Saturday, April 18, 2009

Karena Sastra Bukan Khotbah Jumat

Oleh Muhamad Sulhanudin
Reporter: Leny Nuzuliyanti, Siti Andriyani, Wiwik Hidayati

Novel pertama Inet Ini Memang Gila, Tapi Ini Cinta diterbitkan Lingkar Pena Publihing House. Munah, tokoh sentral dalam novel itu, tengah jatuh cinta dengan Kiwil, kriwil, suka ngupil anak Pak Sadeli. Tapi Haji Nasir, babe Munah menentang hubungan putrinya dengan si anak band yang dandanannya superaneh itu. Karena sudah terlanjur cinta mati, Munah akan kawin lari jika babenya tetap tak mengizinkan.

Ketika menerima naskah dari Inet, Asma Nadia meminta Laela Imtichanah untuk membaca dan memberikan komentar. “Saya langsung tergilai-gilai dengan gaya berceritanya yang mengalir lancar bagai air dan ceritanya yang emang lucu selucu si Inet, sang pengarang. Settingnya yang Betawi abis mengingatkan saya dengan Si Doel, juga kampung halaman saya di Jatinegara. Eh, saya kan masih ada keturunan Betawi, lho. Dalam hati saya bilang, naskah ini harus segera terbit!” komentar Laela seperti dikutip dari milis FLP.

Laela adalah editor, sedang Asma Nadia CEO Lingkar Pena Publishing House (LPPH). LPPH yang didirikan tahun 2003 merupakan penerbitan mandiri milik Forum Lingkar Pena (FLP).

Bagi Nenden Nurjanah, nama asli Inet, menulis fiksi remaja karena dia ingin memberikan pencerahan untuk para remaja. Selain itu juga lebih gampang dan lebih mudah diselami. Menulis untuk remaja, kata Inet, tak harus menggunakan kata “elo gue”. Cerita remaja yang baik akan memberikan pembaca hal-hal yang baik. “Banyak pelajaran yang bisa diambil. Sehingga banyak amalnya,” tutur Inet.

Sementara menurut Boim Lebon, menulis cerita untuk remaja bisa dilakukan oleh remaja dan juga mantan remaja. Seperti dirinya yang sudah tak remaja lagi, mengaku banyak bergaul dengan dunia remaja. Setelah mengetahui dunia mereka, lalu Boim menuliskannya dengan bahasa yang simpel agar mudah dibaca oleh pembacanya yang masih remaja.

“Sisi yang gaul dan yang islami itu bisa digabungkan dalam cerita. Cerita yang baik itu yang ada hikmahnya,” katanya. Bersama Hilman Hariwijaya, Boim menulis Lupus Kecil dan Lupus ABG yang populer di akhir tahun ‘80 dan ‘90-an.

Sebagian besar karya-karya penulis FLP yang beredar di pasaran lebih banyak berisi cerita remaja. Namun soal pemilihan tema, kata Boim Lebon, setiap penulis harus mengetahui kemampuan dirinya sendiri. “Dia mateng di mana, itu yang dia tekuni,” katanya. Karena Boim banyak bergaul dengan dunia remaja, maka ia juga banyak menulis cerita remaja.

“Mau menulis apa, itu pilihan penulis,” kata Asma Nadia, penulis yang telah banyak menerbitkan buku-buku remaja, baik fiksi maupun nonfiksi itu.

Buku kedua Inet Pengalaman Jilbab Pertamaku. Buku ini berisi kumpulan cerpen (kumcer) dari sejumlah penulis FLP. Jilbab Pertamaku memuat kisah-kisah pengalaman pertama penulis memakai jilbab. Ada yang mulanya sekadar ikut-ikutan, ada yang karena konflik dengan keluarga atau pacarnya sampai dengan yang karena takut kepanasan. Dalam setiap pergantian cerita diselipi komentar cowok tentang cewek yang berjilbab. Semua cerita dikemas dengan bahasa gaul khas remaja perkotaan. Atau istilah gaulnya, bahasanya gue banget gitu loh!

Selain tema-tema remaja, lagi-lagi jilbab diketengahkan sebagai tema tulisan. Apakah tema remaja islami ini memang telah menjadi jalur yang sengaja dipilih oleh penulis FLP?

****

Forum Lingkar Pena didirikan 22 Februari 1997. Bermula dari pertemuan Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Muthmainah dan beberapa mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) di Masjid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia tahun 1997. Mereka berdiskusi tentang minat membaca dan menulis di kalangan remaja Indonesia. Dari diskusi itu, mereka menyadari kebutuhan masyarakat akan bacaan yang bermutu. Di sisi lain juga perlunya menampung para calon penulis. Akhirnya disepakati untuk membentuk organisasi kepenulisan dengan nama Forum Lingkar Pena, sebagai badan otonom Yayasan Prima. Pada Desember 2003, Yayasan Prima berubah menjadi Yayasan Lingkar Pena.

Dalam sepuluh tahun perkembangannya, seperti yang disampaikan dalam makalah Helvy Tiana Rosa dalam Konferensi Internasional HISKI di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia 8 Agustus 2007, FLP telah menerbitkan lebih dari 600 buku, bekerjasama dengan tak kurang dari 30 penerbit, dan membuka cabang di dari 125 kota di Indonesia dan manca negara, seperti Singapura, Hong Kong, Jepang, Belanda, Amerika, Mesir, Inggris.

Berapa jumlah anggota FLP sekarang?

Dalam release sebelumnya, delapan tahun FLP (2005), organisasi kepenulisan ini telah beranggotakan sekitar 5000 orang, hampir 70% anggotanya adalah perempuan. Dari jumlah ini, 500 diantaranya menulis secara aktif di berbagai media. Dari 500 orang ini berusaha membina 4500 anggota FLP lainnya untuk menjadi penulis pula. Jika pada tahun 2005, sebanyak 5000 anggota FLP telah tersebar di hampir 30 propinsi dan mancanegara, sementara publikasi karya FLP kini semakin meluas, jumlah anggotanya sampai dengan tahun ini sudah barang tentu telah mengalami peningkatan yang signifikan.

Keberhasilan FLP merekrut anggota dan meluaskan jaringannya tak lepas dari peran majalah remaja Annida. Annida berdiri tahun 1991. Sebelum mendirikan FLP, Helvy Tiana Rosa telah menjadi Redaktur Pelaksana di Majalah Annida dari tahun 1991-1999. Tahun 1999 Helvy diangkat menjadi Pemimpin Redaksi dan pada tahun 2001 ia mengundurkan diri karena ingin berkonsentrasi mengajar di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Karena sejarah kelahiran FLP yang juga dibidani oleh salah satu anggota redaksi Annida, maka dalam perjalannya Annida dan FLP berjalan berbarengan. Banyak penulis FLP yang mengasah kemampuan menulisnya dengan mengirimkan karyanya ke Annida. Dan bahkan selama 10 tahun keterlibatan Helvy di Annida, majalah fiksi remaja islami itu menjadi media komunikasi yang efektif bagi Forum Lingkar Pena (FLP). Hampir seluruh anggota FLP adalah pembaca dan penulis majalah Annida yang mendaftar menjadi anggota melalui majalah tersebut. Pasca-Helvy, keredaksian Annida di bawah kepemimpinan Muhammad Yulius dan FLP di bawah kepengurusan Irfan Hidayatullah, hingga kini masih tetap erat bergandeng tangan.

Di Semarang, FLP berdiri tahun 2000. Sebagai ketua pertama adalah Yeni Mulati atau yang lebih dikenal dengan nama pena Afifah Afra Amararotullah, mahasiswa Fakultas MIPA Jurusan Biologi Undip.

“Awalnya bukan FLP. Kita punya klub penulis, namanya Seruni. Terdiri 5 sampai 6 orang. Semuanya mahasiswa MIPA. Perintisnya Mbak Yeni. Di sana kita nulis apa saja. Fiksi juga nonfiksi. Lalu terdengar ada FLP. Kita kemudian mengajukan proposal ke pusat, ke Mbak Helvy. Mbak Yeni atau Afifah Afra itu ditunjuk sebagai koordinatornya. Masalah struktur kita ngikuti pusat,” terang Ryas di kantornya, SMP-SMU Islam Terpadu, Lembaga Pendidikan Islam Hidayatullah, Semarang.

Belum selesai kepengurusan ketua pertama, Afifah Afra diganti Laila Imtichanah. Kasus yang sama terjadi lagi pada kepengurusan kedua. Laila Imtichanah diganti oleh Ryas Nurdiana. Pergantian Afifah Afra dan Laila Imtichanah di tengah kepengurusan karena yang bersangkutan telah lulus kuliah.
Pasca kepengurusan Ryas hingga sekarang, sudah berganti dua kepengurusan, yakni di bawah kepengurusan Muhammad Wahyu Saputra, mahasiswa Sastra Perancis Unnes 2002 dan sejak tahun 2007 Ali Marghosim, mahasiswa Elektro Undip 2005. Dengan demikian, dari awal berdirinya tahun 2000 hingga 2008 ini, kepengurusan FLP Semarang telah melewati lima kali kepengurusan. Ketua yang terakhir, Ali Marghosim menjabat untuk periode 2007-2009. Masa setiap kepengurusan ditetapkan dua tahun.

Di Fakultas Sastra Undip, FLP mengembangkan jaringan melalui Keluarga Mahasiswa Muslim Sastra (KMMS). Komunitas Sastra dan Studi Islam (KSSI) adalah wadah yang digunakan para mahasiswa Sastra Undip untuk belajar menulis fiksi islami. Didirikan tahun 2005, saat kepengurusan Syaiful Qohar, mahasiswa Sastra Inggris 2003. KSSI merupakan badan semiotonom KMMS.

Perintis awal KSSI adalah Ellita Permata (mahasiswa Sastra Inggris 2002, alumni, red) dan Fairus Failasuf. Pada masa awal KSSI, saya sering menemukan potongan kertas yang berisi cerita hikmah sampai nukilan hadits yang ditempel di mading Mushola PKM Sastra Undip dan juga mading di depan sekretariat KMMS. Apakah seperti itu yang dimaksud sastra islami menurut anggota KSSI?

Syafaatul Aisyiah yang saat ini menjabat sebagai Ketua KSSI periode 2007-2008 mengatakan, pada masa awal terbentuknya KSSI berkonsentrasi pada pelatihan kepenulisan. Tapi dalam perjalanannya kemudian KSSI lebih fokus pada penulisan sastra islami. Dua tahun terakhir ini KSSI kerap menyelanggarakan kegiatan workshop penulisan bekerjasama dengan FLP Semarang.

Dari Ali Marghosim, ketua FLP Semarang 2007-2009, saya mendapat keterangan jika FLP Semarang kini telah memiliki beberapa rayon atau zona. Diantaranya Zona Pleburan yang dikoordinir oleh KSSI, Ngaliyan di kampus IAIN, Sekaran di kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes) dan Tembalang, kampus Undip. Diakuinya pula, seperti organisasi mahasiswa di kampus, seleksi alam berlaku dalam perekrutan anggota dan pengurus FLP Semarang.

Belum lama ini FLP Semarang melakukan rekruitmen anggota baru. Terkumpul 160 pendaftar. Jumlah itu termasuk FLP Pelajar. Sejak kepengurusan Ryas Nurdiana, FLP Semarang telah memiliki divisi FLP Pelajar yang anggotanya merupakan siswa SMU. Waktu itu FLP Pelajar dipusatkan di SMP-SMU Islam Hidayatullah, tapi kini kegiatan FLP dipusatkan di SMU 5 Semarang.

“Rekrutmen itu gampang sekali, yang daftar banyak. Setelah dilantik, seperti ekor tikus. Memang waktu rekruitmen kita mencari sebanyak mungkin, nanti akan ada seleksi alam. Di sastra, kita ngadain acara dua kali, karena tak menunjukkan komitmen 40 saya keluarkan, dan hanya tinggal 15 orang,” kata Ali.

****

Menulis bagi sejumlah penulis FLP, kata Ryas Nurdiana, hanya sarana untuk berdakwah. Tapi dia menolak jika yang disebut islami itu harus memuat ayat-ayat atau hadist. Yang lebih penting menurutnya, bagaimana nilai-nilai islam tercover dalam karya. Ia menyadari jika sejumlah penulis FLP masih terjebak pada tataran simbol. Pengagum budayawan Prie GS ini menyebut tulisan Prie GS sebenarnya lebih islami daripada tulisan anggota FLP.

“Pada awalnya kita memang dakwah. Kita pengen selain menulis juga berdakwah. Makna dakwah dan menggurui itu tipis sekali,” katanya.

Bagi Ryas dakwah dalam tulisan tetap penting. Agar tidak terkesan terlalu menggurui, penulis perlu meningkatkan kemampuan menulis. “Jika kita benar-benar melepaskan dakwah dan itu disampaikan ke komunitas dakwah, kita akan dikritik. Itu menulis untuk apa, kok nggak ada misinya sama sekali,” kata Ryas memberi alasan.

Apakah itu bisa diartikan bahwa karya-karya FLP dibaca di kalangan mereka sendiri, komunitas dakwah kampus?

Ryas mengaku belum pernah melakukan survei. Tapi sejauh pengamatannya, karya-karya penulis FLP diminati oleh teman-temannya di kampus.

Izzatul Jannah mengatakan, FLP sebenarnya tidak membidik kalangan pembaca tertentu. Kalaupun karya FLP dibaca oleh komunitas dakwah baik di kampus maupun di sekolah, itu terjadi secara alamiah. Ia yakin jika pembaca akan memilih buku yang sesuai dengan cara pandangnya, bacaan-bacaan yang dekat dengan kesehariannya.

“Mungkin mereka menemukan cara pikir yang sama kemudian cara berkontemplasi yang sama dengan buku-buku FLP sehingga akhirnya sebagian besar yang membaca adalah anak-anak remaja yang memiliki kecenderungan religius,” katanya.

“Tapi tidak menutup kemungkinan yang baca itu adalah nanti juga ketemu ama Mbak Titak. Pembacanya sangat unik. Pembacanya Mbak Titak itu ada yang pernah terlibat narkoba segala macam. Kemudian saya sarankan Mbak Titak, tulislah itu pengalamanmu tentang pembacanya itu supaya mereka mengerti bahwa yang baca FLP itu, buku-buku FLP itu bukan cuma anak-anak masjid. Bukan cuma anak-anak aktivis dakwah,” tambah Izzatul Jannah, Ketua FLP Wilayah Semarang. Izza, panggilan Izzatul Jannah, adalah generasi pertama FLP. Ia telah bergabung FLP dari sejak organisasi penulisan sastra islami ini didirikan tahun 1997.

Dalam FLP penulis diklasifikasikan menjadi empat tingkatan: mula, madya, andal dan inti. Penggolongan ini didasarkan pada tingkat kemampuan menulis. “Meskipun usianya sudah 45 tahun, kalau dia belum pernah mempublikasikan karyanya, itu masuk pemula. Kemudian madya, sudah mulai bermunculan di media lokal. Yang andal, dia sudah mulai masuk ke media nasional dan sudah punya buku, minimal antologi. Yang inti, dia sudah punya buku dan terkenal. Di semarang sendiri, yang nasional, yang punya buku saja baru sekitar 5. Kalau antologi sudah banyak,” kata Ryas Nurdiana.

Ryas mengakui tema-tema yang diusung FLP hampir seragam. Ia mencontohkan tema cinta. Ia sendiri mengaku sengaja menulis tidak menggunakan kata “cinta”. “Saya bosan, karena setiap ke toko buku selalu menemui buku dengan kata cinta. Apakah harus dengan cinta?”

Menurut Ryas, banyaknya tema cinta terkait dengan kebutuhan segmen pembaca FLP. Tema cinta memang lagi booming. Tapi ia dan teman-teman di FLP Semarang tak ingin hanya berhenti sampai di situ. “Kalau periode pertama campur baur. Ada yang sastra berat, ada yang pop kayak punya saya dan Mbak Laela. Untuk selanjutnya kita punya kualifikasi. Ini untuk remaja, untuk umum. Dan masing-masing dari kita, menyadari kemampuan masing-masing.” Laela yang dimaksud Ryas adalah Laela Imtichanah, mantan Ketua FLP Semarang sebelum Ryas.

****

Booming karya FLP di satu sisi merupakan kebanggaan bagi anggota komunitas itu, setidaknya sebagai tolok ukur banyaknya anggota yang menghasilkan karya. Tapi di sisi lain mendapatkan sorotan dari pihak luar akan kualitas karyanya. Pasalnya, dari ratusan buku yang terbit tiap tahunnya hampir seragam: bercerita tentang remaja yang sebelumnya tak berjilbab, menjadi berjilbab; manusia yang menyadari kekhilafannya dan kemudian bertaubat. Atau yang sekarang lagi ngetren, biar gaul tapi tetap syar’i. Makanya akan ada judul “Pacaran Islami”, “Gaul Islami” dan islami-islami lainnya.

Apalagi pasca-meledaknya novel Ayat-Ayat Cinta yang dibicarakan di berbagai tempat dan kalangan di luar komunitas FLP, kini banyak bermunculan karya-karya sejenis. Mulai dari desain covernya perempuan khas timur tengah bercadar yang tampak mata, alis dan separuh hidungnya, hingga ke setting ceritanya.

Kondisi ini sebenarnya sudah disadari oleh internal FLP. Dalam Mukernas FLP di Bandung 2005, dibahas masalah kualitas karya anggota FLP. Oleh karena itulah, dalam kepengurusan FLP periode 2005-2009 di bawah kepemimpinan Irfan Hidayatullah yang menggantikan Helvy Tiana Rosa sebagai ketua pertamanya sejak awal tahun berdirinya 1997, dibentuk divisi kritik sastra dengan koordinatornya Ekky Imanjaya, alumnus Filsafat UI. Anggota divisi ini antara lain Firman Venayaksa, Herry Nurdi, Lusiana Monohevita, Nanik Susanti.

Selain itu, juga dibentuk Majelis Penulis FLP. Anggotanya, menurut Irfan, antara lain Helvy Tiana Rosa, Golagong, Asma Nadia, Habiburrahman El Shirazy. Majlis penulis dibentuk untuk menjalankan fungsi kontrol agar kualitas karya anggota FLP terjaga.

Dalam Mukernas itu disepakati bahwa untuk mencantumkan logo FLP setiap buku akan melalui seleksi tim majlis penulis. Majelis penulis hanya ada di pusat, sehingga semua karya yang akan diterbitkan oleh anggota FLP dengan mencantumkan logo FLP harus terlebih dulu dikirim ke pusat.

Peraturan baru ini akan menguntungkan FLP secara organisasi juga penulis. Keuntungan bagi FLP, pertama, akan menaikkan citra FLP karena dengan diberlakukan fungsi kontrol itu kualitas karya-karya anggotanya ke depan akan terjaga. Juga akan ada pemasukan dana karena setiap kali pencatuman logo dikenakan iuran yang akan disetor ke FLP pusat.

“Image tulisan-tulisan FLP di masyarakat yang sangat mudah diterbitkan itu perlu digiring kearah perbaikan,” kata Irfan, yang juga dosen Sastra Indonesia Universitas Pandjajaran (Unpad) Bandung ini.

Menurut Irfan saat ini sudah ada beberapa penerbit besar yang melirik karya-karya anggota FLP. Seperti karya Asma Nadia Cinta Tak Pernah Menari telah diterbitkan Gramedia (Gramedia Pustaka Utama, 2003). Memang, setelah booming fiksi islami karya anggota-anggota FLP di pasaran, sejumlah penerbit besar melirik pasar fiksi Islami yang ternyata tak kalah menjanjikan dari fiksi populer umum. Bahkan diantaranya ada yang membentuk divisi khusus, seperti Penerbit Mizan yang membuka Divisi Buku Anak dan Remaja Mizan (DAR! Mizan).

Dengan makin menguatnya jaringan penerbitan fiksi islami dan juga adanya wacana peningkatan kualitas karya para anggota FLP, di saat itulah FLP merasa perlu untuk mengukuhkan representasi identitasnya. Karakter FLP, kata Irfan, memiliki perbedaan dengan karya-karya yang keluar dari komunitas lain. Misalnya dari komunitas sastrawan santri. Masing-masing punya keunikan sendiri-sendiri.

“Itu akan terus dikontrol karena biasanya ada anggota FLP yang coba mengeksplorasi kebebasan berkarya. Itu mungkin diawasi dalam artian kita menjaga satu mainstream baru kesastraan yang itu prosesnya nanti didiskusikan. Tidak sensor, tapi didiskusikan majelis penulis dengan kapasitasnya misalnya didalam unit sastra ada 10 unit itu mencoba untuk mendiskusikan karya-karya yang mempunyai tendensi kearah sana. Itu secara ide ya. Kalau secara pengemasan dan lain sebagainya itu juga kita ingin meningkatkan ke arah karya yang lebih estetis. Selama ini kan lebih ke arah alur, hanya cerita saja. Pokoknya asal ada alur, ada tokoh, ada konflik dan sebagainya itu dah lolos. Mungkin nanti bisa lebih diseleksi lagi seperti di diskusi-diskusi,” terang Irfan.

Irfan mengakui masih adanya penggambaran secara hitam-putih oleh para angota FLP yang sebagain besar berlatarbelakang aktivis dakwah kampus. FLP, katanya, tak ingin membunuh ideologi mereka. Tapi ingin meramu yang fundamentalis dan lain sebagiannya itu dengan sebuah karya.

Irfan mencontohkan pengarang Mesir Yusuf al Qardhawi. Menurutnya, di Indonesia al Qardhawi dikenal seorang yang fundamentalis. Ia mengungkapkan tentang penjara-penjara di Mesir, Ikhwanul Muslimin. Kalau teknik mengungkapkan itu dalam karya sastra, menurutnya citra dan dampaknya akan lain. “Nah yang belum ada di FLP itu menjembatani antara background ideologis pengarang dengan cara estetika.”

Jika para sastrawan santri macam KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) atau Ahmad Tohari tak membatasi lagi antara islam dan nonislam, mengapa FLP masih berkutat pada persoalan identitas?

“Kalau Danarto dan Gus Mus mendekatkan kesastraan dengan kebudayaan islam di indonesia itu lewat kaca mata mereka. Ya kita dari sudut kita. Kita berhak memposisikan sesuatu. Unversalitas islam itu yang menjadi satu titik.”

“Tapi saya yakin, Gus Mus kemudian Danarto itu akan mengungkapkan sesuatu tidak seperti yang diungkapkan oleh Ayu Utami dan teman-temannya. Dalam artian tulisan itu tetap menjadi kepentingan walaupun mereka mengimbaskan pada kekaryaan. Mungkin karena posisi mereka dengan keilmuan yang lebih luas itu.”

Ekky Imanjaya punya pandangan lain. Alumni Filsafat Univesitas Indonesia (UI) yang kini menjabat sebagai koordinator Divisi Kritik Sastra FLP Pusat ini mengatakan, perbedaan corak keislaman penulis FLP dengan penulis islam lainnya terkait dengan pemahaman islam penulisnya. Semakin karya itu jauh dari simbol, karya itu akan semakin universal.

“Makanya saya tidak setuju disebut sebagai sastra islam, secara pribadi. Walaupun mas Gong sangat bersikeras. Karena mas Gong bilang identitas, kenapa emang. Ada apa memang dengan sastra islam. Outputnya sama itu mencerahkan, ada sesuatu pesan,” kata Ekky. Mas Gong adalah Golagong. Pendiri komunitas Rumah Dunia ini juga bergabung dalam FLP.

Menurut Ekky, orang menulis karena dia gelisah. Caranya menulis terserah. Lalu, perlu dipertimbangkan juga, dia menulis untuk siapa. “Apakah untuk sesama anak Rohis, sesama orang yang sudah mengerti islam, atau untuk dunia luar. Nah itu yang harus disebarkan bahwa kita menulis buat banyak orang. Untuk itu kita harus berbahasa dengan bahasa kaumnya.”

Pemahaman menulis untuk semua orang itu yang kurang dipahami oleh para penulis FLP. Dalam penilaian Ekky, mereka masih menulis hanya sesuatu yang dekat dirinya. “Mungkin untuk awal nggak masalah, hitam putih lah, penjahat yang jahat banget, harusnya ada peningkatan.”

Ekky justru lebih menyarankan jika penulis FLP mengacu pada karya-karya Kuntowijoyo. Karya Kuntowijoyo, kata Ekky, meski tidak menyebutkan embel-embel islam, tapi dia sangat islami. Ekky tak mempersoalkan adanya kata-kata “assalamualaikum” selama itu menjadi bagian inheren dalam karya. Sebaliknya, kata-kata itu juga tak menjamin sebuah karya akan menjadi lebih islami ketika hanya dijadikan sebagai tempelan.

“Kalau seorang itu muslim dia akan menginternalisasikan nilai-nilai keislamannya, ada proses, kemudian ada proses eksternalisasi. Jadi apapun yang dilakukan oleh seorang muslim itu dakwah tanpa harus ngomong, saya sedang berdakwah, itu otomatis. Itu pun terjadi ketika dia menulis. Ketika dia menulis nilai-nilai keislaman yang sudah diendapkan itu keluar,” kata Ekky yang mengaku pengagum Kuntowijoyo ini.

Kuntowijoyo selain sebagai sejarawan ia juga menulis novel dan cerpen. Salah satu karyanya yang dikenal luas adalah Khotbah di atas Bukit dan cerpennya Dilarang Mencintai Bunga-Bunga. Khotbah di atas Bukit bercerita tentang perjalanan spiritual tokohnya, Barman, yang menemukan “pencerahan” justru setelah dia menikmati kehidupan yang berkecukupan. Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga memenangkan Sayembara Cerpen Majalah Sastra tahun 1968. Sebelum meninggal dunia pada 22 Februari 2005, Kunto menuliskan “Maklumat Sastra Profetik” sebagai kredo kepenulisan karya sastranya.

Kumpulan cerpen Ekky yang berjudul Protes, menurutnya tidak ada kata-kata islam. Tapi oleh Asma Nadia diminta untuk diterbitkan di Lingkar Pena Publishing House. “Wah ini menurut saya dah nggak ada yang islami-islaminya, tapi masih kental nilai-nilai keislamannya, masukin saja,” kata Ekky menirukan Asma.

Ekky mengaku kerap mendorong teman-temannya di FLP untuk tidak hanya membaca buku-buku yang satu selera. Walaupun secara ideologi tidak sama, buku itu perlu dibaca sebagai referensi untuk memperluas wawasan penulis.

Jika ada yang memandang FLP ekslusif, bagi Irfan sebagai hal yang wajar karena setiap kehidupan itu plural. Ada sudut ini di kampus, ada juga sudut seperti pesantren di sana, ada juga keislaman. “Apa salah seorang yang punya background ideologis ingin mengungkapkan jati dirinya?”

Karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan Moechtar Lubis, misalnya. Meski keduanya mengeksplorasi nilai-nilai budaya, tapi secara langsung maupun tidak, pengarang telah mengarahkan pembacanya. Keterjebakan sejumlah anggota FLP, khususnya yang masih pemula, dalam sesuatu yang bersifat simbol akan dibenahi dalam kepungurusan Irfan.

****

Sejumlah pihak di luar FLP menduga, kemunculan FLP untuk mengcounter merebaknya bacaan teenlit-chicklit. Belakangan FLP sering dikaitkan sebagai perlawanan terhadap sastra seks yang dalam istilah sastrawan Taufik Ismail “Sastra Madzhab Selangkang” (SMS) atau “Gerakan Syahwat Merdeka” (GSM). Visi FLP ingin menjadikan menulis sebagai salah satu proses pencerahan masyarakat/ummat. Namun kata “pencerahan” kerap disamaartikan dengan “berdakwah”.

Memang tak menjadi soal jika penulis akan berdakwah. Tapi masalahnya bagaimana mengemasnya. Jika dakwah itu terlalu vulgar, lantas apa bedanya dengan khotbah, apa bedanya dengan pamflet?

“Kalau buat yang berpandangan negatif, ya nggak apa-apa. Orang boleh saja punya pandangan yang berbeda. Tapi yang jelas, kami di FLP tetap akan berkarya, tetap akan memperbaiki kualitas karya FLP dan menjadi orang yang berbicara dengan karya, menjadi orang yang ada dengan karya. Jadi buat temen-temen yang berpandangan negatif, ya buktikan saja bahwa mereka bisa menulis yang lebih baik dari yang ditulis FLP,” tutur Helvy.

Joni Ariadinata yang sejak beberapa tahun terakhir ini ditunjuk sebagai pembina FLP mengatakan, sastra yang baik pasti ada pesan yang ingin disampaikan. Termasuk mereka yang mengklaim seni untuk seni, dalam karyanya juga ada sesuatu yang ingin disampaikan. Hanya saja akan menjadi soal ketika pesan hanya disempitkan menjadi moral, menjadi dakwah.

“Ada orang mengatakan karya itu baik kalau ada pesan moralnya, padahal pesan moral itu mengganggu. Apalagi jika pesan itu disampaikan secara vulgar seperti yang disampaikan anak-anak FLP, meski ini tidak semuanya. Kalau ingin menyampaikan ayat-ayat, kenapa disampaikan oleh sastrawan, yang pengetahuannya belum tentu memadai. Lebih baik oleh mereka yang pengetahuan agamanya lebih baik,” terang Joni Ariadinata.

Menurut Joni, sejumlah anggota FLP keliru menafsirkan bahwa sastra yang baik itu yang ada nasehatnya. “Khotbah Juma’t saja bosan, sebelum mendengarkan saja sudah apriori dulu kan. Sastra yang bergaya khotbah itu akan membosankan, seperti mendengarkan khotbah yang sebelumnya kita tahu isinya. Tiba-tiba dalam sastra akan disampaikan, akan membosankan.” “Tidak semua khotbah membosankan, ada kiai yang mumpuni, sehingga tidak membosankan. Tapi kebanyakan memang begitu,” tambah Joni.

