Monday, June 4, 2007

Menulis Lapar

Oleh AN Ismanto

Pada 1890, publik sastra Norwegia dibikin gempar oleh penerbitan novel Lapar (SULT). Novel itu seperti lukisan yang penuh dengan ketajaman persepsi, deskripsi psikis yang detil, dan alur cerita yang "meneror" pembaca dengan kenikmatan literer yang membuai. Tak lama kemudian, mulut Norwegia melafalkan nama penulis novel itu dengan penuh kekaguman.

Novel itu semi-autobiografis, berkisah tentang seorang penulis muda yang mahamiskin dan selalu kelaparan. Setiap hari dia menggelandang di jalanan kota Christiania karena tak mampu bayar sewa kamar dan membeli makanan. Namun, kesengkarutan hidupnya itu tak membikin dia lupa bahwa dia seorang penulis, yang tentu saja hanya bisa bertahan hidup dengan menulis --apa saja: artikel, cerita, puisi.

"Kalau saja aku punya sesuatu buat dimakan, sedikit saja, pada hari secerah ini! Gairah pagi yang indah menaungi aku, aku menjadi luar biasa peka, dan mulai bersenandung lirih karena rasa bahagia yang murni dan tanpa alasan tertentu. Di depan toko daging, seorang wanita yang menjinjing keranjang menimbang-nimbang saus apa yang tepat buat makan malam nanti; ketika aku melintas di hadapannya, ia menatapku. Giginya tinggal satu, bertengger di gusi bawah. Dalam kegugupanku, kulihat wajahnya membekaskan kesan yang tiba-tiba dan mengejutkan --gigi kuning yang panjang itu tampak seperti sepucuk jari yang mencuat keluar dari rahang bawahnya, dan ketika ia menoleh kepadaku, sepasang matanya berleleran saus" (Lapar: 28).

Rasa lapar yang sangat ternyata tak sanggup mengikis nalurinya sebagai penulis. Dia tak bisa mencegah dirinya sendiri untuk terus mengamati sekeliling. Imajinasinya jalan terus, hingga dalam keadaan yang sangat tidak nyaman pun dia mampu secara alamiah mengambil jarak dan "menafsirkan" realitas yang menghampiri indera dan pikirannya.

Seperti yang dialami tokoh "aku" dalam Lapar, Knut Hamsund menulis novel itu ketika ia memang betul-betul sedang kelaparan. Hamsund lahir dengan nama Knut Pedersen di Lom, Lembah Gudbrandsdalen, Norwegia Tengah, sebagai anak keempat seorang penjahit. Karena ayahnya terjerat utang, Hamsund diwajibkan kerja-paksa pada seorang pemilik pertanian. Selama itu, ia tak boleh bermain dengan anak-anak yang lain. Untuk melawan kesepian, ia berkarib dengan buku-buku.

Ia tak punya sejarah pendidikan formal yang mencukupi untuk mencari kerja dan hanya sempat mengikuti sekolah keliling. Maka, ia memutuskan untuk mengembara dan bekerja serabutan di daerah Nordland dan kemudian pindah ke Christiania (sekarang Oslo, ibu kota Norwegia). Sebagaimana tokoh "aku", Hamsund kala itu hanyalah seorang penulis muda yang tak punya kerja tetap, selalu kelaparan dan menggelandang di jalanan.

Meski pakaiannya compang-camping, sakunya selalu kosong dan kesehatannya buruk, ia tetap besikeras menjaga martabat diri dan pilihannya untuk menjadi seorang penulis. Hampir semua barang yang ia miliki selalu hilang karena digadaikan. Barang yang tak pernah ia gadaikan hanyalah peralatan menulisnya yang galib pada masa itu berupa pensil dan kertas.

Sesekali artikel atau ceritanya dibeli koran sehingga ia punya sedikit uang untuk makan. Namun, honorarium itu tetap saja tak mencukupi untuk hidup layak. Walhasil, ia berkali-kali ditendang keluar oleh induk semang karena tak mampu membayar sewa kamar. Upah dari pekerjaannya yang serabutan juga tak membuat perutnya tenteram. Setiap hari ia bekerja keras dan menulis dengan perut perih karena lapar yang sangat.

Selama masa serba tidak pasti itu, Hamsund tak selalu hanya mengeluh dan meratap. Naluri dan habbit-nya sebagai pengarang membuat ia selalu mengamati dan merenungkan setiap kemalangan yang menimpa dirinya: rasa lapar, dihinakan orang, miskin papa. Pengamatan dan perenungan itulah yang kemudian mendorongnya untuk menulis Lapar.

Namun, jika tokoh "aku" akhirnya memutuskan untuk menjadi awak kapal agar kehidupannya lebih terjamin, Hamsund tetap tinggal karena Lapar diburu orang sampai-sampai para pekerja percetakan harus kerja lembur selama berminggu-minggu. Hamsund berubah total, dari seorang penulis mahamiskin menjadi penulis jutawan yang bisa makan apa saja dan kapan saja ia mau.

Tapi, Hamsund tak lantas menjadi manja dan terlena oleh kekayaan. Ia terus menulis dan menghasilkan beberapa novel lagi. Salah satu novelnya, The Growth of The Soil (MARKENS GRĂ˜DE), yang terbit pada 1917, membuat Panitia Penghargaan Nobel Swedia terpukau dan kemudian menganugerahinya penghargaan Nobel pada 1920.

Sebagai penulis, Hamsund telah berhasil secara material maupun spiritual. Buku-bukunya dibaca banyak orang dan, yang lebih penting, ia tak lagi kelaparan.

Namun, pengalaman pahitnya dengan kemiskinan dan rasa lapar tampaknya meninggalkan sayatan yang terlalu dalam untuk seorang Hamsund sehingga ia menyatakan diri bersimpati kepada Nazi --yang mencederai citranya sebagai penulis. Ia percaya bahwa manusia akan selalu bernasib malang, miskin, dan kelaparan seperti dirinya yang dulu, kecuali bila mau tunduk kepada seorang pemimpin besar, yang pada masa itu menubuh dalam sosok Adolf Hitler.

Seusai perang, Hamsund ditangkap dan dibui di sebuah rumah sakit jiwa, lalu dibebaskan karena tak cukup bukti untuk menghukumnya. Ia meninggal dalam kesendirian di Norholm, 19 Februari 1952. Setelah ia meninggal, pemerintah dan publik Norwegia merehabilitasi nama baiknya agar generasi Norwegia yang lebih kemudian, dan juga publik internasional, tetap menghormati jejak langkah salah satu bapa rohani mereka.***

* An. Ismanto, kontributor Indonesia Buku(I:BOEKOE) Cabang Jogjakarta

No comments: