Oleh Saiful Amin Ghofur
Wajah industri perbukuan kita kembali koyak-moyak. Pasalnya, ditemukan kesalahan fatal pada dua buku debutan penerbit indi di Jogjakarta berinisial IM. Buku itu adalah Juz Amma dan Terjemahannya dan Amalan-amalan yang Dicintai Allah yang terbit pada minggu terakhir Oktober lalu.
Di buku pertama, kekeliruan serius terjadi pada penempatan ayat ke-39 Surat an-Naziat yang diisi oleh ayat ke-43 surat yang sama. Jadi, pada surat tersebut ayat ke-43 tertulis dua kali.
Kesalahan buku kedua lebih tragis lagi. Doa yang dilafalkan sewaktu masuk dan keluar masjid dua-duanya ngawur. Doa masuk masjid tertulis doa yang dibaca ketika di tengah-tengah aktivitas makan seseorang lupa belum berdoa. Adapun doa keluar masjid tertulis doa yang dirapal saat keluar WC. Alamak!
Kekeliruan ini mengingatkan kita pada kejadian serupa sekitar dua tahun silam. Tempo itu, penerbit indi Jogjakarta berinisial SDSV me-launching terjemahan karya Paul Coelho, Veronika Decides to Die. Selain terjemahannya yang semrawut, terdapat banyak ketaklaziman dalam memaknai kata-kata kunci. Misalnya, kata holy-soul yang semestinya bermakna "roh kudus" diterjemahkan dengan "hantu suci". Hal ini pula yang membuat Muhammad Al-Fayyadl geram kemudian menulis "Hak Pembaca dan Martabat Penerbit" (JP, 3/07/2005).
Serentengan kekeliruan tersebut bisa jadi tidaklah disengaja oleh penerbit bersangkutan. Tapi apa lacur, ibarat nasi sudah menjadi bubur buku itu kadung menyebar ke ranah publik. Jika sudah begini, siapa yang sanggup menghadang lahirnya pemaknaan yang beragam terhadap eksistensi penerbitnya?
Mungkin saja publik menyoal martabat penerbit. Dikhawatirkan publik segera membersit akan adanya upaya penodaan dan pelecehan terhadap agama tertentu sebagai dampak kekeliruan itu. Buku yang semestinya mengusung misi pencerahan tanpa disadari justru menebar benih-benih kebencian dan sentimen keagamaan. Hal ini tidak mustahil terjadi, bukan?
Sebagai tindakan kuratif, buku-buku yang bermasalah tersebut seharusnya segera ditarik dari pusaran arus pasar. Kekeliruan fatal itu mesti diralat. Dalam konteks ini eksistensi penerbit sedang dipertaruhkan. Karena itu, memulihkan citra dan martabat penerbit adalah sebuah keniscayaan ketimbang meratapi kerugian manakala melakukan koreksi. Kerugian material penerbit tidaklah sedikit memang, sebab dari seorang teman terkuak bahwa buku-buku tersebut telah dicetak dengan tiras tak kurang dari 6.000 eksemplar. Wow!
Peristiwa ini sudah sepatutnya menjadi bahan pelajaran bagi semua penerbit. Bila tidak diantisipasi kemungkinan terjadi lagi kesalahan serupa tetap terbuka. Sebab, bukankah peristiwa ini telah berbilang kedua kali? Walhasil, mau tak mau setiap penerbit perlu mengevaluasi diri.
Dalam kasus ini tidaklah etis bila mencari "kambing hitam" dengan memampatkan kesalahan kepada awak penerbitan. Misalnya editor. Memang, selama ini, dalam proses produksi, editor memegang peran kunci. Baik-buruk kualitas naskah bergantung pada sentuhan tangan ajaibnya. Tugas berat editor berikut risikonya terkadang tidak sebanding dengan remah-remah rupiah yang diterima. Maka, beban editor mesti dipecah-pecah. Ibarat pepatah berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Jika diurai dengan jeli, kesalahan itu bisa terjadi karena renggangnya mekanisme kerja dan kualitas kontrol sebelum sebuah naskah masuk ke mesin cetak. Dalam hal ini ada tiga awak penerbitan yang harus "diberdayakan", yaitu penulis, editor, dan pengendali mutu. Ketiganya perlu bersinergi.
Penulis merupakan figur yang terancam eksistensinya ketika buku yang ditulis mengandung kekeliruan. Nama yang terpampang di cover sudah tentu menjadi sasaran empuk atas kekeliruan dalam buku. Padahal belum tentu penulis bermaksud demikian. Kekeliruan mungkin terjadi manakala penulis tidak diberi kesempatan untuk melakukan cek terakhir sebelum naskahnya naik cetak. Inilah yang selama ini lazim terjadi. Karena itu, penulis wajib menuntut haknya, yakni membaca secara detail naskahnya setelah tahap akhir pengeditan.
Sementara editor selain memoles naskah juga dituntut untuk kroscek data-data musykil yang ditemuinya. Editor tak boleh jemu untuk mengonfirmasikan kepada penulis. Di satu sisi, cara ini cukup efektif untuk meredam interpretasi bebas editor atas data-data musykil yang ada. Penulis pun di sisi lain merasa terus terlibat dalam proses editing naskahnya.
Sampai pada tahap terakhir, peranan pengendali mutu sangat menentukan. Tugasnya tak lain adalah menelaah kualitas naskah secara keseluruhan (baca: quality control). Mulai dari aspek kebahasaan-bahkan sampai titik-koma-hingga substansi naskah. Keberadaan pengendali mutu dapat mendeteksi dini potensi kekeliruan naskah, entah dari kerancuan logika berpikir atau probabilitas data yang diprediksi akan "menyulut" kemarahan publik karena menyentuh hal-hal sensitif.
Apabila kita menelaah buku-buku yang beredar, faktor pengendali mutu jarang diperhatikan. Setidaknya, posisi pengendali mutu tidak terlihat di lembar prelimnya. Paling-paling yang tertera adalah nama penulis, editor, penata letak, dan pendesain cover. Mungkin atas dasar inilah masih tersedia celah bagi munculnya kekeliruan dalam buku.
Maka, jelas sudah betapa pentingnya sinergi antara penulis, editor, dan pengendali mutu. Dengan mengoptimalkan kinerja ketiga elemen ini, kita berharap kekeliruan fatal tak lagi ditemui. Sebagai pembaca kita berhak untuk mendapatkan pencerahan intelektual dari sebuah buku, bukan malah penyesatan.
*) Saiful Amin Ghofur, Pengelola Perpusdes Wahas, Balongpanggang, Gresik
**) Digunting dari Harian Jawa Pos Edisi Minggu 04 November 2007
Saturday, November 3, 2007
Penulis, Editor, dan Pengendali Mutu
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
No comments:
Post a Comment