Tuesday, December 18, 2007

Pembakaran Buku Pelajaran Sejarah

Oleh Wildanul Hakim

Silang pendapat tentang pembakaran buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan Partai Komunis Indonesia atau PKI terus berlanjut. Kalangan sejahrawan menilai, tindakan merazia dan membakar buku-buku tersebut tidak tepat. Tapi, Kejaksaan Agung tetap berkeras, buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan PKI harus dibakar karena tidak sesuai kurikulum.

Keputusan Kejaksaan Agung ini keluar saat lembaga itu dipimpin Abdurrahman Saleh. Dua kali, Mendiknas Bambang Sudibyo mendesak Kejaksaan Agung agar segera melarang peredaran buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan Partai Komunis Indonesia atau PKI.

”Karena kesibukan saya itu sampai tujuh bulan tidak tertangani didesak-desak lagi. Akhirnya saya bentuklah tim itu, bukan karena saya enggan. Tapi kalau urusan kurikulum itu sebenarnya masalah formalitas saja. Karena buku-buku lain yang menyatakan, ini masalah internal AD, PKI tidak terlibat dan begini-begini boleh beredar di pasaran tidak ada soal. Soalnya adalah soal kurikulum,” ujar Bekas Jaksa Agung Abdurrahman Saleh.

Buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan PKI mengacu pada kurikulum 2004. Pada 2006, kurikulum berubah. Buku pelajaran sejarah diharuskan mencantumkan PKI dalam penjelasan seputar Gerakan 30 September. Atas dasar itulah pada Maret lalu, Jaksa Agung mengeluarkan larangan edar bagi buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan PKI.

”Karena selalu dalam ilmu-ilmu sosial begini ada banyak pendapat. Meskipun Mahmilub mengatakan dalangnya PKI, ahli sejarah meninjau dari segi lain. Bukan, dalangnya bukan PKI. Dalangnya mungkin TNI sendiri, mungkin CIA. Tidak akan selesai. Tapi versi resmi selalu ada,” jelas Arman, panggilan akrab Abdurrahman Saleh.

Itulah yang membuat Abdurrahman Saleh berani memutuskan larangan edar buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan PKI.

Departemen Pendidikan Nasional mengakui, pelarangan itu untuk menghindari polemik atau silang pendapat. Juru bicara Departemen Pendidikan Nasional Bambang Wasito Adi mengatakan, polemik tentang sejarah keterlibatan PKI dalam Gerakan 30 September ini dianggap meresahkan. Bila tidak segera diakhiri, maka anak didik bisa menjadi korban.

“Artinya, di antara para ahli sendiri peristiwa G30S itu dilihat dari berbagai sisi. Karena itu buku pelajaran kita kan nggak ini anak didik kita bingung. Sedangkan masalah sejarah itu kan bukti-bukti sejarahnya para ahli punya bukti yang berlainan. Padahal itu sejarah. Nah kita ingin anak kita ini sejarah tidak bohong. Dari sisi akademis tidak bohong. Namanya sejarah ya. Daripada menimbulkan polemik Pak Menteri mengambil kebijakan diserahkan saja kejaksaan untuk menilai. Penilaian untuk menentukan apakah sebuah buku menimbulkan kerawanan, itu ada di kejaksaan,” jelas Bambang Wasito Adi.

Di mata seorang guru sejarah, seperti Suparman, kebijakan tersebut terkesan membingungkan. Dia berharap, pemerintah mengkaji secara mendalam masalah ini agar kontroversi seputar sejarah politik PKI bisa segera diakhiri.

”kontroversi pelajaran sejarah ini jangan terus berlarut-larut artinya kalau pemerintah ingin membuat kurikulum yang sudah dikaji secara mendalam. Hilangnya kata PKI ini terkait dengan munculnya kurikulum 2004. Meskipun itu kurikulum masih eksperimen katanya, tapi kan sudah disosialisasikan dan di dalam kurikulum itu sudah hilang kata PKI. Jadi kalau guru mengajarkan tidak ada kesalahan bagi guru,” ujar Suparman.

Tapi keputusan melarang peredaran buku sejarah itu, dinilai Sejarahwan Asvi Warman Adam tidak tepat. Buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan PKI dinilainya lebih demokratis dan sesuai dengan fakta sejarah. Dari sisi lain, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI itu menilai pelarangan buku pelajaran sejarah yang diikuti pembakaran sesuai keputusan Kejaksaan Agung, telah merugikan banyak pihak.

“Dampak yang sangat besar bukan hanya penerbit, orang tua yang pada bingung, tapi terlebih lagi kepada siswa yang saat ini dididik untuk munafik. Karena mereka tahu ada versi-versi yang lain tapi untuk lulus di dalam ujian mereka harus menjawab sesuai apa yang dimaui oleh pemerintah. Ini merupakan suatu hal yang sangat mendasar dan punya dampak yang sangat buruk bagi bangsa kita, bagi generasi penerus. Saya sangat prihatin,” papar Asvi.

Saudara, buntut dari Keputusan Kejaksaan Agung itu adalah razia dana pembakaran buku pelajaran sejarah itu. Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah membakar 14 ribu lebih buku pelajaran sejarah yang dilarang beredar. Hal serupa juga diikuti kejaksaan di beberapa daerah lain.

*Wildanul Hakim, jurnalis detik.com dan Radio 68H Jakarta

No comments: