Sunday, August 12, 2007

Se-Yogya-nya Perpusda Malioboro Dipindah

Oleh Muhidin M Dahlan

Kepala Perpustakaan Daerah Malioboro Saroha Sinaga di Harian Kompas 7/8/2007) mengatakan Perpustakaan Malioboro sedang mengalami proses rehab setelah tembok-temboknya dirayapi gempa pada 27 Mei setahun silam. Tentu ini berita baik. Sebab sudah sangat lama—bahkan sebelum dikukut gempa—perpustakaan ini berdandan jorok, apak, dan ribut. Membayangkan kekhusyukan membaca buku di perpustakaan ini hanyalah angan-angan kosong.

Sangat sulit memberi representasi Yogyakarta sebagai kota-buku jika mendapatkan perpustakaan dengan kondisi yang begini mengerikan di jantung (niaga) kota. Dari depan, perpustakaan ini sudah memperlihatkan rautnya yang rudin, keropos, dengan plang yang mengalami miopia akut. Sosoknya kalah bersaing dengan baliho-baliho nama toko yang berdiri rapat di kiri-kanan-depannya yang berwarna pastel mengkilat, segar memanjakan mata, dan seksi.

Bagi para akademisi atau mahasiswa yang pertama kali datang ke Yogyakarta akan begitu sulit mengenali perpustakaan ini. Jika tak bertanya pada tukang becak di sepanjang Malioboro, dibutuhkan tiga empat kali melintas dengan mata superawas untuk menandai muka perpustakaan ini. Sebab selain plangnya yang mulai gelap, di depan pintunya dibentengi barisan para penjaja kain dan onderdil kerajinan dengan manusia-manusia pembelanja yang bersiliweran tiada putus.

Hanya untuk masuk saja pengunjung sudah dihadang oleh benteng-benteng pasar. Di dalamnya pun, kondisi tenang selayaknya perpustakaan menjadi barang teramat langka. Kalau yang kita dengarkan adalah riuh perdebatan tentang buku dan pengetahuan dalam perpustakaan mungkin wajar. Tapi di sini tidak. Suara yang mendominasi adalah kaingan suara tawar-menawar barang dagangan di sela pintu. Sambil baca di ruang tengah, kita juga akan selalu dipaksa mendengar bagaimana para penjual kain dengan bahasa Inggris hapalan merayu bule-bule yang melintas.

Dan tak usahlah ditanya bagaimana bau perpustakaan ini. Tak menjadi soal jika seseorang yang berkunjung adalah para kutu buku yang selalu bugar mencium bau kertas busuk. Tapi bagaimana dengan remaja-remaja SMA atau mahasiswa-mahasiswa modis berjenis homo cafeinensis yang malas ke perpustakaan dan jika pun ke perpustakaan hanya karena dipaksa membuat makalah atau studi tentang sastra, bahasa, dan media. Bahkan pernah ada yang baru pertama kali masuk setelah keluar kepala pening dan mata berkunang-kunang.

Maka saya sepakat dengan renovasi perpustakaan ini. Tapi itu saja belum cukup. Sebab yang se-yogya-nya adalah perpustakaan ini sudah harus angkat kaki dari arena pasar yang sumpek ini. Saatnya ia dibedol. Mesti tahu diri bahwa perpustakaan ini sudah tak layak tinggal di antara distro-distro gemerlap yang tampil anakronik dengan seragam masih ala Jaka Sembung, Si Buta dari Goa Selarong, atau pendekar-pendekar dari Bukit Menoreh.

Fasilitasnya pun tak memadai. Lahan parkir tak punya. Sirkulasi udara buruk karena diapit rapat oleh toko-toko. Dan yang paling penting, perpustakaan ini terlampau ribut oleh teriakan-teriakan para pedagang di serambi. Jadi, semua syarat sebagai perpustakaan yang lebih terhormat dan hening tak didapatkan di bangunan bernomor 175 ini.

Ketimbang terus bersatu dengan yang bukan habitatnya, pemerintah kota bisa berpikir untuk mendekatkannya dengan pusat-pusat kebudayaan, kebersenimanan, dan perbukuan di Yogyakarta—dan bukan melemparnya terlalu jauh seperti di gedung Cebongan, Mlati, Sleman.

Ada beberapa alternatif ruang baru untuk perpustakaan ini. Tempat yang paling utama tentu saja perpustakaan ini dipindah ke kawasan Taman Pintar dan Taman Budaya Yogyakarta. Sudah lama sebetulnya saya membayangkan bagaimana toko buku, perpustakaan sastra, bahasa, media, dan pusat aktivitas seniman dan sastrawan berada dalam satu kawasan yang memang sudah tertata dengan rapi, bersih, dan insya Allah bermartabat. Tiga elemen itu adalah perpaduan yang elegan untuk membangkitkan citra baru kawasan Bringharjo itu sebagai “kawasan-buku-budaya”.

Karena berdekatan dengan Gedung Oval tempat anak-anak bermain, perpustakaan pun bisa menyesuaikan diri dengan menambah lini ruangan sebagai perpustakaan anak dengan tampilan yang “sangat-anak”; sesuatu yang tidak didapatkan jika perpustakaan ini masih dipertahankan di gedung nomor 175. Memang di tempat ini ada perpustakaan anak, tapi kondisinya mirip kamar mahasiswa kos yang sedang putus asa.

Karena bertetangga dengan gerai-gerai buku, maka perpustakaan bisa mengambil inisiatif untuk menyiapkan ruang bagi perhelatan acara-acara peluncuran buku baru atau seminar soal isu pendidikan dan perbukuan. Selama ini bedah buku kerap dipusatkan di kampus-kampus atau beberapa kali diselenggarakan oleh toko besar. Dengan adanya perpustakaan ini, semangat itu bisa dikelola di mana pengunjungnya adalah juga para pembeli buku. Dengan demikian, kesan “shoping” yang sudah sangat melegenda itu, bukan sekadar tempat jual-beli buku dengan rabat tinggi, tapi juga kawasan menimba dan mengoplos pengetahuan yang berdiam di halaman-halaman buku.

Apa terlalu sulit memindahkannya? Tak terlalu sulit jika pemerintah kota mau. Apalagi pemerintah memang sedang mematangkan sebuah semangat untuk menjadikan Yogyakarta sebagai salah satu kota wisata buku yang megah. Biarlah tanah dan gedung 175 itu dilego ke para saudagar yang memang gedung itu paling pas untuk perniagaan. Dengan dana dari hasil penjualan itu dan ditambah dengan kucuran dana segar dari pemerintah, dibuatlah bangunan baru di sisi kiri gedung Taman Budaya Yogyakarta yang masih luas dan lapang.

Memang butuh waktu. Tapi jika menghabiskan dana percuma untuk renovasi tapi kondisi perpustakaan bermartabat minimum tak didapatkan, bukankah lebih baik memikirkan usaha pemindahan. Kalau pun misalnya sudah kadung direnovasi, cukup diniatkan sebagai perbaikan struktur agar nilai jualnya kepada para saudagar juga naik berlipat-lipat.

Usaha pemindahan ini bukan saja ingin meraih semangat maksimum sebuah perpustakaan yang hening, asri, dengan ratusan ribu koleksi, tapi juga menyelamatkan wajah perpustakaan dari citra yang angker, seram, dan sekaligus menyedihkan.



2 comments:

Subhan said...

Usul yang sangat bagus.

Bukan sekadar menggerutu, sebagamana komentar umum selama ini terhadap keberadaan Perpusda di Malioboro, namun juga memberi tawaran yang sungguh masuk akal.

Seandai pembuat kebijakan di Badan Perpustakaan Daerah DIY juga membaca esai ini....

[I:BOEKOE] said...

Semoga saja pemerintah kota bisa mempertimbangkan kampanye pemindahan perpustakaan itu. terimakasih atas kunjungannya, mas.