Thursday, July 19, 2007

Andai Saya Pegawai Perpustakaan

Oleh Agung Dwi Hartanto

Andai Zen Rahmat Sugito ke Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI)....
Dia akan tahu bahwa pengunjung perpustakaan tak menganggap perpustakaan sebagai gudang buku dan koran-koran tua yang apak. Pengunjung dan pelanggan tahu bahwa PNRI adalah surga. Di PNRI inilah, pengunjung bebas berpakaian apa saja dari kaos oblong hingga jas resmi. Pengunjung juga bebas mengenakan sandal, sepatu sandal, hingga sepatu. Satu yang tak diperkenankan, pengunjung yang tak berpakaian apa pun.

Di sanalah senyum ramah para pegawai ditemukan. Meski juga terkadang didapati muka sangar seoarang satpam. Mereka siap menegur, pada mereka yang melanggar peraturan: membawa tas ke dalam ruangan. Sebabnya book crime kerap terjadi. Atau bentakan petugas di ruangan koleksi koran dan majalah tua ketika melihat pengunjung sembarangan membuka lembaran berharga yang renta itu.

Tapi jika saya petugas perpustakaan....
Saya akan mengikuti nasehat saudara Zen, saya akan mencari kebijaksanaan. Seperti pegawai PNRI, saya akan melayani pengunjung dan pelanggan sebaik mungkin. Dari sanalah kebijaksanaan akan saya dapat. Seperti pegawai PNRI juga, saya akan sibuk melayani pengunjung selama Senin sampai Jumat. Tapi jika Sabtu, please ijinkan saya sesekali malas. Saya piket sendirian. Empat teman saya libur. Saya tak sanggup melayani 5 sampai 10 pelanggan atau pengunjung dalam 6 jam. Please....maklumi saya...saya juga manusia.

Seperti pegawai PNRI, saya akan juga belajar dan banyak membaca dari pengunjung dan pelanggan. Kecerdasan saya akan makin bertambah, jika pengunjung cari data yang “aneh-aneh”. Apalagi jika mereka mencari buku, majalah, koran yang asing di telinga saya. Dengan seperti itu, otomatis saya ikut membaca, minimal tahu judulnya. Seperti pegawai PNRI, pengetahuan saya akan bertambah akibat terbiasa.

Termasuk ketika pegawai PNRI di lantai 7 bisa membandingkan wajah Hasyim Ashari muda yang jauh lebih tampan dibandingkan, maaf, anaknya. Juga Semaun yang, maaf, bertubuh kerdil. Mereka jadi kenal Tirto Adhi Soerjo, karena ada pengunjung yang meminta dicopykan sebundel Medan Prijaji. Pengetahuan ini didapatkan dari pesanan buku, koran, majalah dari pengunjung yang asing di telinga mereka.

Dari sini saya berkesimpulan, di perpustakaan berlaku simbiosis mutualisme pengetahuan. (Saya bingung harus mengutip siapa untuk menggambarkan hal ini.) Saya yakin perpustakaan adalah muara pengetahuan, tempat bertemunya beragam pengetahuan. Bukan hanya pengetahuan yang tersedia dalam teks, tapi juga pengetahuan lain yang tak dituangkan dalam teks. Seperti contoh makna sabar bagi pengunjung yang menunggu pelayanan petugas yang lambat. Sebaliknya petugas yang muski bersabar melihat pengunjung yang datang ke perpustakaan hanya untuk ngobrol.

Tapi, andai saya pegawai perpustakaan....
Saya pasti tak lolos trainingnya saudara Zen. Ingatan saya tak mampu menghafal 10 ribu buku lebih beserta letaknya di perpustakaan. Ingatan saya begitu pendek. Sebagai gantinya saya justru akan memelajari bagaimana katalogisasi, pelabelan buku, meletakkan buku, merawat buku yang baik dan benar. Biar ketika ada pesanan pengunjung, saya akan dengan cepat bisa menyajikannya plus senyum.

Andai saya pegawai perpustakaan...
Saya juga akan mengusulkan kepada Kepala Perpustakaan, pemerintah, pengusaha, dan semua orang yang peduli pada pengetahuan untuk membantu biaya perawatan buku, majalah, koran, dan semua koleksi di perpustakaan baik swasta atau negeri. Sebab saya kasihan jika biaya ini harus dibebankan pada pengunjung (pengakses perpustakaan). Saya iba pada para pengunjung sudra, seperti saya, yang ingin menggandakan data dari koleksi di perpustakaan saya.

Ambillah contoh tarif fotocopy yang konon untuk biaya perawatan koleksi buku, koran dan majalah di PNRI. Di PNRI berlaku logika: semakin tua semakin mahal. (Logika ini berbanding terbalik dengan logika tarif di Dolly, Sarkem, atau Saritem: semakin tua dan jelek, semakin murah.) Jika koleksi tarif fotocopy buku koleksi tahun <1900-1920 seharga Rp 1000 per lembar, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya bisa hitung sendiri berapa ongkos yang dikeluarkan untuk buku setebal 100 lembar. Atau misalkan pengunjung bisa ikut mengoleksi sebundel cetakan pertama Max Havelaar, atau mengoleksi hasil fotocopy-an sebundel Medan Prijaji, Doenia Bergerak, atau Sin Po.

Perkara ini kelihatannya sepele bagi yang berduit. Tapi ini bukan perkara duit semata. Perkara ini menunjukan bahwa akses pengetahuan di negeri bernama Indonesia begitu mahal. Mahalnya akses pengetahuan inilah, barangkali, yang menyebabkan koleksi buku, koran, majalah di perpustakaan dicuri, disobek, dan terjadinya kolusi di perpustakaan. Perkara ini tak hanya terjadi di PNRI tapi hampir di setiap perpustakaan dari Merauke hingga Sabang.

Sebenarnya dengan memfotocopy itu ada semangat untuk mendokomentasikan, merawat, dan rasa memiliki terhadap catatan peradaban manusia. Saudara-saudara bisa bayangkan, andai suatu saat koleksi buku, koran, dan majalah kuno satu-satunya di perpustakaan lenyap. Dari sini bisa ditarik kesimpulan, menggandakan koleksi kuno berarti juga ikut menyelamatkan peradaban manusia.

Andai saya pegawai perpustakaan...
Saya akan meminta semua orang seperti Luis Borges. Menjadi seperti Borges yang terus membaca sampai buta dan ajal menjemput bukan hanya tanggung jawab pegawai perpustakaan atau pustakawan. Membaca itu perkara universal. Setiap manusia seyogyanya terus membaca tak hanya yang berupa teks tapi juga realitas.

Waduh!!! Apa yang barusan saya tulis kok lama-lama menggurui bukannya berandai-andai? Maafkan saya pembaca, jika harus berbagi pengalaman selama kurang lebih setengah tahun menjadi pengunjung harian di PNRI. Di sana saya tahu PNRI bukan hanya menjadi surga bagi pengunjung dan peneliti tapi juga bagi para pegawai yang diberi “kenikmatan” orang yang ingin menggandakan buku atau koleksi lainnya. Duh Gusti...duit kok jadi dyldo.

No comments: