Wednesday, April 18, 2007

Dari Kantor Pos ke Revolusi Informasi

Oleh Muhidin M Dahlan

Sewaktu meresmikan Perpustakaan Bung Hatta pada pekan terakhir September 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan agar masyarakat Indonesia membudayakan gemar membaca dan mengembangkan tempat gemar membaca atau perpustakaan.

Contohlah India," kata Presiden, "negara itu menghadapi demikian banyak persoalan sebagaimana Indonesia. Tetapi hal itu mereka anggap sebagai salah satu imagination, karena India telah menguasai IT. Mengapa India bisa menguasai IT, karena bangsa India telah mengembangkan budaya belajar dan membaca."

Rupanya, bukan hanya istana yang punya suara. Parlemen di Senayan pun sama sadarnya bahwa buku adalah salah satu fondasi utama bagaimana bangsa ini mampu melahirkan generasi-generasi unggul. Dan itu bukan sekadar wacana, melainkan dimulainya rencana pembahasan Rancangan Undang-Undang Perbukuan yang diajukan pemerintah via Departemen Pendidikan Nasional.

Setidaknya ada tiga pemangku kepentingan yang wajib termaktub dalam UU Perbukuan ini nantinya, yakni penulis, percetakan, distributor dan toko buku. Parlemen? Cukuplah ia pembuat aturan main.

Pemerintah? Cukuplah ia pengadil di lapangan. Dan kini peraturan itu sedang digodok dan akan menjadi pedoman bagi para pelaku usaha di bidang perbukuan.

Borong Hak Cipta

Sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam bidang perbukuan, profesi penulis tampak mewah dan cemerlang karena ia menjadi manusia terpilih yang tiap saat bergelut dengan idealisme dan kreativitas. Namun hanya sedikit nasibnya berkilau. Selebihnya, bertarung mati-matian dengan kutukan 3.000 eksemplar.

Menulis buku itu, apalagi yang serius, memang melelahkan. Coba dengarkan keluhan penulis sekaligus cendekiawan Muslim Jalaluddin Rahmat di pembuka buku "serius"-nya, Psikologi Agama: "Menulis buku ilmiah tidak mudah, dan yang pasti tak menguntungkan. Tidak mudah karena kita harus punya banyak waktu dan duit; di samping perlu sedikit kecerdasan intelektual yang verbal. Tidak menguntungkan karena menguras waktu dan duit; di samping mendatangkan sejumlah besar tekanan emosional dan fisikal."

Karena beratnya penanggungan ini, orang lebih memilih menulis makalah seminar ketimbang meniatkan diri menulis buku yang asli buku. Dan tentu pemerintah tak ingin membunuh penulis dan orang-orang yang akan memilih hidup di lajur ini. Karena itu, mesti ada upaya-upaya terobosan yang radikal dalam RUU Perbukuan.

Setidaknya bisa ditempuh beberapa jalur. Pertama, naikkan royalti mereka yang jika selama ini hanya 10 persen menjadi 20 persen per eksemplar buku. Kedua, pemerintah bisa membeli hak cipta buku-buku penulis dengan harga wajar. Harga itu sekaligus menjadi suntikan ekonomi agar penulis bisa mengakses pengetahuan-pengetahuan baru, sekaligus menghidupi keluarganya. Dengan demikian, posisi penulis tak hanya agung di tingkat peran dan anggapan, melainkan sejahtera di tingkat ekonomi dan sosial.

Selain memberdayakan penulis pribumi, RUU ini mendorong pemerintah mengambil inisiatif radikal untuk memborong hak cipta penulis-penulis asing di se antero Eropa dan Amerika. Dengan memborong hak cipta itu, pemerintah pun bisa menekan lambungan harga buku dan sedikit memperbaiki muka bahwa Indonesia salah satu surga pembajakan buku dunia. Sekaligus, buku-buku yang selama ini secara eksklusif hanya beredar di antara penerbit-penerbit besar dan kaya-raya, bisa terfragmentasi dan sampai di tangan masyarakat dengan sangat murah, bahkan gratis didapatkan di perpustakaan-perpustakaan sekolah di pedesaan.

Revolusi ’Balai Pustaka’

Kita mendukung penuh ide Depdiknas dalam RUU Perbukuan untuk menyemarakkan keberadaan e-book yang digadang-gadang bisa berdampak efektif dalam Revolusi Kedua Gutenberg. Namun, yang jadi soal, seberapa jauh jangkauan masyarakat untuk bisa mengakses e-book ini karena ide ini mengandaikan tersedianya fasilitas komputer dan jaringan internet.

Orang banyak pesimistis ide ini bisa terealisasi. Namun jangan lupa, pemerintah memiliki institusi lain yang bisa digerakkan, yakni PT Telkom. Terobosan Telkom ini, misalnya, sudah dinikmati pelajar-pelajar di lereng Gunung Slamet, Desa Sokawera, Kecamatan Cilongok, Banyumas. Masyarakat yang tergabung di dalam Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat itu sebagian besar pelajarnya adalah petani. Namun mereka tak gagap teknologi karena mereka secara leluasa menjelajahi dunia lewat internet berkat akses telepon tanpa kabel (Telkom Flexi).
Seturut pendapat praktisi internet Onno W Purbo, pengadaan internet di sekolah-sekolah sebetulnya bukan barang mahal, tapi supermurah. Cukup iuran bulanan Rp 5.000 atau bahkan Rp 1.000 per siswa, sekolah-sekolah di seantero Nusantara bisa menikmati perangkat internet. Dan, Onno yakin itu bisa dikerjakan secara swadaya. Tinggal soalnya, Telkom mau tidak mengubah paradigmanya, bahwa pembuatan internet itu murah meriah; bukan barang mahal.

