Friday, December 21, 2007

Refleksi Buku 2007: Tahun Pembakaran Total

Oleh Muhidin M Dahlan

BAGI sebuah negeri yang diperintah penguasa ototiter, membakar buku adalah sebuah upacara. Tapi bagi negeri yang disebut-sebut sebagai salah satu negeri yang dikelola penguasanya dengan mekanisme demokrasi paling baik saat ini, membakar buku adalah sebuah ironi dan anomali. Sebab ditilik dari sisi mana pun, semangat membakar buku adalah semangat antiperadaban.

Dan inilah salah satu momen upacara tribal yang dipertontonkan dengan kesombongan yang berlebihan di tengah kampanye demokrasi yang dijunjung-junjung pemerintah. Merujuk pada kronik, nyaris sepanjang Juni-Agustus 2007, ribuan buku ajar sejarah dipanggang dalam bara.

Dalam sebuah upacara yang gagah pada 19 Juni di halaman belakang Kejaksaan Tinggi Semarang dan dihadiri puluhan pegawai kejaksaan dan diknas, polisi, TNI, dan penerbit, 14.960 eksemplar buku sejarah dari 13 penerbit dilalap api. Buku sebanyak itu merupakan hasil operasi di 15 daerah di Jateng, yaitu Kejati Jateng (13.808 buah), Purworejo (655), Semarang (120), Banjarnegara (69),Tegal (15), Batang (10), dan 9 daerah lain yang jumlahnya di bawah 10 buah.

Upacara yang tak kalah hikmatnya--dengan disaksikan Kepala Kejaksaan Negeri Depok Bambang Bachtiar, Wali Kota Depok Nurmahmudi Ismail, dan Kepala Dinas Pendidikan Depok Asep Roswanda--terjadi di depan kantor Kejaksaan Negeri Depok, Jawa Barat pada 20 Juni. Sekira 1.400 buku sejarah Indonesia untuk SMP dibakar dalam acara "pemusnahan buku-buku terlarang". Buku sejarah yang dimusnahkan itu disita dari lima sekolah menengah pertama negeri dan tiga sekolah menengah atas di Kota Depok.

Di Purwakarta, Jawa Barat, sejumlah karyawan dinas pendidikan juga melakukan pemeriksaan terhadap sekolah-sekolah yang menyimpan buku-buku tersebut. Hasilnya, sekira 300 buku diguyur minyak dan ludes terlalap api.

Di Jawa Timur, ratusan massa yang tergabung dalam Front Anti Komunis (FAK) mendatangi Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur untuk meminta menyita buku-buku berisi ajaran komunis. Dalam kesempatan itu, FAK menunjukkan sejumlah buku, di antaranya Melawan Lewat Restoran, Das Kapital Untuk Pemula, dan lainnya.

Pada 7 Agustus Dinas Pendidikan Kota Solo beserta aparat penegak hukum setempat merazia buku pelajaran bergambar palu-arit. Buku-buku ini beredar di sekolah-sekolah menengah atas. Gambar palu-arit yang merupakan lambang Partai Komunis Indonesia itu terdapat dalam buku pelajaran bahasa Inggris berjudul Look Ahead on English Course untuk kelas XI jilid 2 terbitan PT Erlangga Bandung, Jawa Barat. Selain gambar palu-arit, pada buku karangan Th. M. Sudarwati dan Eudia Grace itu juga terdapat siluet manusia yang diduga menyerupai tokoh komunis Mussolini. Ada 170 buku terjaring razia yang mirip razia narkoba itu.

Kejaksaan rupanya tak cukup mengawasi barang cetakan, tapi juga menyisir opini di media massa. Bersihar Lubis yang menulis artikel "Interogator Dungu" di Koran Tempo pada 17 Maret 2007 diadili di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat. Dengan masygul Bersihar mendengar keputusan 14 November 2007 itu: pidana delapan bulan penjara.


* * *

7 Januari 1965. Presiden Soekarno dengan suaranya yang menggelegar menyerukan agar Indonesia keluar dari keanggotaan PBB pada Rapat Umum Anti Pangkalan Militer Asing.

Rupanya, seruan Soekarno untuk keluar dari PBB dan bersiap memundaki konsekuensi-konsekuensi tersulit ditanggapi oleh banyak kalangan dengan pelbagai sikap. Oleh sekelompok pemuda, pelajar, dan mahasiswa yang tergabung dalam Front Pemuda pada tengah malam di luar Gedung Istora Senayan melakukan aksi turun ke jalan. Ribuan buku milik USIS (United States of Information Service) itu pun dibakar. Di tengah unggunan api yang melalap buku-buku itu mengalun suara bersemangat tinggi "Awaslah Inggris dan Amerika" disertai sahut-sahutan suara yang riuh: "Hidup Bung Karno!", "Ganjang Malaysia!", "Bongkar pangkalan militer asing!", "Tutup USIS!"

Menurut A Qadar dan Dr Warno dari Front Pemuda, tujuan mereka membakar buku-buku USIS itu sebagai dukungan pemuda terhadap aksi-aksi anti pangkalan militer asing. Mereka berpendapat bahwa mesti ada keberanian yang penuh untuk membangkitkan aksi-aksi massa mengganyang imperialis dan aksi-aksi mengganyang kapitalis birokrat/dinasti ekonomi. "Ayo, bersama Bung Karno kita madju terus melantjarkan aksi2 revolusioner," seru mereka.

Pembakaran buku-buku USIS hanyalah salah satu usaha revolusioner yang mereka tunjukkan. Adapun buku USIS yang mereka rajam dengan api itu bukanlah hasil penggeledahan langsung di kantor USIS, melainkan mereka peroleh dari aksi boikot buku-buku USIS yang dilancarkan oleh buruh/pegawai Postel.

Pada 26 Oktober 1964 wakil-wakil Pengurus Daerah Serikat Buruh Postel dan Ikatan warga Marhaenis Postel Jakarta, Wakil Kepala Kantor Pos Besar Pasar Baru menyerahkan 28 karung majalah dan buku-buku USIS kepada Pengurus Besar Front Nasional dengan harapan untuk tak diedarkan, tak dikirim ke garis depan, tapi untuk dimusnahkan dengan jalan dibakar.

Sebulan sebelum pembakaran buku yang kedua kalinya itu, gedung USIS sudah menjadi bulan-bulanan kemarahan pemuda yang tergabung dalam rapat kesetiakawanan dengan Rakyat Konggo. Klimaks dari aksi di hari Jumat pada Desember 1964 itu adalah pengganyangan gedung USIS Jakarta. Pers-pers ibukota menurunkan berita-berita dan sekaligus sikap mereka atas pengganyangan gedung USIS tersebut.

Sikap setuju ditujukan Harian Rakjat, Suluh Indonesia, Duta Masjarakat, Sinar Harapan, Warta Bhakti, Warta Berita, Bintang Timur, Harian Ekonomi Nasional. Sementara Berita Indonesia dan Merdeka menyayangkan aksi itu.

Pembakaran buku itu sendiri hanyalah bom waktu yang pasti terjadi. Sebab sudah jauh hari sebelum tahun 1965, yakni pada 1963, pemerintah sudah menanam ranjau mematikan dengan mengeluarkan peraturan hukum yang mempertegas kontrol, yakni Penetapan Presiden No 4 Tahun 1963 yang berbunyi: (1) bahwa barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum akan membawa pengaruh buruk terhadap usaha-usaha mencapai tujuan revolusi, karena itu perlu diakan pengamanan terhadapnya; (2) bahwa dianggap perlu pemerintah dapat mengendalikan pengaruh asing yang disalurkan lewat barang-barang cetakan yang dimasukkan ke Indonesia dari luar negeri, dalam rangka menyelamatkan jalannya Revolusi Indonesia.

Sebelum Pen. Pres 4/1963, Menteri/Djaksa Agung telah mengeluarkan instruksi untuk menyita sejumlah buku-buku yang dianggap merugikan revolusi dan perjuangan, antara lain buku The Story Indonesia karangan Louis Fischer dan Indonesia di Mata Dunia karangan Mochtar Lubis, buku-buku karangan Kahar Muzakkar seperti Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia, Revolusi Ketatanegaraan Indonesia Menuju Persaudaraan Manusia, serta buku karangan Hasan Tiro Kolonialisme Baru di Indonesia.

