaan kerapkali menyisakan banyak ruang kosong yang tak tersentuh oleh sistem kekuasaan yang baru dan sebagai gantinya diisi dengan chaos. Tokoh sentral Dewi Ayu dan tokoh-tokoh lainnya dalam novel ini berada dalam pusaran itu.

Melalui balutan mitos dan legenda-legenda lokal, Eka Kuniawan berhasil menghadirkan nuansa komikal yang kental dan membuat penderitaan tokoh-tokohnya menjadi semacam lelucon kesedihan yang tak berkesudahan.
Kesannya mungkin tragis, namun lucu dan ringan. Teknik ini sepadan dengan yang kita temukan pada Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Maquez yang kerap dilabeli sebagai “realisme magis”.

Semangat “realisme magis” menyajikan kenyataan sebagai fakta yang dilumuri dengan berbagai macam mitos dan legenda dan berusaha menjungkirbalikkan keyakinan tentang kenyataan empirik yang diyakini sebagai suatu rumusan yang logis. Pada Cantik Itu Luka, semangat ini terbubuh sejak halaman pertama:

“Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematiannya. Seorang bocah gembala dibuat terbangun dari tidur siang di bawah pohon kamboja, kencing di celana pendeknya sebelum melolong, dan keempat dombanya lari di antara batu dan kayu nisan tanpa arah bagaikan seekor macan dilemparkan ke tengah mereka. Semuanya berawal dari kegaduhan di tengah kuburan tua.”

Melumernya realitas ke dalam cawan mitos dan legenda memaksa pembaca tenggelam dalam pusaran pertanyaan filosofis: milik siapakah sebenarnya realitas itu, masyarakat umum yang cenderung irasional ataukah milik para akademisi yang mendasarkan disiplin keilmuannya pada ketatnya kontrol rasionalitas?

Tarikan ke arah yang lebih “membumi” justru datang dari perpuisian Celana. Kumpulan puisi ini sering dianggap bernada satir yang humoristis dan mengajak pembacanya untuk tersenyum masam.

Metafor-metafornya dibangun dari barang-barang sederhana yang ada di sekeliling. Namun, tentu saja, barang-barang sederhana itu tak lagi menjadi sederhana ketika telah diracik menjadi puisi.

Keseharian dan kesederhanaan itu disampaikan dalam bentuk “cerita mini” yang punya awalan dan akhiran—biasanya akhiran inilah bagian yang paling “meninju” dalam bangunan puitiknya.

Salah satu puisi Celana berkisah tentang seseorang yang berniat membeli celana namun tidak ada yang cocok dan akhirnya ia memutuskan untuk ke kuburan. Di sana, ia hanya ingin bertanya di mana sang ibu menyimpan celana yang dikenakannya semasa kecil dulu.

Pada barang celana yang sederhana ini, kita bisa melekatkan banyak wacana, mulai dari ketubuhan hingga teori-teori intensionalisasi. Misalnya, kita bisa meletakkan celana sebagai kutub pembanding untuk mengumpamakan tema rasa malu dalam psikoanalisis Freudian. (Bersambung)

No comments: