Tuesday, July 24, 2007

Pembaca Cepat Itu Seperti Maling Diuber Massa

Oleh Muhidin M Dahlan

Membaca adalah sebuah proses tua yang pernah dilakukan manusia. Bahkan ayat kitab suci pertama menyerukan manusia untuk membaca. Iqra. Bacalah! Karena itu kemudian oleh sebagian orang membaca menjadi aktivitas yang suci. Buku bacaan menjadi benda keramat dan tak boleh dipergunakan main-main dan dirawat sebaik-baiknya. Bahkan meletakkannya di rak pun tidak sembarangan, tapi penuh aturan. Simaklah apa yang diketakan Musa al-Almawi (mangkat 1573): “Buku-buku harus diatur menurut subjeknya, dan buku yang paling penting harus ditempatkan paling atas. Ururtan ebrikut ini harus dipatuhi: pertama adalah Al-Quran; lalu kitab hadis sahih seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim; selanjutnya tafsir Al-Quran; berikutnya komentar atas kitab hadis; disambung dengan kitab fikih, lalu kitab ushul al-din dan ushul al-fiqh, terus buku-buku tata bahasa, puisi, dan ilmu-ilmu dunia lainnya.”

Ibnu Jama'ah lebih rinci lagi. Katanya: “Jika ada dua buku tentang subjek yang sama, maka buku yang lebih banyak mengandung kajian Quran atau hadis hendaklah ditempatkan di atas. Jika dalam hal ini keduanya sama, maka tingkat pentingnya pengarang buku tersebut mesti dipertimbangkan. Jika dalam hal itu kedua pengarang sama, maka pengarang yang lebih tua umurnya dan lebih dicari para ulama ditempatkan di atas. Kalaupun dalam hal ini keduanya sama, maka buku yang lebih benar penulisannya harus ditempatkan di atas.' (lihat Etika Kesarjanaan Muslim, Mizan: 1996)

Tentu saja Anda punya takaran masing-masing tentang buku yang penting dan pengarang yang difavoritkan yang kemudian Anda susun berdasarkan selera dan favoritisme itu.

Namun yang pasti membaca telah menjadi aktivitas tua. Aktivitas ini telah melahirkan dan membentuk kepribadian banyak orang. Saya percaya itu. Sebagian besar kita dibentuk oleh bacaan kita. Pikiran kita diarahkan oleh apa yang kita baca (dan tambah satu lagi: yang kita lihat atau tonton). Bagi mereka yang tinggal di kawasan kota atau minimal tidak jauh-jauh dari kawasan ini, bacaan menjadi kebutuhan yang berjajar dekat dengan sandang, pangan, papan. Sebab orang sadar bahwa untuk tidak digilas maka harus lincah berkelit. Dan jurus kelincahan itu bisa didapatkan dari penguasaan informasi. Dan salah satu informasi penting adalah buku.

Itulah sebabnya, secara serabutan saya bisa mengatakan, bahwa dalam banyak hal hidup kita disibukkan oleh interaksi diri dengan teks bacaan. Walaupun dalam banyak kasus kita dengar banyak sekali keluhan bahwa membaca buku itu sungguh berat. Keluhan itu bisa dipahami, sebab membaca melibatkan pikiran, perasaan, dan tindakan (untuk melaksanakan isi buku).

Di lapangan, memang telah lahir banyak sekali jenis hubungan atau kepribadian yang terbentuk dari diakron antara pembaca dengan buku bacaannya. Sebut saja apa yang disebut pembaca malas, pembaca marah dan sinis, pembaca tawar, pembaca kritis, pembaca penjelajah, dan lain sebagainya. Bahkan banyak cerita-cerita muncul dari diakron antara pembaca dan bacaannya, baik cerita yang ironis, sedih, konyol, maupun yang nyentrik, dan bahkan gila.