Joni mengasuh rubrik ulasan cerpen di Majalah Annida yang sebagian besar penulisnya adalah anggota FLP. Setiap kali menemukan karya yang bernada khotbah, Joni tak segan-segan memberikan kritik pedas. Berkali-kali ia mencontohkan Kuntowijoyo yang dengan cantik mengajak orang mempunyai etos kerja seperti dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga.

“Teman-teman FLP masih menuju ke sana. Saya ngobrol dengan Abdul Hadi. Dia khawatir karya-karya anak FLP ini akan merusak citra islam. Sekian ribu banyak penulis islam dan jelek. Di satu sisi ada benarnya. Tapi di lain sisi, Abdul Hadi sebagai orang luar yang tidak terlibat, gampang saja ngomong seperti itu. Kalau dia kuatir, mbok ya dia menemani. Makanya karena saya melihat kekhawitran itu, saya menemani. dan diantara mereka ada yang netes, satu, dua, tiga, sepuluh, bagus kan?”

Joni tidak hanya terlibat di FLP. Di Yogyakarta bersama sejumlah seniman dia membuat Jurnal Cerpen Indonesia. Idenya, selama ini cerpen yang dimuat di media mainstream punya banyak kelemahan. Diantaranya, ia akan bertimbang dengan banyak hal, seperti jumlah halaman. Belum lagi dengan beragamnya pembaca, dia juga akan melakukan penyaringan. Dua hal itu sudah membatasi kreativitas pengarang. Cerpen Joni Lampor menjadi cerpen terbaik pilihan Kompas tahun 2004.

Ahmad Tohari mengatakan, dalam syariah islam ada tingkatan. Begitu juga dalam sastra. Pada tahap awal masih bersifat formal, seperti bagaimana orang berjilbab, nama islami, pakaian islami. Kemudian ada yang substansial, yang sudah lebih mendalam. “Sastranya Mas Danarto tidak berbicara secara langsung. Tapi karya-karyanya sangat islami.”

Nuansa dakwah yang amat mencolok, dalam pengamatan penulis penulis Ronggeng Dukuh Paruk itu, dilakukan oleh anggota FLP pemula. Tapi Tohari percaya jika mereka dalam prosesnya akan berkembang menjadi penulis yang lebih baik.

“Kesantrian orang elkis, santri salaf sudah bergaul dengan lokal berbeda dengan kesantrian FLP. Dan itu bukan hal yang aneh. Santri yang ketemu islam di kampus akan beda lagi. Saya tak mempersoalkan itu. Kita jalannya sama, namanya saja yang beda. Titik temunya pada konsistensi membela kemanusiaan. Tuhan sendiri tidak menghendaki semuanya islam. Menurut saya, sastra itu dibaca semua orang. Kalau bergelut dengan segmen, itu hanya terminal keberangkatan, bukan tujuan,” terangnya. Elkis yang dimaksud Ahmad Tohari adalah LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) yang banyak menerbitkan kajian islam kritis.

****

Taufik Ismail menyebut FLP sebagai “Anugrah dari Allah untuk Indonesia”. Ia menilai kehadiran FLP perlu untuk menyemarakkan dunia sastra di tanah air. Selepas reformasi bergulir, banyak bermunculan karya teenlit-chicklit dan pengarang perempuan yang disebutnya telah “mencabul-cabulkan diri”.

Taufik bisa memahami masih adanya semangat yang kuat untuk berdakwah oleh sebagian anggota FLP belum diimbangi dengan kemampuan menulis yang baik. Tapi ia melihat itu sebagai sebuah proses. Dan dari sana FLP ke depan masih punya harapan. Soal kualitas karyanya, penerbit dan pembacalah yang akan menentukan. Kemudian juga ada kritikus sastra yang akan menimbang baik tidaknya karya mereka.

“Mereka harus diberitahu bahwa ketika kau akan berkhotbah itu berbeda ketika kau menulis karya sastra. Bedanya adalah di sini-disini, diberitahu dia,” tambahnya.

Agar berdakwah dan bersastra menemukan paralelnya, ada kriteria yang harus dipenuhi. Dakwah itu disampaikan dengan bahasa yang indah supaya orang yang membaca tidak bosan. Yang tak kalah penting menurut Taufik, karya itu tetap menggetarkan perasaan dan menyebabkan orang yang membaca ingat kepada sang Maha Kuasa.

“Puisi-puisi saya penuh dengan pesan-pesan keagaamaan, tapi puitis. Saya kira orang akan mendengarnya enak. Orang akan merasa indah. Saya bisa saja melangkah ke samping, menjadi seorang da’i. Tapi saya tidak melakukan itu.”

Sejak awal berdirinya FLP, Helvy Tiana Rosa selaku pendiri dan ketua FLP waktu itu mengakui sering meminta masukan kepada penyair yang dikenal lewat puisinya Tirani dan Benteng yang merupakan rekaman pergerakan mahasiswa ‘66 itu. Sampai kini Taufik diangkat menjadi penasehat FLP.

Ahmadun Yosi Herfanda menilai karya-karya yang dihasilkan oleh sejumlah penulis Forum Lingkar Pena secara kualitas bagus. Asma Nadia dan Helvy Tiana Rosa, contohnya. “Mereka sering dapat penghargaan sastra. Sayangnya, nyaris tak ada kritikus yang secara serius mengamati dan membicarakan karya-karya mereka. Kritikus kita malah lebih suka membicarakan karya-karya yang cenderung esek-esek, seperti karya Ayu Utami dkk. Memang ada semacam ketidakadilan dalam tradisi kritik sastra kita.”

Terkait pemberian label “islami” pada karya-karya penulis FLP dan jaringannya, Ahmadun menilai itu dilakukan untuk kepentingan politik identitas dan segmen pembaca atau konsumen. “Dengan label Islami, ada identitas yang ditegaskan di sana, dan dan segmennya juga jelas, yakni para peminat bacaan yang Islami. Dengan label itu pula, konsumen merasa aman untuk membacanya, ibu-ibu juga aman kalau membelinya untuk anak-anaknya (remaja) karena tidak bakal salah pilih bacaan yang ngaco atau destruktif. Dari sisi ini, labelisasi itu jelas penting.”

Ahmadun Yosi Herfanda adalah redaktur budaya di Harian Republika. Namanya oleh para kritikus sastra kerap disandingkan dengan nama-nama besar macam Emha Ainun Najib, Abdul Hadi WM sebagai pengusung puisi-puisi sufistik yang pernah semarak pada tahun 70 dan 80-an. Pada kepengurusan Helvy Tiana Rosa, dia diangkat menjadi penasehat FLP. Kini ia masuk dalam jajaran Majlis Penulis FLP pusat.

Apresiasi serupa juga datang dari akademisi dan kritikus sastra Universitas Indonesia, Maman S Mahayana. Baginya langkah yang telah dilakukan oleh Forum Lingkar Pena dalam menumbuhkan kegairahan berkarya patut mendapatkan apresiasi. Terlepas dari kualitas karya yang dihasilkan, langkah untuk menghasilkan para penulis yang dilakukan FLP merupakan embrio yang dalam lima atau sepuluh tahun ke depan akan menjadi sastrawan penting di negeri ini.

“Saya gagal menyembunyikan kekaguman saya melihat gerakan yang dilakukan FLP, sebab dari sana, tiba-tiba saja berloncatan para penulis novel. Bukankah gerakan semacam ini, dalam sejarah sastra Indonesia, baru dilakukan oleh FLP?”

Taufik Ismail melihat kemunculan fiksi islami yang diusung oleh FLP sebagai sesuatu yang alamiah. Sama seperti fenomena lain yang terjadi pasca reformasi dimana setiap warga bisa melakukan apa saja, pengarang memperoleh kebebasan. Yang ia sayangkan justru kenapa kebebasan yang telah diperoleh itu disiasakan oleh pengarang untuk “mencabul-cabulkan diri” dalam karya mereka.

Taufik juga tidak keberatan jika FLP masih berkutat pada lingkaran sastra islami. Tapi apakah itu tidak akan menjadikan mereka terkesan ekslusif dan mengkotak-kotakkan karya sastra?

“Ekslusif juga nggak apa-apa. Itu adalah demi kebaikan dan untuk berlomba-lomba. Karena di luar islami itu, yang mencabul-cabulkan itu juga bersatu. Jadi kita berlomba-lomba. Kalau misalnya dari kalanagn agama lain mau buat gerakan sastra, nggak apa-apa. Kenapa kita harus merasa tidak tentram dengan itu.”

“Tapi apa salahnya captive market, kalau yang captive market itu juga tidak keberatan. Dan mereka mau membeli, mereka tidak dipaksa, mereka mau membeli. Dan itu laku,” tambah Taufik.

Taufik justu menyoroti minimnya kritikus sastra. Lini ini, katanya, masih bolong. Padahal kondisi sekarang dan dulu sudah jauh berbeda. Dulu pengarang belum begitu banyak jumlahnya, sehingga setiap sastrawan akan mendapatkan kritik yang memadai. Oleh karena itu, para penulis muda sekarang kurang mendapatkan kesempatan apresiasi dari para kritikus sastra. “Sesudah pak HB Jassin meninggal, siapa yang mengisi lowongan ini?”

Sejauh ini perkembangan fiksi islami menurut Taufik masih sebatas gejala. Yang ia harapkan adalah, munculnya para sastrawan yang menghasilkan karya bagus.

“Biarlah semuanya itu bergerak dulu. Seperti yang saya katakan kan, ada alur. Berproses. Pada waktunya yang mbeling-mbeling yang mencabul-cabulkan diri, sudah biarkan saja, nanti insya allah berkembang. Bumi kita ini bumi islam. Nanti akan mendapatkan jalannya sendiri. Saya mengharapkan jalan itu jalan yang baik. Saya nggak mau mengatakan ‘e ojo ngono, koe salah’, saya nggak mau mengatakan seperti itu. Dan saya tidak mau memberikan energi saya ke sana.”

[Digunting dari Majalah Mahasiswa Universitas Diponegoro, Hayamwuruk edisi No.1/Th. XVIII/2008, "Fenomena Sastra Islami: Antara Pro dan Kontra".

No comments: