Oleh Agung Prihantoro
Sebenarnya sudah sejak lama saya ingin membaca terjemahan The Kite Runner karya pertama Khaled Hosseini. Namun, baru menyimak paragraf pertama bab ''Satu, Desember 2001'' (hlm. 13) buku edisi 2008, saya tak kuasa melanjutkan pembacaan itu. Mengapa?
Sebetulnya, saya tak ingin menuliskan jawabannya. Sebab, sebagai penerjemah, saya agak letih melihat masih banyak karya terjemahan Indonesia dari yang sangat buruk, agak buruk, lumayan, sampai yang masih bisa disempurnakan. Kritik, kecaman, dan kajian menyangkut terjemahan Indonesia sudah sangat sering dilakukan, tetapi tetap menyisakan bertumpuk-tumpuk karya terjemahan yang cacat.
Keengganan saya meneruskan pembacaan itu karena pada alinea pertama saja pembaca sudah dihadapkan pada repetisi kata-kata ''beku'' dan ''masa lalu'' yang berlebihan dan membosankan. Coba perhatikan penggalan-penggalan kalimat berikut: Pada suatu hari yang beku...(kalimat pertama, baris ke-2) dan di dekat sungai yang membeku (kalimat kedua, baris ke-5 dan 6).
Perhatikan pula: Kita tak akan pernah bisa mengubur masa lalu (kalimat ketiga, baris ke-6 dan 7) dan masa lalu akan selalu menyeruak mencari jalan keluar. Sekarang, saat aku melihat kembali ke masa lalu (kalimat keempat dan kelima, baris ke-7, 8, dan 9).
Sebelum melangkah lebih jauh, kita patut bertanya apakah dalam edisi Inggrisnya Khaled mengerjakan repetisi yang sama? Jika ya, adakah maksud sastrawinya? Si penerjemah seharusnya dapat menangkap makna tersebut. Jika tidak, repetisi ''beku'' dan ''masa lalu'' itu memang perkara penerjemahan semata.
Pada alinea yang terdiri dari lima kalimat dan 12 baris itu, kata ''beku'' diulang sekali, dan ungkapan ''masa lalu'' diulang dua kali! Repetisi kata ''masa lalu" yang pertama bagus untuk menjaga koherensi dan rima. Tetapi repetisi keduanya menimbulkan efek jemu. Repetisi seperti itu juga mengurangi keindahan sastrawi buku New York Times Best Seller tersebut dan menunjukkan bahwa penerjemah dan penyuntingnya lalai atau bahkan mungkin miskin kosakata.
Dalam konteks ini, kata ''beku'' bermakna ''dingin sekali'' dan ''amat adem''. Adem memang termasuk ragam cakap, tetapi bisa menggantikan ''beku'' dengan efek konotatif serupa dan akan membuat paragraf jadi variatif dan indah. Kata ''masa lalu'' bisa disulih dengan ''masa silam'', ''tempo lampau'', atau ''waktu dulu''.
Repetisi semacam itu sejatinya tabu bagi kaum penyair, penulis, penyunting, dan penerjemah. Dalam karya ilmiah yang bahasanya dikenal kaku, repetisi sering sekali terjadi, dan ini dicibir habis oleh para penulis kreatif. Dalam karya sastra, terlebih-lebih puisi, repetisi yang sembarangan adalah tabu besar.
Claude L�vi-Strauss, seorang antropolog-strukturalis Prancis kelahiran Belgia, konon menulis otobiografi intelektualnya, Tristes tropiques (1955), tanpa pernah mengulang kata yang sama, kecuali kata-kata ganti, depan, dan sambung!
Sebaliknya, penyair Linus Suryadi A.G. selalu mengulang larik-larik prosa lirisnya dalam ''Pengakuan Pariyem'': Ya, ya, Pariyem saya/Maria Magdalena Pariyem lengkapnya/Iyem panggilan sehari-harinya/dari Wonosari Gunung Kidul/Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono/di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta".
Repetisi ala Linus itu tentu tidak tabu dan bahkan malah menguatkan nilai sastrawinya.
Soal gaya bahasa repetisi (terutama dalam karya fiksi), penerjemah biasanya dihadapkan pada setidaknya dua pilihan, yang sesungguhnya bisa saja dipadukan. Yakni mempertahankan gaya bahasa aslinya atau menulis ulang dengan gaya bahasa yang lebih indah. Pilihan pertama menuntut penerjemah untuk memahami benar gaya bahasa yang menjadi ciri khas penulisnya. Pilihan kedua dapat menjadikan gaya bahasa terjemahannya berbeda --lebih cantik-- dari aslinya. Lebih jauh lagi, terjemahan pilihan kedua boleh disebut sebagai ''karya asli yang diilhami oleh karya sumbernya'', dan hal ini diamini penerjemah senior Prof Dr Sapardi Djoko Damono.
Hatta, terlepas dari apakah Khaled melakukan repetisi tabu dalam edisi aslinya atau tidak, si penerjemah dapat menulis ulang tanpa repetisi tabu dengan tetap memperhatikan gaya bahasa aslinya. Terjemahan jenis ini dihasilkan dengan pendekatan reader-centered, yakni penerjemahan yang terfokus pada pembaca dan bahasa targetnya (bukan bahasa sumbernya). Dalam dunia pustaka kita, terjemahan semacam inilah yang dianggap sebagai terjemahan yang baik.
Satu hal lagi yang penting untuk senantiasa diingat ketika membincang karya terjemahan adalah pepatah ''karena nila setitik, rusak susu sebelanga''. Hanya gara-gara setitik tabu, sebuah karya terjemahan bisa dicap buruk.
Dalam kasus buku terjemahan The Kite Runner, tampaknya si penerjemah sudah belajar dari repetisi tabu sebelumnya, sehingga ketika menerjemahkan novel kedua Khaled Hosseini, A Thousand Splendid Suns, ia dan penyuntingnya tak mengulangi kesalahan yang sama, sekurang-kurangnya pada paragraf pertama. (*)
*) Agung Prihantoro, penerjemah buku, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
* Dikronik IBOEKOE dari Harian Jawa Pos Edisi Minggu, 29 Maret 2009 dengan judul "Repetisi Tabu".
Saturday, March 28, 2009
Repetisi Tabu (Kasus Terjemahan 'The Kite Runner')
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
No comments:
Post a Comment