Efek Membaca Cepat

Seiring dengan perkembangan teknologi cetakan, buku-buku bacaan pun meningkat dengan sangat spektakuler. Di Yogyakarta sendiri misalnya ada hampir 120 penerbit dan katakan saja 50 persen yang sehat dan katakan pula bahwa setiap minggu satu buku yang mereka terbitkan. Hitung sendiri sajalah berapa buku yang terpajang di rak toko-toko buku. Belum ditambah buku-buku dari kota lain, seperti Bandung, Jakarta, dan Surabaya. Menyiasati kondisi demikian itu lalu orang memutar otak sedemikian rupa bagaimana mengejar kecepatan teknologi itu dengan kecepatan pula. Kata Shibusawa Eiici (1840-1931), untuk bisa mengejar kuda, ya pake kuda. Kata kita dan sekaligus harapan kita, kalau ingin mengimbangi arus bacaan yang datang seperti bandang muntahan itu, ya pakai metode membaca cepat.

Ngomong-ngomong membaca cepat, Evalyne Wood, konsultan dan pemotivasi membaca yang hebat dari Amerika, seperti diceritakan Putut Widjanarko di sebuah rubrik selisiknya, bercerita bahwa mendapatkan ide membaca cepat justru didapatkannya dari pengalaman yang berlangsung secara kebetulan. Tidak ada guntur tak ada hujan, suatu hari dia melempar bukunya yang mungkin menjengkelkan hatinya. Dia berharap bahwa buku itu jatuh di atas kasur atau minimal di atas meja, dan paling sial di lantai kering, sebab bagaimana pun menjengkelkannya buku itu tetap dicintainya. Dan astaga, buku itu jatuh di kubangan sampah. Dan Evalyne menyadari hal itu. Uh, uh, uh. Dia sangat menyesal. Diangkatnya buku itu dan ketika kekesalannya mereda dibacanya lagi buku itu sembari membersihkan kotoran yang melekat di buku itu dengan jarinya. Dan aha, tanpa sadar, setelah selesai membaca buku itu, dia ternyata telah membaca 50 ribu kata dalam 10 menit atau lima ribu kata per menit. Dari kasus itu dia kemudian mendirikan pelatihan yang membantu banyak orang meningkatkan kecepatan membacanya.

Atau mungkin mengamalkan ajaran Evalyne Wood, Woody Allen seperti diceritakan kembali Collin Rose, seorang pakar accelerated learning, menyelesaikan novel War and Peace yang gemuknya sangat aduhai itu dalam waktu 20 menit setelah mengikuti workshop membaca cepat. Ketika ditanya oleh rekannya apa gerangan isi perut si gemuk itu, dia dengan cuek minta ampun mengatakan, “Rusia!” Jawaban yang padat, jelas, ngawur, tapi masuk di akal. Hehehehe.

Membaca cepat tentu saja bukanlah tujuan. Sebab keterpahamanlah yang menjadi tujuan dalam membaca. Membaca cepat hanyalah metode. Dan metode ini bisa mengangkat kita dalam labirin bacaan yang tak jelas juntrungan di tengah banjir bandang buku di toko buku. Membaca cepat bisa pula dikatakan mencari gizi dari sebuah bacaan.

Namun perlu digarisbawahi bahwa membaca cepat sangat tergantung buku apa sedang kita baca. Jika saja Anda dengan semangat bambu runcing mempraktikkan sistem membaca cepat pada buku-buku fisika, kimia, atau matematika dasar, atau teori kedokteran, maka pastilah hasilnya nol besar. Sebab jenis buku yang demikian hanya dibaca dan dikunyah sedikit demi sedikit. Dan buku-buku seperti ini memang paling pas untuk buku pengantar tidur. Setelah membuka lalu baca sedikit, Anda pun terkulai di atas bantal.

Lalu buku-buku apa yang dibaca cepat? Bisa novel, buku-buku bisnis, sosial, how to, agama, seni, dan seterusnya. Dengan satu syarat tentu saja: Anda tidak buta huruf. Ha ha ha ha.

Collin Rose dalam K.U.A.S.A.I Lebih Cepat (Kaifa, 1999) dan Soedarso, Speed Reading, (Gramedia, cet. 11, 2004) mengatakan bahwa membaca cepat memiliki beberapa efek. Kesatu, mencegah godaan membaca ulang atau regresi. Kerap sekali kita melakukan itu. Entah disebabkan tidak percaya diri bahwa kalimat yang sudah kita lewati terlupa atau karena kebiasaan yang dibakukan pendidikan kita yang selalu mentradisikan anak didiknya menghapal. Atau tiba-tiba muncul di benak yang membisikkan bahwa ada sesuatu yang tertinggal di belakang. Apa kalau Anda kembali, pasti Anda temukan apa yang tertinggal itu. Jadi, membaca cepat membuat kita bisa berlari sekencang-kencangnya. Serupa pelari. Atau serupa pencopet yang diuber massa. Anda tahu bahwa terkadang kepepetisme bisa meningkatkan daya kreativitas Anda dengan luar biasa.

Efek kedua, membaca cepat adalah upaya melepas ketergantungan Anda pada “mendengar” kata-kata yang di benak. Terkadang kita tak sadari, walau dalam kondisi mulut terkatup, kita masih bersetia mendengar bunyi yang menggema dalam pikiran. Kata-kata itu memanggil. Membaca cepat bisa menutup itu suara itu. Seperti maling yang ketika dikejar, tak mau memedulikan apa pun di sekelilingnya selain satu hal: tidak tertangkap. Dalam membaca, tidak tertangkap sang maling bisa berarti ini orang ngomong apa sih dan apakah berharga bagi saya.

Efek ketiga, membaca cepat bisa melepaskan kita dari gerakan fisik yang tak perlu seperti menggerakkan kepala atau memakai jari atau memakai alat seperti lidi atau pensil mengikuti ke mana baris-baris melangkah.

Efek keempat, setara dengan efek mengemudi di jalan-jalan raya dengan kecepatan tinggi terus-menerus. Saat menurunkan kecepatan menjadi kecepatan “normal”, Anda akan heran karena mengira kecepatan 30 km per jam, padahal sebetulnya 60 km per jam atau lebih. Di sini, Anda telah mengubah persepsi kecepatan Anda.

Tentang cara-cara dan teknik beserta ilustrasi membaca cepat bisa kita baca dalam buku Soedarso, Speed Reading: Sistem Membaca Cepat dan Efektif. Buku ini sangat kaya informasi dan insya Allah mudah dipahami. Bahasanya ringkas-ringkas dan banyak contoh. Saya kira buku ini sangat baik menuntun Anda bisa mengubah presepsi Anda tentang membaca buku, koran, atau daftar nomor telepon.

Di sini saya cuma mengatakan, bahwa untuk bisa mengefektifkan membaca cepat Anda mau tak mau harus mencintai buku. Anda tak perlu membaca buku Soedarso atau siapa pun kalau Anda mencintai buku, Anda akan temukan sendiri bagaimana cara Anda yang terbaik membaca buku. Saya sendiri, alhamdulillah menjalani ritual membaca bukan dalam ketergesaan, tapi dikarenakan saya suka. Walaupun saya juga seribu persen yakin bahwa munculnya buku-buku kiat membaca cepat sangat membantu kita untuk keluar dari cara membaca kita yang konvensional.

Membaca Super

Collin Rose sebetulnya kurang sreg dengan istilah membaca cepat, tapi membaca super. Membaca cepat terkesan seakan-akan kita terus-menerus dikejar-kejar untuk cepat, cepat, dan cepat. Padahal, ada kalanya kita harus melambat. Ibarat dalam perjalanan dengan mengendarai motor, kita tentu tidak bisa terus-menerus lari dengan kecepatan 100. Sebab jalanan tidak selalu sama. Ada yang datar, lurus, berlubang, menanjak, menurun. Kalau jalanan menurun dan penuh lubang dan di kiri kanan jurang, dan Anda memaksakan lari 100, insya Allah Anda qo'it.

Membaca super adalah membaca yang efektif. Dan membaca yang efektif adalah dengan menuliskannya. Bukankah ingatan manusia sangat terbatas? Mungkin setelah membaca sebuah buku, ingatan Anda atas isi buku mungkin 80 persen. Tapi dua hari saja lewat, ingatan itu akan menurun sampai 40 persen. Seminggu langsung hilang, kecuali buku-buku yang memang memukau dan akan teringat sampai kapan pun.

Oleh karena itu, setelah membaca, marilah berusaha menuliskannya kembali. Insya Allah ingatan Anda akan 'kekal'.

“Ikatlah ilmu dengan menuliskannya,” kata Imam Ali bin Abi Thalib.

No comments: