Thursday, May 10, 2007

Dari Mata Turun ke Buku

Oleh Zen Rachmat Sugito

Hantu marxisme sedang bergentayangan di Hindia Belanda. Sungguh, ini bukan plesetan kalimat Marx yang termasyhur itu. Tapi, seperti itu yang memang terjadi di Hindia Belanda di paruh pertama abad 20. Marxisme bergentayangan di banyak (isi) kepala para pemimpin pergerakan nasional.

John Inglesson pernah mencoba menjelaskan hal itu dalam disertasinya yang lantas diterbitkan dengan judul Jalan ke Pengasingan (1993). Kata Inglesson, “Daya tarik (marxisme) terletak dalam penjelasannya tentang situasi penjajahan dan filsafat determinisme historisnya.”

Bagi suatu generasi yang masih mencari identitas dan landasan pijak bagi visi nasional yang hendak mereka tegakkan, marxisme menjadi tempat berlabuh bagi kebutuhan akan ideologi pengikat yang memungkinkan untuk berlindung, walaupun untuk sementara, dari goncangan spiritual dan intelektual yang sedang mereka alami. Berdasar visi dialektika sejarah itulah, mereka yakin benar: kolonialisme (dan kapitalisme) sedang menuju “tiang gantungan sejarah”, untuk kemudian mampus!

Bung Hatta cum suis jelas tak pernah berjumpa dengan Marx. Tapi Marx mewariskan buku: Das Capital juga Manifesto Komunis. Karena itulah Bung Hatta, juga Tan Malaka atau Bung Karno, mengenal visi dialektika sejarah: visi yang menurut Inglesson “sedikit banyak mempengaruhi keyakinan mereka bahwa perjuangan melawan kolonialisme suatu saat akan menuai hasil”.

Buku atau bacaan, tentu saja bukan satu-satunya anasir determinan yang membentuk kesadaran nasional para pemimpin pergerakan itu. Kesadaran mereka menggumpal oleh banyak sebab. Buku-buku yang dibaca adalah salah satunya. Selebihnya dan pada mulanya, kesadaran itu dipicu oleh pengalaman historis yang mereka alami dan yang disaksikan dengan mata kepala sendiri: betapa menderitanya dijajah dan diperbudak.

Jika Saijah, protagonis novel Max Havelaar, ditanyai kenapa ia mencoba memberontak, ia akan menjawab: karena kerbau kesayangan saya dirampas Tuan Demang. Kita tahu, Saijah lantas didor marsose (polisi Belanda), “Si Penjaga Ketertiban”.

Itulah. Kesadaran nasional, kesadaran yang berujung pada hasrat yang menjompak-jompak menginginkan kemerdekaan, dibentuk oleh pengalaman pahit nan pedih dijajah, diperbudak, dan dihisap. Orang ingin merdeka karena karena ia “tahu” artinya tidak merdeka. “Tahu” di sini artinya juga “mengalami” dengan sepenuh rasa sakit dan robek. Dan semua tahu, bukan cuma Saijah, bahkan seekor semut pun akan menggigit jika diinjak.

Perkara “gigit-menggigit” jika diinjak, para moyang kita sudah banyak kasih contoh: Diponegoro, Pattimura, Imam Bonjol, dll. Tapi semua kandas. Generasi abad 20 mencari jalan “menggigit” yang lain, yang berbeda; yang tak melulu dengan keris dan rencong. Dari pengetahuan yang mereka candra dan sesap, baik dari guru-guru di sekolahan dan terutama dari buku bacaan, jalan itu pun mereka dapatkan: dengan mengorganisasikan diri. Ya… dengan organisasi. Maka, bak bunga di musim semi, bermekaranlah rupa-rupa perhimpunan pemuda, study club, dan akhirnya partai politik.

Dari buku-buku bacaan pula, mereka mendengar kabar bahwa bangsa Asia (Jepang, Tiongkok dan Turki) sudah banyak yang “bangun dari kemegahan kosong nan rapuh” masa silam, dan perlahan tapi pasti mulai sanggup bersaing dengan bangsa-bangsa Eropa.

Kabar tentang kebangkitan beberapa bangsa Asia itu penaka obat mustajab yang mampu menyembuhkan sindrom rendah diri: bahwa bangsa Asia bisa maju dan bersaing dengan bangsa Eropa.

Sindrom rendah diri ini muncul diakibatkan serangkaian kekalahan, kehinaan dan bencana yang diderita hampir tak kunjung henti: VOC memukul Sultan Agung di gerbang Batavia pada 1629, Amangkurat III dimakzulkan VOC dan dibuang ke Ceylon pada 1707, Pakubuwono II menyerahkan seluruh pesisir utara kepada VOC sebagai imbalan tahta baru di Surakarta, VOC berhasil memaksakan pembagian kerajaan menjadi Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegara pada 1755-57, Hamengkubuwono II diturunkan oleh Daendels pada 1809, Hamengkubuwono II dibuang ke Penang oleh Raffles pada 1812, Kasultanan Yogyakarta dipecah lagi dengan didirikannya Kadipaten Pakualaman pada 1814 dan terakhir Diponegoro dilumpuhkan dan dibuang pada 1830.

Bisa dimengerti jika para pemuda (Jawa) terpelajar yang telah banyak membaca sejarah Eropa, dan juga sejarah bangsa mereka sendiri, mulai melupakan Babad Tanah Jawi dan kitab-kitab lainnya. Di mata para pemuda terpelajar yang mulai bersentuhan dengan ilmu pengetahuan modern, kitab-kitab tua itu tampak mengandung paradoks yang kronis: di satu sisi berisi kemegahan dan pujian terhadap raja-raja yang ditahbiskan dewa-dewi lewat (pinjam frase Prof. C.C. Berg) “teja berapi” yang berkilau-kilau, tapi di sisi lain mereka telanjur mafhum bahwa raja-raja yang namanya diwiridkan dengan penuh puja-puji di kitab-kitab tua itu ternyata selalu berhasil dikangkangi bangsa Eropa.

Maka sebanyak-banyaknya mereka belajar dan membaca. Dengan itulah, dan bukan dengan mantra-mantra dari kitab Betaljemur Adammakna, Eropa bisa dilawan dan ditandingi. Tapi tak cuma membaca, mereka juga menulis lantas menerbitkan atau menyiarkannya ke khalayak. Maka hari ini kita kenal Indonesia Menggugat-nya Bung Karno, Madilog-nya Tan Malaka, Islam dan Sosialisme-nya Cokroaminoto dan tentu saja koran Medan Prijaji-nya Tirtoadisoerjo atau Doenia Bergerak, koran yang dipimpin Marco Kartodikromo yang galaknya minta ampun itu.

Dengan itulah, perlawanan terhadap Belanda memasuki babak baru: tak cuma dengan rencong dan keris, tetapi juga dengan pena dan kertas (baca: ilmu pengetahuan). Itulah sebabnya Ben Anderson, lewat esai panjang Immagined Communities, menulis: selain runtuhnya kekuasaan universal (gereja Katolik-Roma) dan kerajaan-kerajaan dinastik, berkembangnya penerbitan dan percetakan yang memungkinkan tulisan para pemimpin pergerakan makin banyak dibaca khalayak adalah elemen terpenting dari kelahiran nasionalisme.

Jika ada pantun berbunyi: “Dari mana datangnya cinta? Dari mata turun ke hati”, maka saya juga punya pantun: “Dari mana datangnya nasionalisme? Dari mata turun ke buku.”

1 comment:

Erdian Dharmaputra said...

wah, menarik sekali blog-nya nih.

salam kenal ya.