Oleh Thomas Rosid
”Buku pelajaran yang berkualitas menjadi modal utama peningkatan mutu pendidikan,” kata Alan Cunningworth (1995), pakar pendidikan Inggris. Guru kurang profesional atau kurang pengalaman, asal menggunakan buku yang bermutu, akan dapat mengembangkan kegiatan belajar-mengajar yang unggul dan menarik di kelas.
Sulit membayangkan bagaimana proses belajar-mengajar bisa berjalan lancar tanpa ada buku. Celakanya, sejauh pengamatan penulis, buku teks untuk SMK nyaris tidak tersedia. Kenyataan, sekolah kejuruan terbagi dalam berbagai kelompok dan jenis—kelompok teknik jurusan kimia industri, kelompok nonteknik jurusan boga, kelompok manajemen bisnis jurusan sekretaris, kelompok pertanian jurusan teknik pangan, dan sebagainya. Masing-masing menuntut kompetensi tersendiri. Sekolah kejuruan tertentu secara nasional jumlahnya pun teramat kecil. Sebut saja sekolah kesenian jurusan seni karawitan, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Karena oplah kecil, penerbit pun kurang bergairah karena risiko merugi cukup besar sebab harga buku menjadi mahal, sementara siswa SMK daya belinya rendah karena kebanyakan dari kalangan kurang mampu secara ekonomis. Untuk menulis buku sendiri, tidak semua guru mampu melakukan. Akibat risiko bisnis, buku pelajaran untuk siswa SMK sulit didapatkan.
Untuk sekolah umum, situasinya berbeda. Dilaporkan, jumlah SMA negeri dan swasta di Indonesia sekitar 9.500 unit, dengan jumlah siswa sekitar 4,75 juta orang. Ini jelas merupakan pasar potensial bagi penerbit.
Pemerintah selama ini terkesan begitu mudah menyediakan berbagai fasilitas pendidikan bagi SMA. Setiap awal tahun ajaran baru, buku paket setiap mata pelajaran sepertinya tersedia lengkap. Di toko buku pun judul melimpah.
Untuk sekolah kejuruan, jangankan pelajaran seperti Teknik Menggergaji yang begitu spesifik, untuk pelajaran umum seperti Bahasa Inggris, terakhir kali pemerintah menerbitkan buku paket adalah tahun 1970-an. Khusus Kota Semarang, buku paket Bahasa Inggris SMK kelompok teknologi maupun nonteknologi tersedia secara gratis. Tetapi itu terbatas saat jabatan wali kota dipegang oleh Sukawi Sutarip.
Menulis buku Bahasa Inggris tidaklah mudah, butuh referensi memadai. Padahal, buku referensi Bahasa Inggris, khususnya terbitan luar negeri, harganya relatif mahal.
Lantas pertanyaan besarnya, bisakah mengajar tanpa buku? Jawabnya, ”Bisa.” Jelas bahwa situasi dan hasilnya akan jauh berbeda. Untuk Bahasa Inggris, sekali waktu siswa bisa diajak keluar, misalnya ke lokasi wisata untuk bertemu dengan orang asing penutur asli, untuk praktik. Itu selingan yang amat bagus, efektif, dan menarik.
Kembali ke kelas, kehadiran buku pelajaran sangat diperlukan. Dalam buku teks banyak pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu terekam di sana. Ingat, salah satu ciri khas bangsa yang maju, mereka umumnya aktif membaca buku. Orang bijak berkata, ”Buku adalah gudang ilmu, sedangkan kuncinya ada pada guru.”
Untuk menerbitkan buku, apalagi skala nasional, perlu dana tak sedikit. Hanya mereka yang bermodal besar bisa melakukannya. Di tingkat sekolah, buku biasanya didapat melalui jalinan hubungan dengan berbagai pihak di luar negeri.
Di Semarang ada sekolah menengah industri perkayuan swasta yang buku teks dan literaturnya cukup lengkap. Itu dimungkinkan karena ada kerja sama dengan pihak Jerman. Sekolah negeri sejenis di Jepara kabarnya memanfaatkan dengan menggunakan buku-buku sekolah ini sebagai referensi.
Kecilnya minat pebisnis menerbitkan buku SMK juga terkait urusan finansial—daya beli para murid yang sangat rendah. Maklum, mayoritas siswa SMK berasal dari keluarga berkemampuan keuangan terbatas. Mereka memilih sekolah kejuruan agar bisa langsung bekerja. Dengan bekerja, mereka justru membantu ekonomi keluarga.
Sebenarnya, di sisi lain, kelangkaan buku SMK justru bisa memberi berkah tersendiri bagi sebagian guru untuk berkreasi. Banyak guru SMK di Semarang yang proaktif dan berprofesi sebagai penulis—mulai dari penyusun buku diktat, pengarang buku paket, penulis soal ujian tingkat nasional, bahkan sebagian juga menulis untuk media massa, alias sebagai wartawan.
Aktivitas menulis, baik dalam bentuk buku pelajaran ataupun untuk konsumsi media massa, merupakan karya pengembangan profesi yang sangat bernilai, khususnya terkait dengan kegiatan sertifikasi guru dalam jabatan. Informasi terakhir menyebutkan tingkat kelulusan sertifikasi guru secara umum baru sekitar 50 persen.
Tetapi di Kota Semarang ada SMK negeri di mana seluruh guru peserta sertifikasi dari sekolah tersebut baru-baru ini dinyatakan lulus 100 persen. Satu sumber yang layak dipercaya melaporkan, di sekolah itu banyak guru tergolong aktif menulis, dua di antaranya bahkan tercatat sebagai jurnalis. Tidak saja terbatas pada media cetak, namun juga audiovisual (lewat media TV dan radio).
Becermin dari uraian di atas, sulitnya menemukan buku teks untuk siswa SMK bisa bermakna ganda. Di satu sisi, masalah ini dirasa cukup mengganggu aktivitas guru dalam kegiatan pembelajaran. Di lain pihak, kesulitan ini justru membuat banyak guru SMK dapat mengambil hikmah dengan proaktif menulis, baik menyangkut materi pelajaran maupun untuk konsumsi media massa.
Sebagai salah satu wujud karya pengembangan profesi, aktivitas menulis memberi cukup banyak manfaat. Salah satunya terkait perolehan poin yang sangat dibutuhkan bagi peserta Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Selebihnya perlu dicatat, untuk kenaikan pangkat dari golongan IV/a ke IV/b, banyak guru merasa pesimistis (bahkan nyaris tak berani mengurus) akibat ada kewajiban membuat karya tulis. Sejujurnya, dengan latihan intensif, kesulitan semacam ini tidak terlalu sulit dijembatani.
* THOMAS ROSID SMK Negeri 9 Semarang; Mantan Ketua MGMP Bahasa Inggris SMK Kota Semarang
** Digunting dari Harian Kompas Edisi 18 Februari 2008 dengan judul asli: "Kelanggan Membawa Berkah".
Sunday, February 17, 2008
Tentang Buku Pelajaran Bermutu
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
No comments:
Post a Comment