Oleh AN Ismanto
Adalah menarik bahwa daftar 100 buku ini dibuka dengan sebuah karya prosa yang terbilang “keras” pada masa terbitnya: Student Hidjo. Paling tidak ada dua sebab kenapa ia menjadi “keras”—atau, lebih tepatnya, dianggap “keras”. Sebab pertama, tentu saja, adalah isinya, dan yang kedua adalah pengarangnya, Mas Marco Kartodikromo, pendiri JIB yang langganan tertimpa delik pers pemerintah kolonial.
Student Hidjo tampaknya menjadi semacam prototip, atau motif dasar, bagi karya-karya sastra Indonesia modern sehingga dapat disebut sebagai “sastra yang melawan”. Atribut “melawan” ini selalu menjadi pusat tikai yang seru di sepanjang pertumbuhan kesusastraan kita.
“Melawan”, oleh para penyair dan pengarang kita, tampaknya seringkali dimaknai sebagai “melawan” dalam pengertian politis. Di sini, kita berjumpa lagi dengan keruwetan rumusan seni untuk seni dan seni yang bertendens. Uraian HB Jassin tentang seni bertendens tampaknya cukup untuk membenahi keruwetan itu. Seni memang mengandung tendens, kata Jassin, namun tendens itu seringkali dikacaukan dengan propaganda politik. Ini kelihatan jelas pada masa Jepang di mana seniman dan sastrawan diwajibkan untuk mencipta karya-karya untuk keperluan propaganda dalam rangka memenangkan perang.
Tendens dalam seni dan sastra bagi Jassin bersifat inheren, namun bukan berupa propaganda. Jassin mem-pra-anggap-kan bahwa karya sastra punya “tugas” untuk melakukan sesuatu demi perbaikan masyarakat dan itu dilakukan melalui pengajaran. Contoh yang diajukannya adalah Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana.
Namun demikian, para pengarang kita memandang tendens itu dari sudut masing-masing. Hasilnya adalah karya-karya “bertendens” yang gradasi “pengajaran”-nya berbeda-beda. Seringkali kadar pengajaran yang paling kuat menguar adalah ketika suatu karya mendekatkan “pengajaran” itu dengan “perlawanan” politis. Dalam kelompok ini, terdapat enam buku, yaitu Student Hijo, Hikayat Kadiroen, Matinya Seorang Petani, Tirani dan Benteng, Saksi Mata, dan Aku Ingin Jadi Peluru.
Dalam kadar tertentu, ada karya yang mencapai taraf folk-art: Aku Ingin Jadi Peluru adalah alamat untuk “puisi-puisi perlawanan”. Setiap kali orang bicara tentang “puisi perlawanan”, orang selalu merujuk buku ini—dan juga, tentu saja, penyairnya: Wiji Thukul. Sebabnya, di dalam buku ini ada larik yang hampir selalu diserukan dalam demonstrasi di jalanan: “hanya satu kata: lawan!”.
Namun, jauh sebelum runtuhnya Orde Baru, Tirani dan Benteng juga mencapai taraf yang sama dengan Aku Ingin Jadi Peluru. Untuk merujuk kepada berdirinya Orde Baru, tumbangnya Orde Lama, pengkhinatan G 30 s/PKI (sic!), orang akan merujuk buku ini. “Kami adalah Pemilik Sah Republik Ini”, misalnya, adalah “sajak wajib” ketika orang berbicara tentang pergolakan di sekitar tahun 1965-1966 di Indonesia.
Anasir perlawanan yang lebih halus muncul dalam karya-karya terbitan awal Balai Pustaka. Badan bentukan kolonial ini mulanya diniatkan sebagai penyedia bacaan yang “aman” bagi masyarakat. “Aman” di sini diartikan terutama sebagai “tidak membahayakan kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda”. Maka jika ada anasir perlawanan yang progresif yang dimunculkan oleh badan yang disubsidi sangat besar oleh pemerintah kolonial, perlawanan itu haruslah bersifat sangat halus.
Maka karya-karya seperti Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, dan Salah Asuhan adalah karya-karya “melawan” yang telah mengalami domestifikasi atau publikisasi yang terbatas sifatnya: arah perlawanan tidak lagi ditujukan kepada pemerintah kolonial atau otoritas kekuasaan yang resmi melainkan kepada masyarakat sendiri, terutama kepada adat. Maka karya-karya ini lebih “lembut” walaupun sekaligus tampak ganjil bagi pembaca masa kini.
Sitti Nurbaya, misalnya, sering menjadi alamat bagi adat kawin paksa yang banyak dihujat. Padahal, Sitti Nurbaya dalam roman ini tidaklah terpaksa menikah lantaran adat, melainkan soal lain: ekonomi. Kejanggalan lainnya adalah asumsi prokolonial yang dikandungnya: Samsulbahri dilukiskan sebagai serdadu yang memerangi rakyat yang menolak belasting atau pajak yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial.
Posisi sebagai “bacaan” aman menimbulkan kesulitan lain. Selain harus menyiasati sensor dari staf Balai Pustaka dan persaingan dengan “bacaan-bacaan liar”, ketiga karya itu harus berkompetisi dengan khotbah atau ceramah agama karena teknik penceritaan mereka seringkali tidak berbeda jauh dari khotbah.
Penjauhan karya sastra dari hal ihwal politik yang dilakukan oleh Balai Pustaka rupanya menimbulkan kesadaran bahwa gerakan politik dan ideologi saja tidak cukup. Kesadaran tentang transformasi sosial harus dirangsangkan kepada pelaku gerakan itu sendiri, yaitu masyarakat. Terlepas dari nuansa didaktis-khotbah yang membuatnya agak kaku sebagai karya sastra, Layar Terkembang memenuhi rumusan Jassin tentang “karya bertendens”. Roman ini mengajukan ide-ide cemerlang tentang hal ini, terutama tentang emansipasi perempuan.
Sedangkan Belenggu bergerak semakin mendalam dengan melampaui batas sosial dan memasuki ranah psike. Monolog interior dalam Belenggu belum biasa digunakan pada masa roman ini terbit. Namun yang lebih belum biasa lagi adalah sikap dan ide yang diajukannya tentang hubungan pernikahan, peran intelektual dalam masyarakat, dan peran sosial perempuan. Saking janggalnya bagi masanya, novel ini ditolak oleh Balai Pustaka dan akhirnya diterbitkan oleh penerbit partikelir. Ketika diterbitkan pun, ia diterpa badai tanggapan sumir—termasuk, ironisnya, dari Sutan Takdir Alisjahbana yang menganjur-anjurkan modernisme.
Motif “perlawanan” ini menimbulkan sesuatu dalam pikiran. “Perlawanan” sebagai motif dasar, pola, sejajar dengan struktur “intrinsik” dalam karya sastra, terutama prosa fiksi. Bila pada puisi motif ini walaupun mudah “dirasakan” namun sukar “dibuktikan”, dalam prosa fiksi “perlawanan” adalah inheren dalam struktur “dalam” prosa fiksi yang aninom dan netral itu. Pola dasar dari cerita yang baik hanya itu-itu saja: pembukaan, pengenalan konflik, konflik, pemecahan masalah, penutup. Konflik di sini mengasumsikan adanya pihak-pihak yang saling berlawanan—kata “lawan” di sini menguarkan kesan agresif. Apakah hal ini berarti bahwa kita dapat memastikan bahwa “perlawanan”, “melawan”, “lawan”, adalah ajektif yang juga inheren dalam sastra Indonesia? (Bersambung)
Wednesday, April 22, 2009
100 Buku Sastra: Keras dan Bertendens! (Esei 3 dari 20)
Label: 100 Buku Sastra
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
No comments:
Post a Comment