Walaupun eksekusi akhir atas apa yang dianggap "barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum" adalah wewenang pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung, tapi ada kecenderungan politik semasa, bahwa partai atau organisasi masssa yang sepaham dengan jalan politik Manipol juga beroleh kesempatan yang sama melakukan aksi-aksi sweeping dan pengganyangan. Ini bisa dilihat sewaktu Front Pemuda Rakjat melakukan pengrusakan kantor dan pembakaran buku-buku USIS, aparat keamanan tak bertindak mengamankan kantor itu dari amukan massa pemuda. Tindakan itu barangkali dianggap sebagai shock therapy atas tindak-tanduk produk asing yang ditilik dari kacamata moral-politik membahayakan jalannya Revolusi Indonesia.

* * *

Satu peristiwa dalam dua era dengan kondisi politik yang sangat jauh berbeda. Namun dalam soal membakar buku, sikap, intensitas, dan kejorokan tindakan, tak berubah sama sekali. Dalih dibuat sedemikian rupa dan tindakan perajaman api itu diniscayakan.

Aparatus pemerintah di sekeliling Soekarno beralasan, pembakaran dan pelarangan buku sebagai shock terapy atas aksi-aksi kontra-revolusioner dan melindungi rakyat dari pengaruh buruk nilai-nilai nekolim dan imperialisme. Aparatus pemerintah di sekeliling Yudhoyono beralasan serupa, tindakan itu diambil untuk memberi sabuk pengaman bagi pelajar dan rakyat Indonesia dari pengaruh buruk komunisme.

Aparatus Soekarno mengeluarkan PP No 4 Tahun 1963, sementara aparatus kejaksaan di masa Yudhoyono mengeluarkan instruksi Nomor 003/A-JA/03/2007 tentang tindakan penarikan buku sejarah kurikulum 2004 dan Surat Perintah Kejaksaan Agung Nomor Ins.003/A-JA/03/2007 tentang penarikan buku sejarah kurikulum 2004.

Algojo-algojo antibuku menjadikan kertas-kertas litmus itu sebagai surat jalan untuk aksi negentropi yang sebelumnya dikondisikan oleh pidato dan lelaku pembuka yang agitatif.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nurwahid menghimbau maraknya ajaran-ajaran yang berbau komunis perlu diwaspadai oleh rakyat Indonesia. Penyair Taufiq Ismail--yang pada 6 Desember mendapatkan anugerah Habibie Award atas dedikasinya meningkatkan minat baca di Indonesia--mesti datang ke Parlemen untuk tugas suci memakzulkan buku-buku sejarah nir-PKI yang barangkali tak disangkanya menyumbang sekian minyak bagi aksi pembakaran.

Wakil Ketua CC PKI Njoto pada masa Soekarno perlu juga mendatangi Parlemen untuk mewaspadai dan menghantam buku-buku kontra-revolusi. Pada 1965, bukan saja nama-nama penandatangan Manifes Kebudayaan diumumkan secara intensif, tapi juga mengumumkan buku-buku yang dilarang dipakai di sekolah-sekolah negeri maupun swasta oleh pemerintah. Kebijakan larangan itu berdasarkan perintah Pembantu Menteri PDK bidang Teknik Pendidikan tanggal 22 dan 25 Maret dan surat Kepala Biro Pembinaan Buku-buku PDK tanggal 10 April 1965. Di antara pengarang-pengarang yang bukunya dilarang adalah Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, Idrus, Mochtar Lubis, HB Jassin, dan lain-lain.

Beginilah, kita caci luar-dalam PKI, tapi cara-cara mereka menyikapi perbedaan terus-menerus kita tangkar dalam lelaku tanpa malu-malu dan terang-terangan. Luar biasa! Sejarah dan mental kita ketika berhadapan dengan buku yang berbeda dengan asupan keyakinan kita rupanya tak pernah naik kelas. Dan buku tetaplah menjadi tumbal dari sebuah kesumat permanen dan sikap negentropi yang buruk.

No comments: