Monday, June 25, 2007

Musayawarah Buku, Musyawarah (Gagasan) Indonesia

Oleh Zen Rahmat Soegito

Sepanjang hidupnya, hanya dua malam dia tidak membaca buku: malam ketika ayahnya wafat dan malam pernikahannya. Ibnu ‘Arabi mengucapkan kalimat tersebut sewaktu mengomentari kehidupan “seniornya”, Ibnu Rushd. Saya menemukan kutipan itu di buku Mencari Belerang Merah yang ditulis Claude de Addas.

Seketika itu juga saya berhenti membaca Mencari Belerang Merah.

Ingatan saya tiba-tiba berbelok pada Muhammad Hatta. Orang besar yang bersahaja itu pernah menulis begini: “Selama aku bersama buku kalian boleh memenjarakanku di mana saja; sebab dengan buku pikiranku tetap bebas."

Saya mengalami fragmen itu pada waktu dan tempat yang pas.

Sore itu, sekira pukul 5 sore, saya sedang duduk di depan Istana Negara di ujung Malioboro. Di bangku kayu sepanjang 2 meter, yang hanya berjarak 2,5 meter dari pagar besi Istana Negara, saya duduk sendiri. Malioboro begitu ramai. Jalanan dipenuhi kendaraan dan trotoar diramaikan oleh para pejalan kaki yang kebanyakan anak-anak sekolah yang sedang berwisata.

Saya baru saja keluar dari arena Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) 2006 dengan membawa dua plastik besar yang isinya aku tukar dengan hampir gaji sebulan. Semuanya buku. Persisnya: buku-buku tua.

Di situ ada 3 jilid buku Tata Negara Majapahit karangan Mohammad Yamin, sejilid besar buku Kapita Selekta karangan Mohammad Natsir, sejilid tebal Sarinah karangan Soekarno, buku Seratus Tahun Agoes Salim, buku Krisis Ekonomi dan Kapitalisme karangan Mohammad Hatta, buku Rantau dan Perjuangan karangan Soetan Sjahrir dan buku Pintu Tertutup) karangan Jean Paul Sartre. Sementara buku Mencari Belerang Merah saya beli satu jam sebelumnya di Shopping Center yang terletak di sebelah timur benteng Vredeburg yang menjadi arena FKY 2006.

Kecuali Jean Paul Sartre, semua penulis yang bukunya ada di dua plastik itu pernah datang, duduk, menginap dan bahkan tinggal di Istana Negara yang berdiri anggun di hadapan saya.

Saya membayangkan, orang-orang itu sedang duduk melingkar di sebuah meja. Soekarno tampak menoleh ke kiri ke arah cermin besar yang menampakkan wajahnya. Natsir sedang membetulkan letak kopiahnya. Hatta sedang membersihkan kaca matanya yang tebal. Agoes Salim sedang memandangi cerutu yang barusan ia nyalakan. Soetan Sjahrir duduk bersandar dengan kaki kiri menyilang di kaki kanannya. Mohammad Yamin sedang mengibas-ngibaskan pantalonnya yang kusut dan terperciki debu.

Dengan lagaknya yang khas, Soekarno tiba-tiba memajukan badannya. Tangannya bersidekap di atas meja besar bundar yang terbuat dari kayu jati yang berukir. Dia berdehem sebentar.

Dan saya membayangkan Soekarno berkata: “Saudara-saudara, musyawarah buku kita mulai!”

Saya sangat menyukai frase “Musyawarah Buku” yang oleh Khalid Abou el-Fadl dijadikan judul bagi bukunya yang terbit pada 2005 silam, Conference of the Book: The Search for Beauty in Islam. Ini salah satu buku kesayangan saya. Tersimpan di salah satu sisi rak buku saya yang tersembunyi, agar siapa pun tak tergoda meminjam atau mengambilnya. Buku ini berkali-kali saya baca dan tak pernah saya merasa bosan. Tiap kali saya merasa jenuh dengan buku, saya selalu membuka kembali buku ini, dan saya selalu mendapatkan semangat baru. Ya, semangat untuk kembali mengakrabi buku-buku.

