Saturday, March 22, 2008

Penulis dengan Sayap Tragedi

Oleh Munawir Azis

Menjadi penulis merupakan pilihan hidup yang membutuhkan kerja keras dan "tangis darah" yang senantiasa meletup. Walaupun kelihatannya sebagai kerja kreatif yang tak membutuhkan keringat mengucur, seperti halnya kerja fisik, akan tetapi dalam proses menulis, tak hanya energi tubuh yang menguar, pikiran pun senantiasa "membara" dan membutuhkan konsentrasi berlipat. Maka,walaupun Arswendo Atmowiloto mengatakan bahwa "mengarang itu gampang", tak serta merta pilihan hidup menjadi penulis semudah membalikkan telapak tangan. Kun fayakun!

Kerja kreatif dalam menulis membutuhkan energi yang berlipat dan pasokan "bahan bakar" yang tak boleh kering. Komitmen, visi, dan integritas diri menjadi taruhan penting bagi masa depan penulis. Apakah kita hanya menjadi penulis yang berkibar sejenak, menghasilkan karya, setelah itu tenggelam dalam catatan sejarah usang? Atau, menjadi penulis terkenal, tapi disertai dengan kerja keras, air mata yang meleleh dan darah yang mengucur setiap saat sebagai lambang kesungguhan? Pada titik inilah, pilihan hidup menjadi penulis tangguh dipertaruhkan.

Menjadi pengarang (cerpenis, penyair, novelis, dan kolumnis) yang menyejarah, tidak sekadar hadir dan menyemburkan ide-ide kreatif di berbagai media. Akan tetapi, kehidupan pribadi menjadi "sisi lain" yang menunjang kecemerlangan karya yang dihasilkan. Karya kreatif yang lahir dari rahim pemikiran serta imajinasi penulis, telah melampaui serangkaian pengalaman atas kejadian, perenungan, dan implementasi menjadi sebuah narasi. Maka, pernyataan sastrawan Budi Darma sangat relevan, bahwa pada akhirnya menulis tidak sesederhana yang terlihat pada kacamata khalayak. Proses menulis dan menjadi penulis tangguh harus melalui liku jalan dan lorong yang rumit.

Menjadi penulis tangguh dan menyejarah, membutuhkan kerja keras, keberanian, dan komitmen diri yang tak pernah surut. Selain itu, kisah tragis yang mewarnai kehidupan pribadi menjadi elemen penting yang mengukuhkan karya dan menyuguhkan simpati pembaca. Dan, Misha Defonseca telah membuktikannya. Novelis ini hidup dalam suasana tragis yang menggurat dalam hidupnya sejak kecil. Dalam novelnya, Surviving with Loves (Bertahan Hidup dengan Serigala), dikisahkan pengalaman pedih yang dijalani untuk bertahan hidup ketika kecil. Misha hidup dengan ditemani serigala, setelah orang tuanya ditangkap nazi Jerman (Gestapo Nazi) pada 1941 di Brussels, Belgia. Misha -bersama serigala, teman hidupnya- menjelajahi Belgia, Jerman, Polandia, dan negeri lain sejauh lebih dari 3.000 km untuk mencari orang tuanya.

Akan tetapi, setelah novel ini diangkat ke layar lebar, dengan judul Survivre Avec les Loups yang di-launching di Belgia, Misha mengungkap kisah hidup sebenarnya. Dia mengaku secara jujur bahwa cerita yang ada dalam novelnya merupakan kebohongan. Dan, secara terbuka, Misha memohon kepada publik yang telah membaca karyanya agar memaafkan kesalahannya. Pada titik inilah, tragedi sebenarnya terungkap. Misha dengan jujur mengatakan, kebohongan itulah trik pribadinya agar dapat bertahan hidup, ketika tinggal sebatangkara dan tidak ada pertolongan pada dirinya (JP, 2/3/2008).

Kisah hidup Misha yang tragis -walaupun disertai dengan aroma kebohongan- mengundang empati yang luar biasa dari pembaca. Inilah sebentuk lorong panjang untuk menjadi penulis terkenal yang dipuja publik luas. Tragedi yang menggurat dalam kehidupan pribadi penulis, menjadi lompatan sejarah untuk mengangkat nama dan karya penulis pada tingkat publisitas yang lebih tinggi.

Sederetan penulis dunia yang melahirkan karya monumental, juga disertai sejarah pribadi yang tragis dan kelam. Novelis dunia yang pernah meraih nobel pada 1982, Gabriel Garcia Marquez dengan One Hundred Years of Solitude yang konon ditulis selama tiga tahun dengan ancaman finansial bagi keluarga penulisnya. Pengalaman hidup Garcia Marquez yang menggetarkan juga mengantarkan karyanya pada puncak penghargaan. Penulis masyhur lainnya, semisal Franz Kafka, Jorge Luis Borges, Leo Tolstoy, merupakan penulis dengan segumpal tragedi yang mewarnai hidupnya. Dengan demikian, kisah hidup dramatis dan penuh tantangan yang dijalani secara faktual oleh penulis, menjadi "amunisi" untuk meletupkan karya kreatif yang memukau.

Selain itu, penulis terkemuka Edward W. Said yang melahirkan karya terkenal, Orientalism, Culture and Imperialism, The Edward Said Reader dan Covering Islam, serta beberapa karya lainnya juga didesak oleh keinginan untuk menemukan jati dirinya. Dalam Out of Place (2000), diceritakan bahwa gairah menulis Edward W. Said yang senantiasa membara sebagai lorong untuk menemukan identitas dirinya, yang sejak kecil selalu terhimpit ejekan, perasaan terbuang, terasing, dan perasaan tak nyaman dari lingkungan. Pencarian panjang penuh liku membuat ide Edward W. Said dalam beberapa karyanya fantastis dan fenomenal. Bahkan, karya Said menjadi rujukan studi poskolonial (post-colonial).

Di negeri ini, sastrawan agung Pramoedya Ananta Toer juga hidup dengan nafas dan kisah tragis yang menyesaki rongga hidupnya. Pada masa mudanya, Pramoedya berkali-kali mendapat ancaman dari penguasa negeri ini. Karya-karya Pram dibakar dan dimusnahkan karena disinyalir merepresentasikan ideologi komunis dari PKI. Padahal, karya yang dimusnahkan itu merupakan karya agung yang memiliki nilai sejarah gemilang dan menggambarkan peristiwa penting yang bernilai edukatif. Bahkan, Pram pernah menjalani hukuman dan pembuangan di Pulau Buru. Di tempat inilah, lahir karya monumental dari tangannya, seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, dan beberapa karya lain. Kisah Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer itu didongengkan terlebih dahulu, setelah itu baru ditulis di mesin ketik. Hegemoni penguasa yang memperangkap penulis ke dalam ruang hukuman justru menimbulkan ledakan semangat baru untuk memberontak dan menulis gumpalan kekecewaaan. Letupan semangat inilah yang mendorong lahirnya karyakarya yang menyejarah dan abadi.

Pada konteks inilah, kerja keras dan perjuangan penulis diuji secara nyata. Apakah seorang penulis dapat mencerap manisnya kegetiran hidup sebagai pemantik imajinasi melahirkan karya agung. Atau justru terjerembab pada lubang putus asa yang tak berujung. (*)

* Munawir Aziz, pemerhati sastra dan peneliti pada Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes) Jakarta

Digunting dari Harian Jawa Pos Edisi 23 Maret 2008

No comments: