Saturday, September 1, 2007

Buku dalam Tarikan Keppres

Oleh Hendro Martono*

Di tengah makin mahalnya harga buku dan agresivitas sekolah dalam memungut biaya pengadaan buku pelajaran untuk para siswa, pengalokasian anggaran pemerintah (pusat maupun daerah) pada pos pengadaan buku pelajaran sebetulnya patut dihargai.

Melalui pengucuran dana bantuan operasional sekolah khusus buku (BOS-Buku) senilai Rp 800 miliar, tahun lalu, kebanyakan sekolah dapat memenuhi kebutuhan buku pelajaran, khususnya untuk mata pelajaran yang diujikan secara nasional.

Guna menunjang (atau menumpang tindih?) pemenuhan buku pelajaran pada mata pelajaran yang sama, pemerintah daerah umumnya juga mengalokasikan anggaran pengadaan serupa. Argumen yang dikemukakan tampaknya cukup sahih, antara lain guna mendorong peningkatan mutu pendidikan dan memenuhi rasio kebutuhan buku bagi siswa. Kendati demikian, beberapa aspek masih perlu kajian yang lebih bijak, menyangkut mekanisme maupun perspektif tentang buku itu sendiri.

Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, beserta peraturan perubahan yang mengikutinya, bila nilai pengadaan di atas Rp 50 juta, dan dibiayai seluruhnya atau sebagian dari APBN/ APBD, maka pengadaan barang/ jasa harus melalui lelang. Meskipun Pasal 6 dengan jelas menyebutkan dua cara pengadaan, yaitu dengan menggunakan penyedia barang/jasa (lelang); dan atau dengan cara swakelola, agaknya pemerintah daerah memandang sebelah mata model pengadaan secara swakelola.

Begitu pula—meskipun keputusan presiden tersebut tidak mengacu pada undang-undang pendidikan dan peraturan di bawahnya—alih-alih merujuk Peraturan Presiden (PP) Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagai konsiderans—pelaksana anggaran pengadaan buku pelajaran tetap memilih cara pertama. Yang menarik dipersoalkan adalah mengapa pemerintah daerah, khususnya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), tetap ingin melaksanakan pengadaan buku pelajaran melalui lelang, sementara pemerintah (pusat) justru "lebih suka" menggunakan model swakelola?

Dalam pelelangan itu panitia memang dapat menentukan harga perkiraan sendiri (HPS) dengan nilai maksimal 70 persen. Panitia pun dapat berharap ada sisa lebih pagu anggaran yang dapat dijadikan tabungan pada kas daerah. Namun, yang tidak dinyatakan, masih banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan lelang.

Misalnya, honorarium pengguna barang/jasa, panitia/pejabat pengadaan, bendaharawan, dan staf proyek; pengumuman pengadaan barang/jasa; penggandaan dokumen pengadaan barang/jasa dan/atau dokumen prakualifikasi; serta administrasi lainnya yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pengadaan barang/jasa.

Sebagai ilustrasi, hasil kajian yang dilakukan Direktorat Pembinaan SMK (2007) terhadap pelaksanaan pembangunan unit sekolah baru (USB), unit gedung baru (UGB), ruang kelas baru (RKB), maupun rehabilitasi gedung—semuanya termasuk dalam bidang pengadaan jasa konstruksi—menunjukkan perbedaan sangat signifikan antara pola kontraktual dan swakelola. Pola swakelola dapat menghemat pembiayaan mencapai 33 persen. Secara matematis, harapan adanya sisa lebih pagu anggaran justru mengalami
defisit akibat biaya lelang maupun inefisiensi pelaksanaan lelang. Ini berarti model pengadaan secara swakelola lebih efisien.

Model "block grant"

Alih-alih menunjuk kasus pemimpin dan pejabat di daerah yang banyak tersandung masalah lelang buku, kebijakan Departemen Pendidikan Nasional dalam mengelola anggaran pengadaan buku pelajaran jauh lebih menarik. Selain BOS-Buku yang dikucurkan dalam bentuk block grant, dana alokasi khusus bidang pendidikan nyatanya juga dikelola dengan model serupa, yakni hibah dalam bentuk block grant dan atau subsidi.

Merujuk Peraturan Mendiknas No 5 Tahun 2006 maupun Peraturan Mendiknas No 4 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan, pengelolaan anggaran pengadaan buku pelajaran juga mengacu pada Keppres No 80/2003 itu. Namun, pasal-pasal yang dirujuk adalah Pasal 6 Huruf b; Pasal 39 Ayat (1); bagian penjelasan Pasal 1 angka 1; sampai dengan lampiran I Bab III huruf A angka 2.c.

Ini ditambah dengan PP No 7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004-2009, khususnya Bab IV huruf C dan D. Di atas semua itu, tentu saja UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menjadi payung hukum tertinggi dalam pengelola anggaran dengan model swakelola. Contoh menarik, Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta dalam tahun anggaran 2004 juga pernah mem-block grant-kan biaya pengadaan buku pelajaran wajib dan biaya pengadaan buku perpustakaan.

Apabila pengadaan buku pelajaran menggunakan pola yang sama (swakelola), sebagaimana tersirat dalam Peraturan Mendiknas No 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran maupun tersurat dalam peraturan pelaksanaan BOS-Buku, kemungkinan besar juga akan didapat efisiensi biaya.

Guru sumber belajar

Lebih dari sekadar perbedaan tafsir atas pelaksanaan Keppres No 80/2003 itu, masalah pengadaan buku pelajaran sebetulnya juga dapat ditempatkan dalam spektrum yang lebih luas. Sekurang-kurangnya menurut Pasal 2 Peraturan Mendiknas No 11 Tahun 2005, di luar buku teks pelajaran untuk siswa masih banyak dibutuhkan buku panduan pendidikan, buku penunjang, dan buku referensi untuk guru.

Logikanya, jika di sekolah hanya ada buku teks pelajaran yang digunakan sebagai acuan wajib bagi guru dan siswa, hampir tidak dapat dibedakan siapa yang belajar dan siapa yang mengajar. Mengharap peningkatan kualitas belajar dari kondisi seperti ini rasanya sulit. Kondisi ini akan berbeda bila di dalam kelas terdapat juga buku panduan, buku penunjang, dan buku referensi.

Dengan demikian, yang perlu ditekankan di sini adalah pentingnya membangun kapasitas guru sebagai sumber belajar. Kebijakan dalam bidang pengadaan buku selama ini masih meminggirkan peranan guru. Guru tidak pernah "kecipratan" proyek pengadaan buku pelajaran; hanya diposisikan sebagai konsumen, sama seperti siswa, tanpa ada upaya pemberdayaan guru.

Menstigmatisasi guru sebagai entitas yang tidak pernah mampu menulis buku, hanya untuk melegitimasi kebijakan pengadaan buku melalui lelang, merupakan tindakan yang kurang bijak. Pengalaman guru selama bertahun-tahun menulis Lembar Kerja Siswa (LKS) dan menulis diktat harus disikapi sebagai sebuah modal kapasitas dalam menulis buku pelajaran.

Padahal, Keppres No 80/2003 juga sudah mengakomodasi gagasan ini. Pada Bab III Pasal 39, khususnya Ayat (3), antara lain disebutkan pekerjaan yang dapat dilakukan dengan swakelola adalah pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan teknis sumber daya manusia instansi pemerintah yang bersangkutan dan sesuai dengan fungsi dan tugas pokok pengguna barang/jasa; dan/atau penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya, atau penyuluhan.

Apabila pemerintah daerah cukup akomodatif terhadap gagasan ini, di daerah akan terbangun kapasitas dalam menulis naskah buku pelajaran. Di sisi lain, perlunya membangun kapasitas guru yang telah bertahun-tahun tidak mendapat perhatian niscaya akan dapat menjadi katalisator bagi upaya peningkatan mutu pendidikan.

Ini sejalan dengan rencana pemerintah yang akan membeli hak cipta para penulis buku pelajaran dengan nilai antara Rp 40 juta dan Rp 75 juta. Kebijakan ini akan membuat lelang pengadaan buku pelajaran menjadi kurang relevan. Selain itu, juga akan melahirkan kapasitas guru yang kompetitif dalam menulis naskah buku pelajaran.

* Hendro Martono Guru SMK Negeri di Temanggung (Digunting dari Harian Kompas Edisi 27 Agustus 2007)


1 comment:

PraizeTube.com said...

Kabar gembira!! Buat yang suka nulis-nulis, buat penulis muda, buat para blogger, buat temen2 yg hobi nulis tapi belum bisa buat buku, belum percaya diri, sekarang sudah ada medianya, Situs Komunitas Penulis Indonesia,

Penulis-Indonesia.com, kayak Friendster tapi khusus buat yang hobi nulis, penulis, pujangga, penulis naskah, blogger...

fasilitasnya juga cukup oke, lengkap dgn alamat pribadi untuk profil, blog, dan album...ada chatnya juga loh :)
Baru dibuka 1 Januari 2008 lalu, skrg membernya sudah 300an :) rame buanget loohh aktifitasnya!!

Semoga bermanfaat :)

Cepetan gabung ya :)
di sini alamatnya :

Penulis-Indonesia.com atau tanpa tanda -
PenulisIndonesia.com