Frase “Musyawarah Buku”, saya kira, bisa sedikit membantu menjelaskan bagaimana sebuah peradaban dibangun oleh ribuan perjumpaan, percakapan juga perdebatan orang-orang yang begitu mencintai buku, banyak di antara mereka adalah juga para penulis buku.

Ada “buku”, ada “adab”. Buku-buku yang saling bertemu, beradu, bersaing, bertanding dan berpolemik melahirkan “peradaban”.

Indonesia, saya kira, dibangun oleh banyak sekali orang, yang beberapa di antara mereka adalah para pecinta buku, para pemamah buku dan para penulis buku. Banyak sekali fragmen sejarah yang bisa menggambarkan hal itu. Tidak terkecuali di Istana Negara di ujung Malioboro ini. Biarlah kali ini saya mengisahkannya sebentar. Kali ini saya tidak sedang mengkhayal tentu saja.

Pada 13 Agustus 1948, Musso yang baru kembali ke Indonesia setelah 13 tahun lamanya hidup dalam pembuangan di Sovyet, berjumpa dengan Presiden Soekarno dalam suasana hangat dan akrab. Seorang wartawan yang menyaksikan perjumpaan keduanya memberi testimoni: “Bung Karno memeluk Musso dan Musso memeluk Soekarno. Mata berlinang. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka keluarkan dengan kata-kata.”

Kala itu, Soekarno memuji Musso sebagai “jago pencak yang suka berkelahi, …yang kalau berpidato akan nyincing lengan bajunya”. Soekarno berharap agar Musso sudi membantunya melancarkan revolusi nasional yang lajunya masih terpatah-patah. Mendengar permintaan itu, Musso membalas dengan jawaban singkat, lugas dan sungguh menggetarkan: “Itu memang kewajiban saya. Ik kom hier om orde te scheppen (Saya kemari untuk membereskannya).”

Sebelum berpisah, Soekarno masih sempat menyerahkan buku Sarinah yang baru saja diterbitkan itu sebagai kenang-kenangan. Soekarno meminta agar Musso bersedia membacanya di tengah kesibukan revolusi. Musso menerima buku itu dengan senang hati dan berjanji akan menyerahkan buku karangannya beberapa waktu mendatang.

Musso terbukti menerbitkan buku beberapa pekan berikutnya. Buku tipis itu ia juduli Djalan Baroe dan selanjutnya masyhur dengan sebutan Djalan Baroe Moesso. Tetapi buku inilah yang menjadi awal dari perpecahan Soekarno dan Musso. Djalan Baroe terbukti menjadi pamflet yang berisi langkah-langkah revolusioner yang akan diambil Musso setelah sebelumnya mengambilalih pengaruh PKI dari tangan Amir Sjarifuddin, Tan Ling Djie, dkk.

Dari buku tipis Djalan Baroe inilah peristiwa berdarah Madiun 1948 muncul. Peristiwa pertemuan Soekarno dan Moesso yang diikuti acara bertukar buku itu berlangsung di gedung yang sore ini hanya sepelemparan batu jaraknya dari tempat saya duduk. Buku Sarinah yang diserahkan Soekarno kepada Moesso di Istana Negara Jogja juga ada di kantong plastik di pangkuan saya.

Dihubungkan oleh banyak koinsidensi itulah catatan-catatan saya ihwal Indonesia dan buku ini dimungkinkan lahir.

Dan kalau sudah mengingat bagaimana hubungan antara Indonesia dan buku, tidak bisa tidak saya akan langsung ingat kutipan Hatta yang sangat terkenal yang sudah saya sebutkan di awal tulisan ini: "Selama aku bersama buku kalian boleh memenjarakanku di mana saja; sebab dengan buku pikiranku tetap bebas."

Saya langsung ingat kutipan itu karena kutipan itu pula yang selalu saya pajang di halaman iklan layanan masyarakat di sebuah jurnal mingguan yang saya kelola setahun lalu di Jakarta.

Hatta, lewat kutipannya itu, tampak benar sebagai orang yang sangat mencintai dan menghargai buku. Jika ingatan saya tidak berkhianat, kutipan itu muncul dalam buku Memoir yang ditulis Hatta sendiri. Kutipan itu muncul dalam konteks ketika Hatta sedang mengisahkan hari-harinya yang sepi di tanah buangan di Digul pada 1934, yang lantas berlanjut di pulau Ende pada 1936.

Saya kira orang tak cukup alasan untuk menyebut kutipan itu tak lebih sebagai sok pamer atau “waton nggaya” (kalau kata orang Jogja). Bukti konkrit dari kutipan Hatta itu bisa kita temukan dalam buku Alam Pikiran Yunani.

Buku itu ditulis selama pembuangan Hatta di Digul yang berlanjut di Ende. Hatta memang memutuskan untuk menghabiskan waktu pembuangannya dengan melakukan studi mendalam ihwal filsafat Yunani klasik.

Untuk keperluan itu, Hatta meminta bantuan kawan-kawannya di Batavia untuk mengirimkan buku-buku yang ia butuhkan yang sudah ia kumpulkan sedari ia sendiri masih berada di Belanda. Tiga peti besar datang sewaktu Hatta sedang berada di Digul. Satu peti buku menyusul sewaktu Hatta sudah berada di pulau Ende.

Dari situlah Alam Pikiran Yunani lahir. Daniel Dhakidae pernah menulis esai cemerlang ihwal bagaimana buku Alam Pikiran Yunani memengaruhi cara pandang Hatta atas realitas dunia politik. Hal yang sama pernah ditunjukkan oleh Ignas Kleden yang secara spesifik menunjuk bab tentang Socrates dalam buku Alam Pikiran Yunani sebagai bagian yang amat memengaruhi Hatta.

Ignas menyebutnya sebagai “etik Socrates”: satu cara pandang memerlakukan politik sebagai seni memertahankan prinsip (the art of principle) dan bukan seni untuk mencapai tujuan seperti yang dibayangkan Otto van Bismarck.

Saya sendiri sangat menyukai buku ini. Dan seperti juga Hatta, saya sangat menyukai bab yang mengisahkan pemikiran dan kehidupan Socrates. Di buka oleh buku Hatta itulah saya mengumpulkan remah-remah tentang Socrates sebanyak mungkin. Dari situlah akhirnya saya menemukan dan membaca dengan penuh takzim “Naskah Apologia”, “Naskah Ion dan “Naskah Krito”; tiga naskah yang berisi kesaksian Plato atas ucapan-ucapan Socrates.

Di sini Hatta tidak unik. Hatta, saya kira, hanyalah satu dari sekian eksemplar contoh bagaimana para pemimpin pergerakan tak pernah bisa dan tak pernah mau berjauhan dengan buku bahkan kendati sedang berada dalam pengasingan dan pemenjaraan sekali pun.

Bagi para intelektual yang banyak melakukan aktivitas politik, pengasingan justru menjadi meomentum terbaik untuk lebih memerkaya batin dan memertajam perspektif. Bagi orang seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, atau Gramsci hingga Jamaluddin al-Afghani, pengasingan dan pemenjaraan dihayati tak ubahnya sebagai laku yogi.

Laiknya seorang empu keris, waktu yang lapang, tenaga yang penuh dan laku batin yang khidmat, digunakan untuk menempa-lipat bahan baku keris yang beratnya puluhan kilo menjadi keris yang siap pakai dengan bobot hanya ratusan gram saja. Penjara, dengan menggunakan analogi empu keris, adalah tempat terbaik bagi para intelektual untuk menempa-lipat bahan baku yang dimilikinya untuk dijadikan ratusan helai tulisan yang punya pamor cemerlang.

Maka, begitu kurun pengasingan itu usai terlewati, ketajaman perspektif, kedalaman batin serta kekukuhan keyakinan menjadi modal berharga untuk melanjutkan jalan hidup yang dengan sesadarnya diabdikan untuk hidup dan kehidupan banyak orang.

Bersamaan dengan Hatta menulis Alam Pikiran Yunani, Sjahrir dari hari ke hari menuliskan catatan ihwal banyak pokok yang ia minati, dari soal kebudayaan, politik, seni, kesusastraan, psikologi massa hingga ekonomi politik. Catatan-catatan itu ia kirimkan dalam bentuk surat kepada istrinya di Belanda, Maria Duchateau.

Surat-surat inilah yang kelak terbit dalam bentuk buku dengan judul Indonesische Overpeinzingen (dalam edisi Indonesia berjudul Rantau dan Perjuangan).

Saya tidak ragu untuk menyebut karya ini sebagai salah satu renungan kebudayaan paling cemerlang yang pernah ditulis oleh seorang anak bangsa. Buku ini dipenuhi oleh refleksi dan komentar Sjahrir atas pelbagai gagasan kebudayaan yang serius. Kita akan menjumpai bagaimana Sjahrir membelejeti pokok pikiran sekaligus kepribadian Johan Huizinga dengan Ortega y Gasset. Berkali-kali Sjahrir bercerita bagaimana impresinya atas karya-karya Nietzsche, Dante, Dostoyevski hingga Benedotte Croce.

Yang menunjukkan keluasan erudisi seorang Sjahrir adalah kemampuannya meletakkan setiap pokok gagasan dalam konteks alur perkembangan sejarah intelektual dunia. Sjahrir mampu menjelaskan seperti apa “hubungan darah” antara satu filsuf dengan filsuf yang lain.

Dari pembacaan yang lebih detail ketimbang sebelumnya, Sjahrir lebih punya kecenderungan memihak pragmatisme yang menjadi khas pemikiran di Britania Raya ketimbang rasionalisme Prancis atau romantisme Jerman. Sjahrir memang lebih dekat dengan Julian Huxley, John Stuart Mill atau Gustav Meyer dari Britania ketimbang Kant, Hegel, dan Goethe dari Jerman atau Andre Malraux dan Rosseau dari Prancis.

Orang yang sama ini pula yang dalam pekik perang kemerdekaan, persis saat pertempuran 10 November di Surabaya baru saja dimulai, masih sempat-sempatnya menerbitkan buku yang berjudul Perjuangan Kita.

Perjuangan Kita memang buku yang relatif tipis, tapi ini bukan buku sembarangan. Beberapa karib dekat Sjahrir menyebut pamflet itu menunjukkan cara berpikir Sjahrir yang ternyata begitu dekat dengan Mao Tse Tung sehingga bahkan ada yang berpikir kalau dua orang itu sempat bertemu. Franklin Weinstein, sarjana Amerika yang menulis disertasi seputar kaum elit Indonesia, menyebut Perjoeangan Kita sering dibandingkan dengan On New Democracy-nya Mao dan bahkan rakyat di dunia komunis menerima Perjoeangan Kita sebagai sumbangan yang setaraf dengan sumbangan Mao.

Seorang sejarawan yang mengkaji politik Indonesia pasca proklamasi nyaris mustahil melewatkan Perjuangan Kita. Pamflet politik Sjahrir ini amat membantu menjelaskan bagaimana garis perjuangan Republik menghadapi tekanan politik, ekonomi dan militer Belanda yang berniat kembali menduduki koloni terbesarnya ini.

Sejumlah ilmuwan yang mengkaji politik Indonesia pada periode 1945-1949, semisal Ben Anderson dan George Kahin, punya kesimpulan yang nyaris sama kendati dengan impresi yang berbeda: Perjuangan untuk keluar dari jepitan Belanda nyaris sepenuhnya bergerak di sepanjang garis yang dirumuskan Perjuangan Kita.

Buku Perjuangan Kita inilah yang memaksa seorang penulis tangguh lainnya untuk menulis dan menerbitkan buku tandingan berjudul Moeslihat. Penulisnya adalah Tan Malaka.

Tan Malaka, saya kira, harus masuk dalam deret teratas para penulis Indonesia yang paling tangguh dan prolifik. Produktivitas dan stamina orang ini betul-betul tanpa tanding. Saya bahkan berani bilang: hanya kematian yang bisa menghentikannya menulis. Penjara, pengasingan, pembuangan dan penyakit akut tak akan pernah mampu membuatnya berhenti menulis.

Coba anda bayangkan, di tengah situasi yang begitu berbahaya pada masa kekuasaan Jepang, Tan Malaka masih mampu menerbitkan sebuah buku dahsyat berjudul Madilog; sebuah buku yang bagi saya ditulis dengan semangat seperti Karl Popper menulis The Open Society and Its Enemies untuk menjelaskan, mempertahankan dan menguji ideologi demokrasi liberal, atau Karl Kautsky ketika menulis Die Materialistische Geschichtsauffassung, yang dianggap sebagai interpretasi materialistis terlengkap tentang sejarah pada saat terbitnya.

Bedanya, Popper menulis buku itu di lingkungan universitas, dengan rekan sejawat yang selalu bersedia mendebat dan dengan demikian memperkaya gagasannya, lengkap dengan perpustakaan yang selalu siap diakses kapan pun. Sementara Tan Malaka justru menulis Madilog dalam situasi yang sangat terbatas, tanpa buku-buku acuan, yang seluruh kutipan diambil dari ingatannya belaka, dan dalam persembunyian penuh marabahaya yang memaksanya menulis Madilog dengan huruf-huruf yang sangat kecil.

Madilog adalah suara modern dari seorang Asia, seorang Timur, yang juga diperuntukkan bagi bangsa Asia, bangsa Timur, persisnya bangsa dan rakyat Indonesia yang masih diselimuti pola pikir mitis dan irasional.

Madilog berbicara nyaris tentang semua aspek kehidupan, dari mulai filsafat, ekonomi, kebudayaan, sosiologi, sejarah hingga sains modern, yang meliputi dari matematika, kimia, fisika hingga astronomi. Dengan menulis Madilog, tampak benar betapa Tan Malaka sedang berambisi menguraikan keyakinan filsafat, politik dan ideologisnya secara terus terang, terbuka, dan komprehensif.

Ini pekerjaan yang tak sepele dan terbilang langka dalam tradisi intelektual Indonesia. Para pemimpin Indonesia kala itu, yang rata-rata para pemikir yang banyak bergulat dengan ide-ide besar, tak banyak yang mampu menggarap proyek raksasa sekelas Madilog. Banyak di antara mereka penulis prolifik yang memikat, tapi nyaris tak ada yang punya energi untuk mampu menguraikan semua keyakinan filsafat, politik dan ideologisnya sekomprehensif Tan Malaka.

Dalam pemenjaraan yang tak jelas selama periode 1946-1948, Tan Malaka tetap meneruskan aktivitas intelektualnya. Di penjara republik yang dingin itulah Tan Malaka, di antaranya, menulis From Jail to Jail atau Dari Penjara ke Penjara.

Ini buku mengasyikkan, menurut saya. Membaca buku ini seperti membaca petualangan Scarlet Pimpernal dalam cerita Barones Orczy: penuh petualangan, intrik, marabahaya sekaligus romantisme seorang lelaki yang terasing dari tanah air yang setiap detik selalu ia pikirkan.

Di penjara ini pulalah, Tan Malaka menulis buku tipis berudul Thesis. Buku ini murni polemis. Thesis bisa dibaca sebagai pledoi Tan Malaka atas tuduhan sebagai pengkhianat atau Trotskyis yang disematkan orang-orang PKI yang jengkel karena Tan Malaka tidak menyetujui rencana kudeta pada 1925 silam.

Menariknya, buku yang ditulis dan terbit di tengah sengkarut situasi dan politik yang tidak karu-karuan itu, masih sempat-sempatnya dibalas juga dalam bentuk buku oleh Alimin, orang lama dalam jajaran PKI. Buku tandingan itu berjudul Analysis.

Dengan demikian: Thesis dibantah oleh Analysis. Buku dibantah oleh buku.

Dibangun oleh orang-orang yang sangat mencintai buku itulah Indonesia lahir dengan segenap-ganjil sengkarut dan intrik-intriknya. Sengkarut itu kadang memaksa seorang penulis Indonesia harus berhadapan muka dengan muka dengan penulis lainnya.

Kisah Moesso versus Soekarno yang berujung kematian Moesso bukan satu-satunya kasus. Sejarah Indonesia juga mengenal kisah buku yang tragis dari seorang Amir Sjarifuddin.

Amir adalah Perdana Menteri kedua dalam sejarah Indonesia. Dia naik sebagai Perdana Menteri menggantikan Soetan Sjahrir. Amir bukan orang baru dalam pergerakan nasional. Namanya sudah meroket sejak ia aktf di Gerindo. Dia ikut aktif membangun gerakan anti-Jepang pada masa Jepang sendiri sedang berkuasa di Indonesia. Sayangnya Amir tertangkap dan divonis mati oleh pengadilan militer Jepang. Hanya atas intervensi Soekarno dan Hatta sajalah Amir diampuni.

Sebagai Perdana Menteri Amir tak banyak berbuat. Perundingan Renville memaksa dirinya lengser dari kekuasaan. Sejak itulah Amir makin bergerak ke “kiri”, terutama setelah Moesso datang kembali ke Indonesia pada Agustus 1945.

Kenyataan itulah yang membuat namanya tersangkut dalam peristiwa Madiun 1948. Beberapa jam sebelum di ekseskusi mati di Solo, Amir sempat mampir di Jogjakarta. Dalam pengawalan yang sangat ketat, Amir duduk sendirian di Stasiun Tugu, menunggu kedatangan kereta yang akan membawanya ke Solo untuk ditembak mati.

Ketika perwira yang bertugas menjaganya bertanya apakah membutuhkan sesuatu, Amir tidak meminta makan, minum, pakaian, atau apa pun. Permintaan terakhirnya adalah meminta buku.

Maka disodorkanlah buku Romeo and Juliet karangan William Shakespeare, satu-satunya buku yang dibawa oleh perwira yang menjaganya (bahkan seorang perwira dalam situasi perang masih sempat-sempatnya membawa buku!)

Dikisahkan, Amir menghabiskan waktunya di Stasiun Tugu dengan buku di tangannya.

Ketika kereta yang akan membawanya ke Solo untuk dieksekusi mati datang, Amir langsng naik ke gerbong yang sengaja dikosongkan. Ketika kereta bergerak ke arah timur dengan perlahan, tampak jelas ratusan orang berjubel di sepanjang rel ingin menyaksikan wajah mantan Perdana Menteri mereka yang hendak dihukum mati.

Amir, dikisahkan oleh Soe Hok Gie, tetap tenang dan penuh khidmat membaca buku Romeo and Juliet yang sedang berada di tangannya (saya pernah melihat foto karya Mendur yang berhasil memotret adegan ketika Amir sedang membaca Romeo and Juliet di gerbong kereta itu. Saya ingat, foto itu saya lihat di halaman 15 Kompas pada Agustus 2005. Hanya saja, saya lupa itu tanggal berapa).

Saya kehabisan tenaga dan waktu kalau harus mengisahkan satu demi satu fragmen sejarah yang bisa menggambarkan hubungan yang intens antara Indonesia dengan buku. Betapa banyak. Betapa melimpah.

Catatan ringkas ini sekadar menjadi pengantar ihwal sebuah “musyawarah gagasan” yang pernah berlangsung secara intens dan menjadi salah satu sebab dari lahirnya Indonesia.

Saya sangat senang menyebut musyawarah itu sebagai “Musyawarah Buku”.

1 comment:

andreas iswinarto said...

silah tengok 32 artikel edisi khusus kemerdekaan Majalah Tempo dan 14 buku online tan malaka di

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/tan-malaka-bapak-republik-revolusi.html

semoga bermanfaat

salam hangat