Oleh Fauzi A. Muda
Segala sesuatu akan mengalami perubahan, tapi hanya perubahan itu sendiri yang kekal. Barangkali itulah kata (motivasi) yang tepat untuk menggambarkan gairah industri perbukuan tanah air saat ini. Sebuah fakta yang terjadi pada lima tahun belakangan. Buku-buku motivasi memenuhi rak-rak toko buku, bahkan tidak sedikit yang dilabeli international bestseller.
Nama motivator Arab Saudi, Dr Aidh al-Qarni, telah menyedot perhatian umat muslim di dunia. Bukunya yang fenomenal, Laa Tahzan (2004), laris manis di pasaran. Konon untuk edisi Indonesia sudah cetak ulang hingga 30 kali. Laa Tahzan mampu memberi uraian yang mencerahkan serta membangkitkan rasa optimisme bernuansa Islami. Misalnya, mengajak masyarakat untuk tetap tegar dalam hidup karena ia hanya hidup sekali. Masyarakat juga diminta untuk tidak bersedih atas kesusahan yang menimpa mereka, karena sesungguhnya di balik kesusahan ada kemudahan dan di balik kesedihan ada kebahagiaan.
Fenomena al-Qarni seolah membangkitkan gairah penulisan, penerbitan, dan bisnis buku bertema motivasi. Nyatanya, hampir semua penerbit kemudian berbondong-bondong menerbitkan buku-buku bertema sama. Tidak hanya dari penulis asing, penulis lokal Indonesia pun juga bertebaran. Tidak sedikit bukunya yang akhirnya laris manis.
Kita juga masih ingat fenomena buku The Secret (2006) karya Rhonda Byrne yang diklaim sebagai rahasia terbesar yang pernah ada, terkubur, dan sengaja disembunyikan. Byrne juga mengklaim bahwa orang-orang hebat mengetahui dan mempraktikkan rahasia ini, dan dengan suka rela dia membagikannya kepada pembaca.
Sekadar menyebut nama beken; Stephen R. Covey, Robert T. Kiyosaki, Joe Vitale, Jack Canfield adalah pakarnya pakar motivasi. Selain mereka, juga hadir para motivator dalam negeri yang bermunculan, entah benar-benar ahli atau hanya ''ahli dadakan''. Sebab, hanya dengan menerbitkan satu buku motivasi saja, seorang penulis di Indonesia sudah berani mengklaim diri sebagai motivator andal level nasional.
Buku motivasi berkembang secara luar biasa yang, diakui atau tidak, mampu menggairahkan roda bisnis perbukuan. Buku motivasi muncul dengan banyak wajah dan mengkapling banyak bidang. Tanpa menyebut judul --karena saking banyaknya-- buku-buku motivasi terhampar mulai dari motivasi bisnis, motivasi hidup, motivasi jiwa, hingga motivasi urusan ibadah. Judul-judul yang ditawarkan memang mengandung kata-kata menggoda. Misalnya, miliarder, millionare, keajaiban, misteri, rahasia, happiness, way, road to, cara gampang, dan sebagainya.
Hingga buku-buku cetakan ulang, yang awalnya tidak menggunakan judul berbau motivasi, kini muncul dengan aroma motivasi yang kental. Misalnya buku berjudul Membangun Fondasi Ekonomi Umat: Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam, di edisi revisinya berganti judul menjadi Cara Kaya dan Menuai Surga (2007). Yang hebat lagi, terbit pula buku-buku motivasi tentang ragam-cara menjadi penulis bestseller beriming-iming finansial melimpah.
Sebagai pembaca, cukup miris melihat realitas ini. Buku-buku motivasi yang beredar di pasaran terasa hanya memberikan solusi instan yang ujung-ujungnya, pengembangan diri yang ditawarkan itu, diarahkan kepada keuntungan finansial an sich. Besarnya profit seakan-akan menjadi parameter bagaimana sebuah motivasi dan pengembangan diri itu dianggap sukses.
Realitas Psikologis
Yang terjadi, hal-hal yang berbau motivasi dan pengembangan diri memang begitu digemari oleh sebagian masyarakat Indonesia. Maka, tidak heran, kemudian lahirlah puluhan hingga ratusan buku-buku yang menawarkan ''kedamaian absurd'' atas berbagai tekanan hidup, laris manis.
Apakah ini menunjukkan kondisi masyarakat yang terpuruk, kemudian membutuhkan media untuk berkontemplasi serta introspeksi bagi upaya koreksi diri? Benarkah tingginya antusiasme khalayak terhadap hal-hal berbau pengembangan diri serta munculnya profesi motivator, merefleksikan keadaan masyarakat Indonesia saat ini? Benarkah dalih keuntungan finansial memberi kedamaian sejati?
Masalahnya, buku-buku yang berbau motivasi ini seringkali mendikte seseorang untuk berubah menjadi sesuatu yang terkesan artifisial. Pengembangan diri dan menjadi pribadi yang sukses bukanlah melalui seperangkat doktrin Anda harus begini atau Anda harus begitu. Karena dalam pengembangan diri, tidak ada yang praktis dan instan berdasar sebuah buku atau khotbah para motivator, tetapi sering melalui pertanyaan-pertanyaan mendalam yang bermunculan.
Saya teringat pesan salah satu pelaku penerbitan. Dia mengatakan, ''Prospek penjualan buku-buku problem solving, how to, ke depan masih bagus. Cobalah Anda tulis. Semua bidang bisa Anda tulis, yang penting masukkan kata-kata yang memotivasi, lebih-lebih ada embel-embel keuntungan finansial.''
Alih-alih mencerahkan, kalau semua ramai-ramai menulis buku motivasi, bisa-bisa malah jadi kebanjiran. (*)
*) Fauzi A. Muda, penulis, tinggal di Mojokerto
[digunting dari Jawa Pos edisi Minggu, 12 April 2009]
Saturday, April 18, 2009
Kebanjiran (Buku) Motivasi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
No comments:
Post a Comment