Jika e-book via internet masih impian Depdiknas, tak apalah. Namun jangan tinggalkan buku bermedium konvensional. Banyak praktisi buku dan media cetak masih berkeyakinan bahwa buku konvensional masih terlalu kokoh untuk tersingkir keberadaannya. Karena itu, cetak konvensional masih menjadi pilihan. Tapi bagaimana pemerintah bisa menggerakkan energi dalam percetakan ini?

Setidaknya dua hal bisa dilakukan. Pertama, pemerintah bekerja sama dengan penerbit- penerbit swasta (penerbit besar/mapan maupun rumahan) dengan cara mengatur perniagaan kertas sedemikian rupa.

Sebab, selama ini yang paling dikeluhkan penerbit adalah mahalnya kertas yang ekuivalen mendorong naiknya harga buku. Jika pemerintah mematok kertas khusus untuk cetak dengan harga di bawah standar, maka kendala mahalnya harga buku bisa ditekan. Atau bisa juga pemerintah menentukan jenis kertas cetak murah yang bisa diambil dari kertas dengan teknologi daur ulang.

Cara kedua adalah membangunkan kembali penerbit negara bernama Balai Pustaka. Penerbit ini pernah memiliki kecemerlangan. Karena tak bisa mengoreksi diri dengan zaman, ia pun tersuruk. Pilihan buku maupun visualisasi terbitannya tampak kusut, "jadul", dan sama sekali tak menarik. Maka, penting untuk merombak Balai Pustaka dan memasukkan manusia-manusia muda yang dinamis sehingga tak terkesan sebagai penerbit yang dikelola pegawai negeri dengan asal-asalan.

Bisa jadi langkah awal pemerintah adalah mengubah status Balai Pustaka menjadi penerbit publik, sebagaimana yang terjadi di institusi publik lainnya seperti TVRI dan RRI. Dengan begitu, Balai Pustaka bisa keluar dari kutukan "penerbit dengan beban berat masa lalu" dan/serta bisa bergerak bareng dengan penerbit-penerbit swasta mapan lainnya mengusung jargon emansipatif: "Buku untuk Semua".

Demokratisasi Informasi

Kantor pos pun juga bisa menjadi pusat dan gerai penyebaran buku di daerah. Jadi, kantor pos tak lagi sekadar menjadi pusat pengiriman surat, tapi juga mesin utama penyebaran buku di seluruh pelosok Tanah Air.

Ada beberapa keuntungan menggunakan jasa pos sebagai distribusi buku. Pertama, jasa pos memiliki kantor yang menyebar di hampir seluruh pelosok Tanah Air hingga di tingkat kecamatan. Kedua, letaknya selalu di pusat utama aktivitas warga yang berada di daerah dan biasanya menempati gedung permanen khusus dan "megah" untuk ukuran setiap daerah. Ketiga, mereka memiliki armada yang lengkap dan pegawai pengantar barang yang terlatih.

Fasilitas dasar yang "wah" itu sungguh memadai untuk aktivitas distribusi buku. Dengan jaringan yang tersebar sangat luas, kantor pos bisa dimaksimalkan untuk distribusi buku berprospek masa depan. Caranya tidak terlalu rumit. Pertama-tama, tentu saja RUU Perbukuan memberi stimulus kerja sama antara institusi Depdiknas dan Postel dalam pewadahan distribusi buku.

Jika selama ini penerbit secara reguler memasukkan buku ke distributor atau ke toko buku, demikian pula aturan yang berlaku dalam pendistribusian buku lewat kantor pos. Misalnya, penerbit memberi rabat kepada kantor pos 45-50 persen dengan sistem konsinyasi atau titip barang yang jauh lebih sehat dan menguntungkan kedua belah pihak. Sekiranya buku tidak terjual, kantor pos akan mengembalikannya kepada penerbit.

Buku-buku yang masuk hendaknya lewat pusat pengadaan barang di kantor pos pusat, sebagaimana yang dilakukan toko-toko besar seperti Gramedia. Kantor pos pusat inilah yang menyebarkannya ke seluruh penjuru Indonesia hingga di tingkat kota. Adapun kabupaten hingga kecamatan memakai sistem pesan dan antar langsung. Dengan catatan, kantor pos menyediakan daftar dan buku berdasarkan kategori tematik.

Dengan peran kantor pos yang baru ini, kita menandai suatu kondisi meminimalisasi jurang pemisah yang terlalu dalam di antara warga dalam mengakses buku dan pengetahuan. Kita semua mafhum, kemunduran tradisi baca itu tak hanya disebabkan semata karena malasnya membaca dan kemampuan beli rendah, tetapi juga oleh tidak tersedianya buku yang hendak dibeli dan dibaca masyarakat.

No comments: