Oleh Muhidin M Dahlan
"Saya mencari consolation, hiburan hidup dari buku-buku. Saya membaca buku-buku. Saya meninggalkan alam ini, alam jasmaniah. Saya punya pikiran, saya punya mind terbang, meninggalkan alam kemiskinan ini, masuk di dalam ''world of the mind''; berjumpa dengan orang-orang besar, dan bicara dengan orang-orang besar, bertukar pikiran dengan orang-orang besar." (Soekarno)
Hampir semua orang tahu, naskah pleidoi Indonesia Menggugat yang ditulis dan dibacakan Soekarno di Landraad Bandung pada 18 Agustus 1930 itu mencengangkan. Bukan hanya karena bahasanya bergemuruh, penuh gelora, propagandis, menghentak, menjambak, menunjuk, dan sekaligus membanting, melainkan juga naskah itu kaya akan literatur.
Jika kita mengindeks naskah itu dengan jeli, maka kita dapatkan ada sekira 66 nama tokoh yang dikutip Soekarno. Sebut saja Albarda, Anton Menger, August de Wit, Bauer, Boeke, Brailsford, Brooshooft, Clive Day, Colenbrander, Daan van der Zee, de Kat Angelino, Dietrich Schafer, Dijkstra, Duys, Engels, Erskin Childres, Federik Peter Godfried, FG Waller, Gonggijp, Henriette Roland Holsts, Herbert Spencer, HG Wells, Houshofer, Huender, Jaures, John Robert Seeley, dan Jozef Mazzini.
Ada juga Jules Harmand, Karl Kautsky, Karl Marx, Karl Renner, Kilestra, Koch, Kraemer, Lievegoed, Mac Swiney, Manuel Quezon, Michael Davitt, Multatuli, Mustafa Kamil, Parvus, Peter Maszlow, Pieter Veth, Raffles, Reinhard, Rouffaer, Rudolf Hilferding, Sandberg, Sarojini Naidu, Schrieke, Scmalhausen, Sister Nivedita, Sneevliet, Snouck Hugronje, Stokvis, Sun Yat Sen, Treub, Troelstra, van den Bergh van Eysinga, van Gelderen, van Heldingen, van Kol, van Lith, dan Vleming.
Tokoh-tokoh itu menempati posisi dari pelbagai penjuru aliran pemikiran; dari sosialis liberal, komunis, kaum agamawan, hingga penganjur kapitalis modern. Nama-nama itu berbaur dalam 33 judul buku yang dijadikan sandaran gagasan Soekarno di mana 99 persennya berbahasa Belanda.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana bisa Soekarno mendapatkan begitu banyak pasokan buku? Padahal, naskah itu ditulisnya saat ia disekap dalam penjara sudra Banceuy yang kotor dan jorok selama 330 hari. Dalam kamar sel no 5 berukuran 1.5 x 2.5 meter itu, Soekarno dijaga ketat dan berlapis oleh spion-spion karena dianggap sebagai musuh pemerintah kolonial kelas wahid.
Adalah Inggit Garnasih yang mengambil peran itu. Inggit adalah ibu kos Soekarno saat ia kuliah di ITB Bandung yang kemudian dinikahinya. Umur mereka terpaut cukup jauh, tapi Soekarno yang masih berusia ting-ting merasa lebih tenteram dalam dekapan Inggit ketimbang dengan putri Tjokroaminoto, Utari, yang kemudian dipulangkannya lagi ke Peneleh Surabaya.
Inggit sadar bahwa Soekarno pemuda cerdas dan memiliki talenta besar sebagai seorang pemimpin nasional. Dan, sekaligus Inggit tahu Soekarno adalah hantu buku. Ia pelahap buku yang rakus. Bahkan, ketika rekannya yang membeli buku belum sempat membacanya, sudah direbut Soekarno duluan dan setelah selesai barulah buku itu dikembalikan.
''Kalau buku yang saya anggap penting, saya baca dari A sampai Z. Dan yang penting-penting saya garis-bawahi. Saya tulisi dengan pendapat saya. Pendek kata saya orek-orek (corat-coret) setengah ajur (hancur) buku tersebut,'' seru Soekarno.
Tapi penjara dan pengucilan memutus semua itu, walau Soekarno tak sudah-sudah berteriak: ''Biar engkau meringkuk di antara empat tembok ini, tetapi besarkanlah engkau punya hati; ide yang terkandung di dalam dadamu memecahkan ini tembok, akan menjalar keluar tembok ini.''
Dan pada posisi ini kerja Inggit, istri yang sangat setia dan mencintai Soekarno sepenuh-penuh diri itu, diperlukan. Soekarno boleh saja menjadi hantu buku yang lahap, tapi penjara Banceuy tetap mengharamkannya bertemu dengan buku. Inggitlah yang membuka jalan bagaimana Soekarno kembali bergulat dengan buku, terutama sekali saat ia sedang mempersiapkan sebuah pleidoi panjang atas rentetan tuduhan subversif yang dituduhkan pengadilan kepadanya.
Dengan caranya sendiri yang sederhana, Inggit menempuh jalan klandestin. Mula-mula, Inggit mengutus kurir ke Jakarta untuk mengambil buku-buku milik Mr Sartono. Tak lupa Inggit memesan kurir untuk berpindah-pindah kendaraan agar tak diketahui spion-spion pemerintah kolonial yang berkeliaran menginternir aktivis-aktivis pergerakan.
Untuk bisa lolos ke dalam penjara, buku-buku itu dililitkan Inggit distagennya dengan didahului puasa tiga hari supaya perutnya bisa kempis betul. Lolos dari pintu depan, tak berarti mata para spion Banceuy lepas. Namun Inggit selalu berhasil memperdaya penjagaan berlapis spion itu hingga Soekarno mendapatkan pasokan buku yang cukup dalam selnya yang apak.
Buku-buku pasokan Inggit itulah yang dinukil Soekarno secara diam-diam nyaris setiap malam. Pembelaan yang telah diterjemahkan ke dalam lusinan bahasa di daratan Eropa itu ditulis Soekarno di atas kaleng rombeng yang berbau pesing lantaran dipakai untuk buang hajat sekalian. Pada saat Soekarno ingin menulis, kaleng ini dibersihkan lagi.
Soekarno butuh waktu empat pekan untuk membacakan pleidoi ini mulai 18 Agustus hingga 22 Desember 1930 dengan didampingi kwartet pembela: Sartono, Sasromuljono, Sujudi, dan R Ipih Prawiradiputra. Tapi Landraad tetap tak bergeming dengan keputusannya. Soekarno tetap dihukum 4 tahun penjara. Sementara tiga rekannya, Gatot Mangkupradja, Maskun, dan Supriadinata masing-masing kena 2 tahun, 1 tahun 8 bulan, dan 1 tahun 3 bulan.
Tapi ini bukan soal gagalnya pleidoi itu membebaskan Soekarno dan rekan-rekannya dari interniran, melainkan bagaimana pleidoi itu sendiri menjadi naskah klasik yang paling gemilang yang dilahirkan manusia republik di masa pergerakan.
Dan di antara deretan kutipan pleidoi Soekarno itu, jangan dilupakan keringat dan ikhtiar Inggit Garnasih, perempuan pendamping paling setia dan tabah yang kemudian dibuang begitu saja oleh Soekarno lantaran dia mendapatkan gadis yang lebih muda di dataran Bengkulu: Fatmawati.
* Pernah dimuat di Harian Jawa Pos Edisi 7 Juni 2009
[+baca-]
Saturday, June 13, 2009
Tuesday, June 2, 2009
Korupsi dan Ulah Bejat Penerbit-penerbit Kelelawar
Oleh AN Ismanto
Buku bukan hanya alat mencerahkan nalar, tapi juga tambang uang yang diperebutkan manusia-manusia rakus yang terdidik. Buku bukan hanya pengabadi nilai-nilai budi, melainkan juga menjadikan orang yang mungkin dulunya baik-baik berubah menjadi bejat.
Saya tak tahu apa anak-anak sekolah dasar sampai menengah itu tahu bahwa buku yang sedang mereka pelajari menjadi rebutan banyak penerbit.
Kegandrungan pada buku pelajaran itu barangkali bisa disigi dari jumlah uang beredar di sana luar biasa gigantiknya.
Bayangkan saja, untuk satu judul buku pelajaran sekali naik cetak oplahnya bisa sampai 100 ribu eksemplar. Bandingkan dengan buku umum yang berkisar antara 3 sampai 5 ribu eksemplar.
Di situs Indonesian Corruption Watch (ICW) pada 25 Agustus 2008 kita disuguhi daftar yang membuat kita terperangah betapa buruknya pengadaan buku pelajaran sekolah.
Terutama sekali ulah hitam penerbit dan individu-individu yang bermain-main di sana.
Tak tanggung-tanggung, Bank Dunia merilis daftar hitam penerbit-penerbit kelelawar itu.
Ada sekira 27 penerbit, yakni: PT Penerbit Erlangga (Jakarta), PT Grasindo (Jakarta), PT Ganeca Exact (Bandung), PT Mitra Gama Widya (Jakarta), PT Mizan (Jakarta) dan PT Albama (Jakarta).
Juga ada PT Trigenda Karya (Bandung), PT Pabelan (Jakarta), PT Surya Angkasa (Semarang), PT Edumedia (Surabaya), PT Tiga Serangkai (Semarang), PT SPKN (Bandung), CV Djatnika (Bandung), CV Titian Ilmu (Bandung), PT. Mega Jaya (??).
Terusannya: CV Kendang Sari (Surabaya), CV Grafindo, CV Multi Trust, PT Pribumi Mekar, IKIP Malang/Yayasan Penerbit Ikip Malang, PT Indah Jaya Adipratama, PT Mitra Aksara Panaitan (Jakarta), PT Multi Adiwiyata, PT Remaja Rosda Karya (Bandung), PT Balai Pustaka (Jakarta), dan PT Kanisius (Yogyakarta).
Melihat daftar itu pantas saja mutu buku pelajaran kita buruk. Mustahil berharap buku-buku bermutu diproduksi dengan cara-cara kotor dan jalan penyuapan di sana-sini. [+baca-]
Buku bukan hanya alat mencerahkan nalar, tapi juga tambang uang yang diperebutkan manusia-manusia rakus yang terdidik. Buku bukan hanya pengabadi nilai-nilai budi, melainkan juga menjadikan orang yang mungkin dulunya baik-baik berubah menjadi bejat.
Saya tak tahu apa anak-anak sekolah dasar sampai menengah itu tahu bahwa buku yang sedang mereka pelajari menjadi rebutan banyak penerbit.
Kegandrungan pada buku pelajaran itu barangkali bisa disigi dari jumlah uang beredar di sana luar biasa gigantiknya.
Bayangkan saja, untuk satu judul buku pelajaran sekali naik cetak oplahnya bisa sampai 100 ribu eksemplar. Bandingkan dengan buku umum yang berkisar antara 3 sampai 5 ribu eksemplar.
Di situs Indonesian Corruption Watch (ICW) pada 25 Agustus 2008 kita disuguhi daftar yang membuat kita terperangah betapa buruknya pengadaan buku pelajaran sekolah.
Terutama sekali ulah hitam penerbit dan individu-individu yang bermain-main di sana.
Tak tanggung-tanggung, Bank Dunia merilis daftar hitam penerbit-penerbit kelelawar itu.
Ada sekira 27 penerbit, yakni: PT Penerbit Erlangga (Jakarta), PT Grasindo (Jakarta), PT Ganeca Exact (Bandung), PT Mitra Gama Widya (Jakarta), PT Mizan (Jakarta) dan PT Albama (Jakarta).
Juga ada PT Trigenda Karya (Bandung), PT Pabelan (Jakarta), PT Surya Angkasa (Semarang), PT Edumedia (Surabaya), PT Tiga Serangkai (Semarang), PT SPKN (Bandung), CV Djatnika (Bandung), CV Titian Ilmu (Bandung), PT. Mega Jaya (??).
Terusannya: CV Kendang Sari (Surabaya), CV Grafindo, CV Multi Trust, PT Pribumi Mekar, IKIP Malang/Yayasan Penerbit Ikip Malang, PT Indah Jaya Adipratama, PT Mitra Aksara Panaitan (Jakarta), PT Multi Adiwiyata, PT Remaja Rosda Karya (Bandung), PT Balai Pustaka (Jakarta), dan PT Kanisius (Yogyakarta).
Melihat daftar itu pantas saja mutu buku pelajaran kita buruk. Mustahil berharap buku-buku bermutu diproduksi dengan cara-cara kotor dan jalan penyuapan di sana-sini. [+baca-]
Label: Kriminal
Monday, April 27, 2009
Seratus Buku Sastra: Rindu-Benci Sastra & Agama (8 dari 20)
Oleh AN Ismanto
Motif dasar tentang hubungan antara agama, sastra dan pencerahan sosial tampaknya tercetak pertama kali dalam Robohnya Surau Kami.
Keruntuhan surau di sebuah kampung dalam komposisi literer “Robohnya Surau Kami” diposisikan sebagai simbol bagi runtuhnya hakikat keberagamaan karena laku-tafsir yang tidak tepat.
Nilai-nilai dan ajaran agama yang sifatnya formalistik dan preskriptif dianggap sebagai destruktif terhadap hakikat religius dari lembaga agama.
Di sini, diasumsikan bahwa agama mempunyai dua sisi, yakni sisi “bentuk” dan “isi”. Sisi “bentuk” maujud dalam format kelembagaan dan nilai-nilai yang dapat dicerap secara empirik-sosial.
Dalam hal ini, ritual peribadatan yang dilakukan secara membuta adalah yang terutama. Sedangkan sisi “isi” adalah hakikat yang dibungkus oleh ritual itu dan memerlukan tafsiran tersendiri agar dapat dipahami dan efektif.
Cerpen “Robohnya Surau Kami” menilai, ritual peribadatan secara membuta itu justru membusukkan hakikat. Maka pada saat terbitnya pertama kali pada tahun 1956, cerpen ini langsung digasak oleh pelakon agama yang lebih mementingkan sisi “bentuk”.
Tendensi purifikasi “Robohnya Surau Kami” diikuti oleh Tuhan Ijinkan Aku Menjadi Pelacur.
Novel ini keluar dari batas kampung dan memasuki ranah urban serta membahas geliat kelas intelektual dalam masyarakat yang melakukan politisasi “bentuk” dan “isi” agama.
Nidah Kirani dilukiskan sebagai persona yang percaya bahwa nilai-nilai religius dapat menjadi kekuatan sosial politik untuk menghasilkan kemajuan dalam masyarakat. Tetapi nilai-nilai itu tidak dijalankan secara konsisten oleh para pelakonnya.
Nilai-nilai perjuangan itu dimanipulasi sedemikian rupa oleh para pelakonnya sehingga menjadi sekadar alat untuk memuaskan kepentingan pribadi atau golongan.
Nidah yang frustrasi tidak dapat menerima bahwa religiusitas yang begitu cemerlang dalam ideal pejuang ternyata hanya merupakan semacam “kedok”, sehingga ia memutuskan untuk melakukan hal yang justru sangat bertentangan dari nilai-nilai yang ideal itu. Sikap Nidah adalah tamparan bagi para pelaku perjuangan politik berdasarkan agama. Dan karena itulah novel ini mesti “dihajar”.
Sedangkan Kotbah di Atas Bukit agak merenggangkan diri dengan soal sosial politik dan lebih cenderung memusatkan perhatian kepada sisi substansial dari ajaran agama, yaitu aspek rohaniahnya.
Tokoh Barman dijadikan sebagai perlambang bagi persona yang mencari hati diri yang mesti menggunakan seluruh daya pikir dan perasaannya untuk mencapai keseatian.
Sastra dan Religiositas adalah himpunan esai analitik yang mencoba membuktikan bahwa sifat religius adalah sifat yang inheren dalam sastra. Tesis utama yang mengikat esei-esei dalam buku ini adalah bahwa pada mulanya, sastra adalah religius.
Sastra merupakan ekspresi bahasa yang terlahir dari esensi yang misterius dan sakral dari wilayah spiritual yang paling fundamental dalam diri manusia. Sebaliknya, yang religius pun mempunyai sifat sastrawi.
Revelasi wahyu dari arasy Tuhan mewujud dalam kata-kata yang nilai puitis dan kekuatan literernya tak tertandingi. Pengalaman-pengalaman indah seperti nikmat terbukanya hijab kesadaran (ma’rifatul aql) ketika membaca Kitab Al-Qur’an misalnya, menunjukkan bahwa kekuatan puitis merupakan suatu hal vital dari pencerahan religius.
Kitab suci merupakan wilayah paling sublim dan sakral dari bahasa umat manusia. Bahasa Kitab Suci merupakan jalinan tanda di mana dimensi Ilahiah dan dimensi Insaniah bertemu. Konvergensi ini selanjutnya menjadi jalan bagi intimitas komunikasi yang juga misterius antara Tuhan dengan mahluk.
Hubungan antara sastra, masyarakat luas, dan negara, menjadi heboh pada tahun 1968 sesudah terbitnya cerpen “Langit Makin Mendung”. Heboh Sastra 1968 adalah kumpulan pembelaan HB Jassin terhadap pengarang cerpen yang disiarkan pertama kali dalam majalah Sastra, Tahun VI, No. 48, Agustus 1968 itu.
Dalam edisi cetak ulang pada tahun 2004, buku ini menjadi lebih luas karena dilengkapi dengan serangan yang ditujukan kepada para pembela cerpen tersebut.
Jassin bersikukuh bahwa niat cerpen itu bukanlah penodaan atau penghinaan agama. Sastra punya hukum-hukumnya sendiri yang bisa jadi berbeda dari hukum-hukum dalam realitas, apalagi hukum positif.
Kata Jassin, “Anda tidak bisa menghakimi imajinasi.” Tetapi, nihilasi terhadap segala yang berpautan dengan cerpen itu sudah lebih dulu teradi: maalah Sastra dilarang beredar, anarkisme massa menjarah kantor redaksinya, dan Jassin sendiri divonis satu tahun kurungan dengan masa percobaan 2 tahun.
Nihilasi terhadap majalah Sastra dan “proses pengadilan” terhadap H.B. Jassin memperlihatkan buruknya hubungan antara agama-negara di satu pihak dengan sastra di pihak lain.
Pihak pertama yang memiliki otoritas dan kekuasaan, melakukan hegemoni dan donimasi terhadap pihak kedua yang dihuni oleh sekelompok minoritas. Dan pihak pertamalah yang menentukan, dengan ukuran normatif mereka, nasib sastra sebagai pihak yang lain.
Hubungan antara sastra dan pelaku-pelakunya dengan kelompok pemeluk agama kembali memanas ketika muncul upaya estetifikasi teks ayat-ayat Al-Qur’an. Buku karya Jassin itu konon hanya dicetak terbatas, namun kabar tentangnya sudah lebih dulu merebak dan memicu perdebatan. Kontroversi Quran Suci Bacaan Mulia menjelentrehkan pro-kontra itu.
Upaya itu sebenarnya mendapatkan dukungan dari pelbagai kalangan, termasuk dari Menteri Agama RI, Lajnah Pentashih Al-qur’an, MUI, dan juga dari sastrawan seperti Hamka yang menjabat sebagai Ketua MUI.
Mereka menilai bahwa usaha Jassin ini adalah sebuah usaha yang agung karena di samping memperindah, juga akan melahirkan bahasa terjemahan yang lebih baik dari sebelumnya yang cendrung rancu dan bertele-tele.
Di lain pihak, ia mendapat serangan dari kalangan umat Islam (yang ekstrem). Dengan terbitnya buku ini, H.B. Jassin tidak hanya dinilai telah merendahkan Qur’an tetapi ia telah merusaknya karena terdapat banyak kesalahan arti yang ditemukan di dalamnya.
Kecaman ini kemudian diperkuat dengan melihat latar belakang kehidupan dan kepribadian H.B. Jassin yang tidak memiliki keahlian dalam berbahasa Arab. Jassin tidak lebih hanyalah seorang kritikus sastra atau sastrawan, ia bukan “ulama” yang terjamin keilmuan Bahasa Arab-nya.
Pada dasarnya ayat-ayat Qur’an itu memang tidak bisa diindonesiakan secara tepat mengingat keterbatasan kosakata atau perbendaharaan bahasa Indonesia. Apalagi terjemahan yang dilakukan oleh Jassin ini bersifat puitis, otomatis akan bertambah sulit karena terikat dengan pola persajakan yang pada akhirnya berujung terhadap kekeliruan murad.
Di samping itu pula, karena bahasa puitis itu tidak mengungkapkan pesan secara langsung, otomatis ia akan sulit dipahami. (Bersambung)
[seri tulisan ini adalah pengantar memasuki buku yang ditulis Tim Sastra IBOEKOE, "100 Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan". Sebuah sekoci kecil sastra yang muda belia dan dikarunia Tuhan banyak waktu luang untuk menulis] [+baca-]
Motif dasar tentang hubungan antara agama, sastra dan pencerahan sosial tampaknya tercetak pertama kali dalam Robohnya Surau Kami.
Keruntuhan surau di sebuah kampung dalam komposisi literer “Robohnya Surau Kami” diposisikan sebagai simbol bagi runtuhnya hakikat keberagamaan karena laku-tafsir yang tidak tepat.
Nilai-nilai dan ajaran agama yang sifatnya formalistik dan preskriptif dianggap sebagai destruktif terhadap hakikat religius dari lembaga agama.
Di sini, diasumsikan bahwa agama mempunyai dua sisi, yakni sisi “bentuk” dan “isi”. Sisi “bentuk” maujud dalam format kelembagaan dan nilai-nilai yang dapat dicerap secara empirik-sosial.
Dalam hal ini, ritual peribadatan yang dilakukan secara membuta adalah yang terutama. Sedangkan sisi “isi” adalah hakikat yang dibungkus oleh ritual itu dan memerlukan tafsiran tersendiri agar dapat dipahami dan efektif.
Cerpen “Robohnya Surau Kami” menilai, ritual peribadatan secara membuta itu justru membusukkan hakikat. Maka pada saat terbitnya pertama kali pada tahun 1956, cerpen ini langsung digasak oleh pelakon agama yang lebih mementingkan sisi “bentuk”.
Tendensi purifikasi “Robohnya Surau Kami” diikuti oleh Tuhan Ijinkan Aku Menjadi Pelacur.
Novel ini keluar dari batas kampung dan memasuki ranah urban serta membahas geliat kelas intelektual dalam masyarakat yang melakukan politisasi “bentuk” dan “isi” agama.
Nidah Kirani dilukiskan sebagai persona yang percaya bahwa nilai-nilai religius dapat menjadi kekuatan sosial politik untuk menghasilkan kemajuan dalam masyarakat. Tetapi nilai-nilai itu tidak dijalankan secara konsisten oleh para pelakonnya.
Nilai-nilai perjuangan itu dimanipulasi sedemikian rupa oleh para pelakonnya sehingga menjadi sekadar alat untuk memuaskan kepentingan pribadi atau golongan.
Nidah yang frustrasi tidak dapat menerima bahwa religiusitas yang begitu cemerlang dalam ideal pejuang ternyata hanya merupakan semacam “kedok”, sehingga ia memutuskan untuk melakukan hal yang justru sangat bertentangan dari nilai-nilai yang ideal itu. Sikap Nidah adalah tamparan bagi para pelaku perjuangan politik berdasarkan agama. Dan karena itulah novel ini mesti “dihajar”.
Sedangkan Kotbah di Atas Bukit agak merenggangkan diri dengan soal sosial politik dan lebih cenderung memusatkan perhatian kepada sisi substansial dari ajaran agama, yaitu aspek rohaniahnya.
Tokoh Barman dijadikan sebagai perlambang bagi persona yang mencari hati diri yang mesti menggunakan seluruh daya pikir dan perasaannya untuk mencapai keseatian.
Sastra dan Religiositas adalah himpunan esai analitik yang mencoba membuktikan bahwa sifat religius adalah sifat yang inheren dalam sastra. Tesis utama yang mengikat esei-esei dalam buku ini adalah bahwa pada mulanya, sastra adalah religius.
Sastra merupakan ekspresi bahasa yang terlahir dari esensi yang misterius dan sakral dari wilayah spiritual yang paling fundamental dalam diri manusia. Sebaliknya, yang religius pun mempunyai sifat sastrawi.
Revelasi wahyu dari arasy Tuhan mewujud dalam kata-kata yang nilai puitis dan kekuatan literernya tak tertandingi. Pengalaman-pengalaman indah seperti nikmat terbukanya hijab kesadaran (ma’rifatul aql) ketika membaca Kitab Al-Qur’an misalnya, menunjukkan bahwa kekuatan puitis merupakan suatu hal vital dari pencerahan religius.
Kitab suci merupakan wilayah paling sublim dan sakral dari bahasa umat manusia. Bahasa Kitab Suci merupakan jalinan tanda di mana dimensi Ilahiah dan dimensi Insaniah bertemu. Konvergensi ini selanjutnya menjadi jalan bagi intimitas komunikasi yang juga misterius antara Tuhan dengan mahluk.
Hubungan antara sastra, masyarakat luas, dan negara, menjadi heboh pada tahun 1968 sesudah terbitnya cerpen “Langit Makin Mendung”. Heboh Sastra 1968 adalah kumpulan pembelaan HB Jassin terhadap pengarang cerpen yang disiarkan pertama kali dalam majalah Sastra, Tahun VI, No. 48, Agustus 1968 itu.
Dalam edisi cetak ulang pada tahun 2004, buku ini menjadi lebih luas karena dilengkapi dengan serangan yang ditujukan kepada para pembela cerpen tersebut.
Jassin bersikukuh bahwa niat cerpen itu bukanlah penodaan atau penghinaan agama. Sastra punya hukum-hukumnya sendiri yang bisa jadi berbeda dari hukum-hukum dalam realitas, apalagi hukum positif.
Kata Jassin, “Anda tidak bisa menghakimi imajinasi.” Tetapi, nihilasi terhadap segala yang berpautan dengan cerpen itu sudah lebih dulu teradi: maalah Sastra dilarang beredar, anarkisme massa menjarah kantor redaksinya, dan Jassin sendiri divonis satu tahun kurungan dengan masa percobaan 2 tahun.
Nihilasi terhadap majalah Sastra dan “proses pengadilan” terhadap H.B. Jassin memperlihatkan buruknya hubungan antara agama-negara di satu pihak dengan sastra di pihak lain.
Pihak pertama yang memiliki otoritas dan kekuasaan, melakukan hegemoni dan donimasi terhadap pihak kedua yang dihuni oleh sekelompok minoritas. Dan pihak pertamalah yang menentukan, dengan ukuran normatif mereka, nasib sastra sebagai pihak yang lain.
Hubungan antara sastra dan pelaku-pelakunya dengan kelompok pemeluk agama kembali memanas ketika muncul upaya estetifikasi teks ayat-ayat Al-Qur’an. Buku karya Jassin itu konon hanya dicetak terbatas, namun kabar tentangnya sudah lebih dulu merebak dan memicu perdebatan. Kontroversi Quran Suci Bacaan Mulia menjelentrehkan pro-kontra itu.
Upaya itu sebenarnya mendapatkan dukungan dari pelbagai kalangan, termasuk dari Menteri Agama RI, Lajnah Pentashih Al-qur’an, MUI, dan juga dari sastrawan seperti Hamka yang menjabat sebagai Ketua MUI.
Mereka menilai bahwa usaha Jassin ini adalah sebuah usaha yang agung karena di samping memperindah, juga akan melahirkan bahasa terjemahan yang lebih baik dari sebelumnya yang cendrung rancu dan bertele-tele.
Di lain pihak, ia mendapat serangan dari kalangan umat Islam (yang ekstrem). Dengan terbitnya buku ini, H.B. Jassin tidak hanya dinilai telah merendahkan Qur’an tetapi ia telah merusaknya karena terdapat banyak kesalahan arti yang ditemukan di dalamnya.
Kecaman ini kemudian diperkuat dengan melihat latar belakang kehidupan dan kepribadian H.B. Jassin yang tidak memiliki keahlian dalam berbahasa Arab. Jassin tidak lebih hanyalah seorang kritikus sastra atau sastrawan, ia bukan “ulama” yang terjamin keilmuan Bahasa Arab-nya.
Pada dasarnya ayat-ayat Qur’an itu memang tidak bisa diindonesiakan secara tepat mengingat keterbatasan kosakata atau perbendaharaan bahasa Indonesia. Apalagi terjemahan yang dilakukan oleh Jassin ini bersifat puitis, otomatis akan bertambah sulit karena terikat dengan pola persajakan yang pada akhirnya berujung terhadap kekeliruan murad.
Di samping itu pula, karena bahasa puitis itu tidak mengungkapkan pesan secara langsung, otomatis ia akan sulit dipahami. (Bersambung)
[seri tulisan ini adalah pengantar memasuki buku yang ditulis Tim Sastra IBOEKOE, "100 Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan". Sebuah sekoci kecil sastra yang muda belia dan dikarunia Tuhan banyak waktu luang untuk menulis] [+baca-]
Label: 100 Buku Sastra
Sunday, April 26, 2009
Seratus Buku Sastra: Perempuan sebagai Pusat [7 dari 20]
Oleh AN Ismanto
Kalau tak Untung, Karmila, Pada Sebuah Kapal, Raumanen, Gadis Pantai, dan Saman berkisah tentang tokoh-tokoh perempuan sebagai sosok-sosok yang bertempat dalam suatu ruang sosial yang memaksakan hukum-hukum tertentu kepada mereka.
Acapkali mereka kalah di hadapan paksaan hukum-hukum itu, kecuali pada Karmila yang dapat dikatakan berakhir bahagia. Terlepas dari kandungan sastrawinya—kecuali Gadis Pantai—novel-novel ini juga menjadi penanda penting bagi bangkitnya perempuan pengarang Indonesia.
Gadis Pantai—yang ditulis oleh laki-laki—memandang perempuan dengan simpatik dan jauh lebih mau, tidak lagi memandang perempuan semata-mata sebagaimana yang dikodratkan atasnya.
Perempuan dalam novel ini adalah perempuan sebagai suatu kelas sosial. Tokoh Gadis Pantai mungkin memang merupakan eksemplar saja dari suatu jumlah, namun ia eksemplar yang memendarkan detail-detail dari kelasnya itu sedemikian rupa sehingga sosoknya menguarkan kesan maskulin dan unik.
Memang pada akhirnya si tokoh kalah, namun “perlawanan”-nya yang halus membedakannya dari sosok perempuan yang “diidealkan” dalam superstruktur yang dominan. Kisah Gadis Pantai dengan demikian menjadi kisah yang menghentak.
Hentakan besar lain yang terkait dengan perempuan dimunculkan oleh Saman. Novel ini mengajukan pelukisan sosok perempuan langsung pada bagian yang kerap ditautkan dengannya: seksualitas.
Hingga saat novel itu terbit, seksualitas seringkali dipandang oleh masyarakat sebagai hal yang terlalu menjijikkan untuk dimanfaatkan dalam sebuah bangunan literer karena anggapan luas bahwa karya sastra harus menjalankan fungsi pengajaran—yang sering dimaknai sebagai pengajaran norma-norma kesusilaan.
Seksualitas dalam sastra memang sangat menarik untuk diperdebatkan. Apakah yang menyebabkan dua buah karya yang sama-sama mengandung seksualitas dapat dibedakan menjadi karya sastra yang baik dan bacaan yang cabul? Sekitar 50 tahun yang lalu Umar Kayam pernah memberikan batasan-batasan yang cukup kokoh untuk hal ini.
Pak Kayam mengatakan bahwa soal seks adalah satu soal kemanusiaan yang terbesar yang akan selalu “mengganggu” kehidupan manusia, yang karenanya akan selalu kita jumpai dalam kesusastraan kapan saja.
Karena itu, satu hasil sastra yang menyangkut soal seks tidak mungkin kita anggap sebagai hasil sastra yang melanggar nilai-nilai kesusilaan, bila dia didukung oleh satu ide yang baik, dipersiapkan dengan mendalam dan matang dan memberi kita pengertian yang baik tentang kehidupan dan kemanusiaan.
Saman tampaknya memenuhi kriterium Pak Kayam tentang hasil sastra yang didukung oleh satu ide yang baik itu. Dan kita memang tidak akan mendapati kecabulan di dalam novel ini.
Seksualitas diajukan sebagai keniscayaan yang tak terhindarkan, bahkan ketika tampil dalam bentuknya yang menyimpang: itu adalah realitas yang tak tertolak. Jadi, kenapa mengingkari yang tak tertolak itu? Bukankah lebih baik jika mencari kearifan hidup yang mungkin terkandung di situ?
Jika dibanding dengan novel-novel tentang perempuan yang lain, Karmila mungkin dipandang dengan kening agak berkerut. Namun ia membukakan mata kita pada potensi prosa fiksi sebagai komoditi.
Dan ini tidak dapat disangkal dengan laris dan populernya Karmila. Sesudah Sitti Nurbaya, Karmila adalah tokoh fiksi yang menjadi hidup di tengah-tengah masyarakat: ia menyusup dalam ke film dan disebut-sebut dalam lirik lagu populer.
Menurut Profesor Sapardi Djoko Damono, kejutan Karmila pada dekade 70-an itu dapat diterangkan dengan perkembangan ruang urban di Indonesia pada masa itu. Berbagai jenis pekerjaan baru muncul dalam masa itu dan banyak di antaranya yang terbuka bagi perempuan. Di antara perempuan-perempuan itu, ada yang sangat sibuk namun ada juga yang punya sangat banyak waktu luang.
Mereka sama-sama mengalami proses yang sama, yaitu berusaha sebaik-baiknya menjadi anggota dan sekaligus menciptakan masyarakat, atau kebudayaan, yang baru.
Mereka tidak mau menjadi kaum illiterate di dalamnya dan berusaha sebaik-baiknya untuk melek budaya. Mereka inilah yang kemudian mewarisi budaya kota. Agar senantiasa melek budaya, yang semakin global, mereka juga memerlukan informasi dari dunia sekitarnya dan juga dari seberang lautan.
Kebutuhan akan kebudayaan baru inilah yang kemudian memancing timbulnya perempuan-perempuan sastrawan baru. Memang pada masa-masa sebelumnya pernah juga muncul perempuan-perempuan sastrawan, namun mereka kebanyakan sekadar “menulis” dan setelah itu “diam”.
Gambaran mereka tentang perempuan dalam karya sastra yang mereka ciptakan cenderung “selembut bunga”. Namun pada dekade 1970-an ini, perempuan sastrawan tidak sekadar “menulis”, melainkan juga “bicara”, dalam arti ikut berperan aktif dalam pembentukan citra perempuan yang diinginkan dan juga berperan aktif dalam menggiatkan pasar perbukuan.
Maka bisa dimafhumi jika Karmila menggambarkan sosok utamanya sebagai sosok perempuan aktif, dinamis, dan kuat.
Ideal ini adalah ideal yang baru dan dianggap cocok dalam konteks sosial yang baru di mana perempuan telah memperoleh peluang yang lebih lapang dan bergerak di lapangan publik.
Mungkin inilah sebab utama kenapa novel ini diakomodasi dengan manis oleh pasar. (Bersambung) [+baca-]
Kalau tak Untung, Karmila, Pada Sebuah Kapal, Raumanen, Gadis Pantai, dan Saman berkisah tentang tokoh-tokoh perempuan sebagai sosok-sosok yang bertempat dalam suatu ruang sosial yang memaksakan hukum-hukum tertentu kepada mereka.
Acapkali mereka kalah di hadapan paksaan hukum-hukum itu, kecuali pada Karmila yang dapat dikatakan berakhir bahagia. Terlepas dari kandungan sastrawinya—kecuali Gadis Pantai—novel-novel ini juga menjadi penanda penting bagi bangkitnya perempuan pengarang Indonesia.
Gadis Pantai—yang ditulis oleh laki-laki—memandang perempuan dengan simpatik dan jauh lebih mau, tidak lagi memandang perempuan semata-mata sebagaimana yang dikodratkan atasnya.
Perempuan dalam novel ini adalah perempuan sebagai suatu kelas sosial. Tokoh Gadis Pantai mungkin memang merupakan eksemplar saja dari suatu jumlah, namun ia eksemplar yang memendarkan detail-detail dari kelasnya itu sedemikian rupa sehingga sosoknya menguarkan kesan maskulin dan unik.
Memang pada akhirnya si tokoh kalah, namun “perlawanan”-nya yang halus membedakannya dari sosok perempuan yang “diidealkan” dalam superstruktur yang dominan. Kisah Gadis Pantai dengan demikian menjadi kisah yang menghentak.
Hentakan besar lain yang terkait dengan perempuan dimunculkan oleh Saman. Novel ini mengajukan pelukisan sosok perempuan langsung pada bagian yang kerap ditautkan dengannya: seksualitas.
Hingga saat novel itu terbit, seksualitas seringkali dipandang oleh masyarakat sebagai hal yang terlalu menjijikkan untuk dimanfaatkan dalam sebuah bangunan literer karena anggapan luas bahwa karya sastra harus menjalankan fungsi pengajaran—yang sering dimaknai sebagai pengajaran norma-norma kesusilaan.
Seksualitas dalam sastra memang sangat menarik untuk diperdebatkan. Apakah yang menyebabkan dua buah karya yang sama-sama mengandung seksualitas dapat dibedakan menjadi karya sastra yang baik dan bacaan yang cabul? Sekitar 50 tahun yang lalu Umar Kayam pernah memberikan batasan-batasan yang cukup kokoh untuk hal ini.
Pak Kayam mengatakan bahwa soal seks adalah satu soal kemanusiaan yang terbesar yang akan selalu “mengganggu” kehidupan manusia, yang karenanya akan selalu kita jumpai dalam kesusastraan kapan saja.
Karena itu, satu hasil sastra yang menyangkut soal seks tidak mungkin kita anggap sebagai hasil sastra yang melanggar nilai-nilai kesusilaan, bila dia didukung oleh satu ide yang baik, dipersiapkan dengan mendalam dan matang dan memberi kita pengertian yang baik tentang kehidupan dan kemanusiaan.
Saman tampaknya memenuhi kriterium Pak Kayam tentang hasil sastra yang didukung oleh satu ide yang baik itu. Dan kita memang tidak akan mendapati kecabulan di dalam novel ini.
Seksualitas diajukan sebagai keniscayaan yang tak terhindarkan, bahkan ketika tampil dalam bentuknya yang menyimpang: itu adalah realitas yang tak tertolak. Jadi, kenapa mengingkari yang tak tertolak itu? Bukankah lebih baik jika mencari kearifan hidup yang mungkin terkandung di situ?
Jika dibanding dengan novel-novel tentang perempuan yang lain, Karmila mungkin dipandang dengan kening agak berkerut. Namun ia membukakan mata kita pada potensi prosa fiksi sebagai komoditi.
Dan ini tidak dapat disangkal dengan laris dan populernya Karmila. Sesudah Sitti Nurbaya, Karmila adalah tokoh fiksi yang menjadi hidup di tengah-tengah masyarakat: ia menyusup dalam ke film dan disebut-sebut dalam lirik lagu populer.
Menurut Profesor Sapardi Djoko Damono, kejutan Karmila pada dekade 70-an itu dapat diterangkan dengan perkembangan ruang urban di Indonesia pada masa itu. Berbagai jenis pekerjaan baru muncul dalam masa itu dan banyak di antaranya yang terbuka bagi perempuan. Di antara perempuan-perempuan itu, ada yang sangat sibuk namun ada juga yang punya sangat banyak waktu luang.
Mereka sama-sama mengalami proses yang sama, yaitu berusaha sebaik-baiknya menjadi anggota dan sekaligus menciptakan masyarakat, atau kebudayaan, yang baru.
Mereka tidak mau menjadi kaum illiterate di dalamnya dan berusaha sebaik-baiknya untuk melek budaya. Mereka inilah yang kemudian mewarisi budaya kota. Agar senantiasa melek budaya, yang semakin global, mereka juga memerlukan informasi dari dunia sekitarnya dan juga dari seberang lautan.
Kebutuhan akan kebudayaan baru inilah yang kemudian memancing timbulnya perempuan-perempuan sastrawan baru. Memang pada masa-masa sebelumnya pernah juga muncul perempuan-perempuan sastrawan, namun mereka kebanyakan sekadar “menulis” dan setelah itu “diam”.
Gambaran mereka tentang perempuan dalam karya sastra yang mereka ciptakan cenderung “selembut bunga”. Namun pada dekade 1970-an ini, perempuan sastrawan tidak sekadar “menulis”, melainkan juga “bicara”, dalam arti ikut berperan aktif dalam pembentukan citra perempuan yang diinginkan dan juga berperan aktif dalam menggiatkan pasar perbukuan.
Maka bisa dimafhumi jika Karmila menggambarkan sosok utamanya sebagai sosok perempuan aktif, dinamis, dan kuat.
Ideal ini adalah ideal yang baru dan dianggap cocok dalam konteks sosial yang baru di mana perempuan telah memperoleh peluang yang lebih lapang dan bergerak di lapangan publik.
Mungkin inilah sebab utama kenapa novel ini diakomodasi dengan manis oleh pasar. (Bersambung) [+baca-]
Label: 100 Buku Sastra
Seratus Buku Sastra: Puncak Surealisme (6 dari 20)
Oleh AN Ismanto
Komposisi realis dalam sastra rupanya tidak memuaskan para pengarang kita. Kerangka realisme yang banyak dipakai dianggap tidak memberikan ruang yang cukup sehingga Godlob, Sumur Tanpa Dasar, dan Memorabilia pun muncul.
Ketiga karya itu mengingatkan kita pada Andre Breton yang pernah menyatakan bahwa kesenian harus berasal dari alam bawah sadar dan oleh karena itu seniman harus mendapatkan ilham sebebas-bebasnya dari imaji-imaji impiannya. Namun, seniman juga berusaha mencapai “super-realisme”, tempat antara batas-batas mimpi (dunia di dalam bawah sadar) dan kenyataan (dunia di dalam kesadaran) melebur.
Seniman pun diasumsikan sebagai seseorang yang memiliki kapabilitas untuk menembus sensor dari kesadaran dan membiarkan kata-kata dan imaji-imaji itu bermain dengan bebas.
Godlob adalah sebuah kumpulan cerpen dengan tema-tema yang “melangit” dan diceritakan dengan cara yang surealistis. Di dalamnya kita mendapati pertemuan antara cerita-cerita yang sudah dikenal sebelumnya dengan hal-hal baru yang dibawa Danarto dan “dihantamkannya” sehingga segala isi badan cerita yang mapan itu berantakan dan terbentuklah bangunan cerita yang baru.
Peristiwa dalam cerita juga seringkali musykil terjadi di alam nyata dan hanya mungkin terjadi di dalam angan-angan yang tak berbatas itu. Namun, pencampur-bauran cerita-cerita itu tidak dilakukan dengan sembarangan, melainkan dengan penuh perhitungan.
Alhasil, kita mendapati, misalnya, wawasan yang mendalam tentang kosmologi dalam cerpen berjudul “Godlob” yang mendedahkan oposisi biner yang melandasi kosmos. Sekilas, cerpen ini dan cerpen-cerpen lainnya merupakan “khotbah” tentang soal-soal eksistensial yang “berat” yang dibungkus dengan rangkaian cerita. Hanya berkat kemampuan bercerita pengarangnya saja maka “khotbah” atau “ajaran” itu tidak menjadi bacaan yang membosankan.
Maka dapat dimafhumi bila pola cerita dalam cerpen-cerpen itu biasanya adalah pencarian seorang tokoh yang kebingungan karena tak tahu apa yang mereka cari namun kemudian menemukan pencerahan.
Tuhan dan alam setelah kehidupan banyak ditemukan di dalam kumpulan cerpen ini. Rintrik yang buta di dalam cerita “Hujan” dapat menjadi contohnya: bahkan di dalam cerita ini karakter Rintrik menekankan hubungannya dengan Tuhan dalam sebuah bentuk yang sangat manusiawi, ”Untuk terakhir kalinya apa keinginanmu?”, ”Syahwat yang besar sekali”, ”Apa itu?”, ”Melihat Wajah Tuhan”.
Pencarian para tokoh di dalam kumpulan cerpen “Godlob” mewakili suara-suara tentang realitas kehidupan manusia yang penuh dengan perjuangan mencari kebenaran. Kebenaran yang ditemui tidak pernah sejati dan selalu saja berubah bentuk dalam kehidupan manusia yang multidimensi ini.
Bila surealisme a la Godlob adalah surealisme yang religius dan transendental, maka surealisme yang diusung oleh Memorabilia tampak aneh, absurd, dengan sinisme sosial yang bernuansa kelam.
Bentuk cerpen-cerpen dalam himpunan cerpen itu berupa struktur narasi yang mengekspresikan kecemasan, kesunyian yang berbaur dengan kekerasan dan keliaran, dan memperlihatkan karakter tokoh-tokoh yang schizophrenik yang didukung oleh detail-detail yang cermat dan digambarkan pada tingkat yang paling esktrem, entah yang baik entah yang buruk.
Misalnya, konstruk sosial tentang anak laki-laki yang harus perkasa begitu melekat pada diri seorang ayah dalam cerita “Anak Ayah”.
Keperkasaan itu diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan kekerasan. Si ayah gemar menghajari si ibu, yang dianggap sebagai makhluk lemah. Contoh itu membuat si anak berani melakukan tindakan kekerasan dan pemerasan kepada sekelompok anak-anak sekolah.
Ketika anak-anak itu melawan, si ayah menyuruh si anak melakukan perhitungan. Si anak membunuh salah satu dari anak-anak sekolah itu sehingga ia ditangkap dan dibui.
Namun, pada akhirnya, bukan kekerasan yang menjadikan seseorang manusia bahagia, melainkan kasih sayang. Selama di penjara, hanya ibunya yang menjenguk si anak. Hal itu membuat si anak menyadari bahwa ayahnya, yang sangat dipujanya itu, bukanlah sosok yang pantas untuk dipuja. Maka selepas dari penjara ia mencari si ayah dan membunuhnya.
Kekerasan juga menjadi tampak sangat menjijikkan dalam “Keluarga Bahagia”. Tokoh aku semula tak ingin menikah karena sering melihat orangtuanya bertengkar dan berkelahi.
Ketika si aku akhirnya jatuh cinta dan menikahi sebuah jerangkong, keluarganya dikaruniai “anak-anak serigala” yang sangat nakal, bahkan tega membunuh orang yang mengadu kepada si aku tentang kenakalan anak-anaknya. Si aku menyesal, tetapi ia tak berdaya menghadapi kenakalan anak-anaknya.
Kekelaman suasana dalam cerpen-cerpen Memorabilia seakan menyiratkan pandangan hidup yang pesimis. Dunia dipandang sebagai tempat yang sangat menjijikkan, kotor, tidak aman, dan penuh kekerasan.
Akan tetapi, dengan mengingat Bertold Brecht, cerpen-cerpen itu justru bisa dimaknai lebih positif: Memorabilia seperti sekadar menunjukkan, bahwa bila konstelasi sosial, politik dan kemanusiaan dibiarkan terjadi seperti di dalam cerpen-cerpen “mengerikan” itu, maka kondisi “mengerikan” itu memang akan terjadi dalam kenyataan.
Godlob dan Memorabilia adalah puncak-puncak surealisme dalam sastra kita. Namun, bila Godlob banyak menerapkan teknik surealisme untuk mengolah tema-tema yang “melangit”, Memorabilia menerapkan teknik yang sama untuk tema-tema yang lebih “membumi”.
Di sinilah juga kita temukan kearifan pencarian persona kreatif: selalu ada lanjutan bagi capaian sastra yang telah dianggap mapan.
Kebalauan surealisme sekilas sulit untuk diterapkan dalam naskah lakon. Namun, Sumur Tanpa Dasar berhasil menyiasati trisula kesatuan di dalam drama. Ada dua buah alam yang dilukiskan oleh naskah ini, yaitu alam faktual dalam drama dan alam angan-angan yang ada dalam kepala Jumena.
Dialog atau peristiwa dalam angan-angan dihadirkan pada panggung yang sama dengan yang terjadi di alam faktual dalam drama. Batas-batas masing-masing alam disiasati dengan pergantian giliran dialog dan tindakan.
Maka, Pemburu yang hanya hidup dalam kepala Jumena dapat berbicara dan beraksi di atas panggung. Pada saat yang sama, dialog dan peristiwa potensial dalam alam faktual diam. Demikian juga sebaliknya: bila alam faktual Jumena yang hendak diajukan kepada penonton, maka alam angan-angan membeku.
Penyiasatan naskah ini tidak sebatas itu saja. Waktu pun disiasatinya. Bila salah satu alam sedang berlangsung, maka alam yang lain dilukiskan membeku baik ruang dan waktunya. Sehingga dua alam itu dapat terus berlangsung secara konsisten menurut hukum-hukumnya sendiri. Dengan cara inilah batas-batas teknis dalam pemanggungan suatu naskah lakon didobrak.
Dengan teknik surealis semacam ini, Sumur Tanpa Dasar lebih cenderung mengisahkan manusia sebagai pribadi. Akibat-akibat sosial dari Jumena sang tokoh utama adalah keluaran dari apa yang berlangsung di dalam dirinya, yang tergambar dengan jelas melalui dialog dan peristiwa yang melibatkan Pemburu.
Ketakutan akan kematian, rasa sayang kepada harta, dan kecintaan kepada kerja keras, menjelma menjadi motif psikologis yang menyebabkan reaksi sosial di alam faktual.
Asumsi-asumsi eksperimentalistik-surealis Godlob, Sumur Tanpa Dasar, dan Memorabilia yang melahirkan “ketercekaman” dan “kekelaman” memperoleh imbangan dari Cantik Itu Luka.
Cantik Itu Luka menawarkan kisah pergulatan nasib yang absurd yang kerap dialami oleh mereka yang hidup pada zaman peralihan. Pergantian kekuasaan kerapkali menyisakan banyak ruang kosong yang tak tersentuh oleh sistem kekuasaan yang baru dan sebagai gantinya diisi dengan chaos. Tokoh sentral Dewi Ayu dan tokoh-tokoh lainnya dalam novel ini berada dalam pusaran itu.
Melalui balutan mitos dan legenda-legenda lokal, Eka Kuniawan berhasil menghadirkan nuansa komikal yang kental dan membuat penderitaan tokoh-tokohnya menjadi semacam lelucon kesedihan yang tak berkesudahan.
Kesannya mungkin tragis, namun lucu dan ringan. Teknik ini sepadan dengan yang kita temukan pada Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Maquez yang kerap dilabeli sebagai “realisme magis”.
Semangat “realisme magis” menyajikan kenyataan sebagai fakta yang dilumuri dengan berbagai macam mitos dan legenda dan berusaha menjungkirbalikkan keyakinan tentang kenyataan empirik yang diyakini sebagai suatu rumusan yang logis. Pada Cantik Itu Luka, semangat ini terbubuh sejak halaman pertama:
“Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematiannya. Seorang bocah gembala dibuat terbangun dari tidur siang di bawah pohon kamboja, kencing di celana pendeknya sebelum melolong, dan keempat dombanya lari di antara batu dan kayu nisan tanpa arah bagaikan seekor macan dilemparkan ke tengah mereka. Semuanya berawal dari kegaduhan di tengah kuburan tua.”
Melumernya realitas ke dalam cawan mitos dan legenda memaksa pembaca tenggelam dalam pusaran pertanyaan filosofis: milik siapakah sebenarnya realitas itu, masyarakat umum yang cenderung irasional ataukah milik para akademisi yang mendasarkan disiplin keilmuannya pada ketatnya kontrol rasionalitas?
Tarikan ke arah yang lebih “membumi” justru datang dari perpuisian Celana. Kumpulan puisi ini sering dianggap bernada satir yang humoristis dan mengajak pembacanya untuk tersenyum masam.
Metafor-metafornya dibangun dari barang-barang sederhana yang ada di sekeliling. Namun, tentu saja, barang-barang sederhana itu tak lagi menjadi sederhana ketika telah diracik menjadi puisi.
Keseharian dan kesederhanaan itu disampaikan dalam bentuk “cerita mini” yang punya awalan dan akhiran—biasanya akhiran inilah bagian yang paling “meninju” dalam bangunan puitiknya.
Salah satu puisi Celana berkisah tentang seseorang yang berniat membeli celana namun tidak ada yang cocok dan akhirnya ia memutuskan untuk ke kuburan. Di sana, ia hanya ingin bertanya di mana sang ibu menyimpan celana yang dikenakannya semasa kecil dulu.
Pada barang celana yang sederhana ini, kita bisa melekatkan banyak wacana, mulai dari ketubuhan hingga teori-teori intensionalisasi. Misalnya, kita bisa meletakkan celana sebagai kutub pembanding untuk mengumpamakan tema rasa malu dalam psikoanalisis Freudian. (Bersambung) [+baca-]
Komposisi realis dalam sastra rupanya tidak memuaskan para pengarang kita. Kerangka realisme yang banyak dipakai dianggap tidak memberikan ruang yang cukup sehingga Godlob, Sumur Tanpa Dasar, dan Memorabilia pun muncul.
Ketiga karya itu mengingatkan kita pada Andre Breton yang pernah menyatakan bahwa kesenian harus berasal dari alam bawah sadar dan oleh karena itu seniman harus mendapatkan ilham sebebas-bebasnya dari imaji-imaji impiannya. Namun, seniman juga berusaha mencapai “super-realisme”, tempat antara batas-batas mimpi (dunia di dalam bawah sadar) dan kenyataan (dunia di dalam kesadaran) melebur.
Seniman pun diasumsikan sebagai seseorang yang memiliki kapabilitas untuk menembus sensor dari kesadaran dan membiarkan kata-kata dan imaji-imaji itu bermain dengan bebas.
Godlob adalah sebuah kumpulan cerpen dengan tema-tema yang “melangit” dan diceritakan dengan cara yang surealistis. Di dalamnya kita mendapati pertemuan antara cerita-cerita yang sudah dikenal sebelumnya dengan hal-hal baru yang dibawa Danarto dan “dihantamkannya” sehingga segala isi badan cerita yang mapan itu berantakan dan terbentuklah bangunan cerita yang baru.
Peristiwa dalam cerita juga seringkali musykil terjadi di alam nyata dan hanya mungkin terjadi di dalam angan-angan yang tak berbatas itu. Namun, pencampur-bauran cerita-cerita itu tidak dilakukan dengan sembarangan, melainkan dengan penuh perhitungan.
Alhasil, kita mendapati, misalnya, wawasan yang mendalam tentang kosmologi dalam cerpen berjudul “Godlob” yang mendedahkan oposisi biner yang melandasi kosmos. Sekilas, cerpen ini dan cerpen-cerpen lainnya merupakan “khotbah” tentang soal-soal eksistensial yang “berat” yang dibungkus dengan rangkaian cerita. Hanya berkat kemampuan bercerita pengarangnya saja maka “khotbah” atau “ajaran” itu tidak menjadi bacaan yang membosankan.
Maka dapat dimafhumi bila pola cerita dalam cerpen-cerpen itu biasanya adalah pencarian seorang tokoh yang kebingungan karena tak tahu apa yang mereka cari namun kemudian menemukan pencerahan.
Tuhan dan alam setelah kehidupan banyak ditemukan di dalam kumpulan cerpen ini. Rintrik yang buta di dalam cerita “Hujan” dapat menjadi contohnya: bahkan di dalam cerita ini karakter Rintrik menekankan hubungannya dengan Tuhan dalam sebuah bentuk yang sangat manusiawi, ”Untuk terakhir kalinya apa keinginanmu?”, ”Syahwat yang besar sekali”, ”Apa itu?”, ”Melihat Wajah Tuhan”.
Pencarian para tokoh di dalam kumpulan cerpen “Godlob” mewakili suara-suara tentang realitas kehidupan manusia yang penuh dengan perjuangan mencari kebenaran. Kebenaran yang ditemui tidak pernah sejati dan selalu saja berubah bentuk dalam kehidupan manusia yang multidimensi ini.
Bila surealisme a la Godlob adalah surealisme yang religius dan transendental, maka surealisme yang diusung oleh Memorabilia tampak aneh, absurd, dengan sinisme sosial yang bernuansa kelam.
Bentuk cerpen-cerpen dalam himpunan cerpen itu berupa struktur narasi yang mengekspresikan kecemasan, kesunyian yang berbaur dengan kekerasan dan keliaran, dan memperlihatkan karakter tokoh-tokoh yang schizophrenik yang didukung oleh detail-detail yang cermat dan digambarkan pada tingkat yang paling esktrem, entah yang baik entah yang buruk.
Misalnya, konstruk sosial tentang anak laki-laki yang harus perkasa begitu melekat pada diri seorang ayah dalam cerita “Anak Ayah”.
Keperkasaan itu diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan kekerasan. Si ayah gemar menghajari si ibu, yang dianggap sebagai makhluk lemah. Contoh itu membuat si anak berani melakukan tindakan kekerasan dan pemerasan kepada sekelompok anak-anak sekolah.
Ketika anak-anak itu melawan, si ayah menyuruh si anak melakukan perhitungan. Si anak membunuh salah satu dari anak-anak sekolah itu sehingga ia ditangkap dan dibui.
Namun, pada akhirnya, bukan kekerasan yang menjadikan seseorang manusia bahagia, melainkan kasih sayang. Selama di penjara, hanya ibunya yang menjenguk si anak. Hal itu membuat si anak menyadari bahwa ayahnya, yang sangat dipujanya itu, bukanlah sosok yang pantas untuk dipuja. Maka selepas dari penjara ia mencari si ayah dan membunuhnya.
Kekerasan juga menjadi tampak sangat menjijikkan dalam “Keluarga Bahagia”. Tokoh aku semula tak ingin menikah karena sering melihat orangtuanya bertengkar dan berkelahi.
Ketika si aku akhirnya jatuh cinta dan menikahi sebuah jerangkong, keluarganya dikaruniai “anak-anak serigala” yang sangat nakal, bahkan tega membunuh orang yang mengadu kepada si aku tentang kenakalan anak-anaknya. Si aku menyesal, tetapi ia tak berdaya menghadapi kenakalan anak-anaknya.
Kekelaman suasana dalam cerpen-cerpen Memorabilia seakan menyiratkan pandangan hidup yang pesimis. Dunia dipandang sebagai tempat yang sangat menjijikkan, kotor, tidak aman, dan penuh kekerasan.
Akan tetapi, dengan mengingat Bertold Brecht, cerpen-cerpen itu justru bisa dimaknai lebih positif: Memorabilia seperti sekadar menunjukkan, bahwa bila konstelasi sosial, politik dan kemanusiaan dibiarkan terjadi seperti di dalam cerpen-cerpen “mengerikan” itu, maka kondisi “mengerikan” itu memang akan terjadi dalam kenyataan.
Godlob dan Memorabilia adalah puncak-puncak surealisme dalam sastra kita. Namun, bila Godlob banyak menerapkan teknik surealisme untuk mengolah tema-tema yang “melangit”, Memorabilia menerapkan teknik yang sama untuk tema-tema yang lebih “membumi”.
Di sinilah juga kita temukan kearifan pencarian persona kreatif: selalu ada lanjutan bagi capaian sastra yang telah dianggap mapan.
Kebalauan surealisme sekilas sulit untuk diterapkan dalam naskah lakon. Namun, Sumur Tanpa Dasar berhasil menyiasati trisula kesatuan di dalam drama. Ada dua buah alam yang dilukiskan oleh naskah ini, yaitu alam faktual dalam drama dan alam angan-angan yang ada dalam kepala Jumena.
Dialog atau peristiwa dalam angan-angan dihadirkan pada panggung yang sama dengan yang terjadi di alam faktual dalam drama. Batas-batas masing-masing alam disiasati dengan pergantian giliran dialog dan tindakan.
Maka, Pemburu yang hanya hidup dalam kepala Jumena dapat berbicara dan beraksi di atas panggung. Pada saat yang sama, dialog dan peristiwa potensial dalam alam faktual diam. Demikian juga sebaliknya: bila alam faktual Jumena yang hendak diajukan kepada penonton, maka alam angan-angan membeku.
Penyiasatan naskah ini tidak sebatas itu saja. Waktu pun disiasatinya. Bila salah satu alam sedang berlangsung, maka alam yang lain dilukiskan membeku baik ruang dan waktunya. Sehingga dua alam itu dapat terus berlangsung secara konsisten menurut hukum-hukumnya sendiri. Dengan cara inilah batas-batas teknis dalam pemanggungan suatu naskah lakon didobrak.
Dengan teknik surealis semacam ini, Sumur Tanpa Dasar lebih cenderung mengisahkan manusia sebagai pribadi. Akibat-akibat sosial dari Jumena sang tokoh utama adalah keluaran dari apa yang berlangsung di dalam dirinya, yang tergambar dengan jelas melalui dialog dan peristiwa yang melibatkan Pemburu.
Ketakutan akan kematian, rasa sayang kepada harta, dan kecintaan kepada kerja keras, menjelma menjadi motif psikologis yang menyebabkan reaksi sosial di alam faktual.
Asumsi-asumsi eksperimentalistik-surealis Godlob, Sumur Tanpa Dasar, dan Memorabilia yang melahirkan “ketercekaman” dan “kekelaman” memperoleh imbangan dari Cantik Itu Luka.
Cantik Itu Luka menawarkan kisah pergulatan nasib yang absurd yang kerap dialami oleh mereka yang hidup pada zaman peralihan. Pergantian kekuasaan kerapkali menyisakan banyak ruang kosong yang tak tersentuh oleh sistem kekuasaan yang baru dan sebagai gantinya diisi dengan chaos. Tokoh sentral Dewi Ayu dan tokoh-tokoh lainnya dalam novel ini berada dalam pusaran itu.
Melalui balutan mitos dan legenda-legenda lokal, Eka Kuniawan berhasil menghadirkan nuansa komikal yang kental dan membuat penderitaan tokoh-tokohnya menjadi semacam lelucon kesedihan yang tak berkesudahan.
Kesannya mungkin tragis, namun lucu dan ringan. Teknik ini sepadan dengan yang kita temukan pada Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Maquez yang kerap dilabeli sebagai “realisme magis”.
Semangat “realisme magis” menyajikan kenyataan sebagai fakta yang dilumuri dengan berbagai macam mitos dan legenda dan berusaha menjungkirbalikkan keyakinan tentang kenyataan empirik yang diyakini sebagai suatu rumusan yang logis. Pada Cantik Itu Luka, semangat ini terbubuh sejak halaman pertama:
“Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematiannya. Seorang bocah gembala dibuat terbangun dari tidur siang di bawah pohon kamboja, kencing di celana pendeknya sebelum melolong, dan keempat dombanya lari di antara batu dan kayu nisan tanpa arah bagaikan seekor macan dilemparkan ke tengah mereka. Semuanya berawal dari kegaduhan di tengah kuburan tua.”
Melumernya realitas ke dalam cawan mitos dan legenda memaksa pembaca tenggelam dalam pusaran pertanyaan filosofis: milik siapakah sebenarnya realitas itu, masyarakat umum yang cenderung irasional ataukah milik para akademisi yang mendasarkan disiplin keilmuannya pada ketatnya kontrol rasionalitas?
Tarikan ke arah yang lebih “membumi” justru datang dari perpuisian Celana. Kumpulan puisi ini sering dianggap bernada satir yang humoristis dan mengajak pembacanya untuk tersenyum masam.
Metafor-metafornya dibangun dari barang-barang sederhana yang ada di sekeliling. Namun, tentu saja, barang-barang sederhana itu tak lagi menjadi sederhana ketika telah diracik menjadi puisi.
Keseharian dan kesederhanaan itu disampaikan dalam bentuk “cerita mini” yang punya awalan dan akhiran—biasanya akhiran inilah bagian yang paling “meninju” dalam bangunan puitiknya.
Salah satu puisi Celana berkisah tentang seseorang yang berniat membeli celana namun tidak ada yang cocok dan akhirnya ia memutuskan untuk ke kuburan. Di sana, ia hanya ingin bertanya di mana sang ibu menyimpan celana yang dikenakannya semasa kecil dulu.
Pada barang celana yang sederhana ini, kita bisa melekatkan banyak wacana, mulai dari ketubuhan hingga teori-teori intensionalisasi. Misalnya, kita bisa meletakkan celana sebagai kutub pembanding untuk mengumpamakan tema rasa malu dalam psikoanalisis Freudian. (Bersambung) [+baca-]
Label: 100 Buku Sastra
Friday, April 24, 2009
Seratus Buku Sastra: Pencarian Penyair (5 dari 20)
Oleh AN Ismanto
Pertanyaan abadi dalam hidup manusia menimpakan “kutuk” dan “berkat” pada saat yang bersamaan. Pertanyaan-pertanyaan memang telah coba dijawab oleh nalar—dan ilmu sebagai pirantinya. Namun ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan nalar. Jawabannya mungkin memang ada, namun berupa dugaan dan “lokalistis”—maksudnya, tidak disepakati sebagai jawaban yang secara universal dianggap “benar”.
Maka, pertanyaan tentang “roh”, “jiwa”, kelahiran, kematian, Tuhan, hubungan antarmakhluk hidup, eskatologi, usia, kosmologi, waktu, dan ruang, menimbulkan jawaban yang beragam. Pertanyaan “Siapakah atau apakah Tuhan itu?”, misalnya, dapat membuat dua orang yang berbeda agama dan keyakinan berdiskusi atau melakukan pencarian jawaban sampai mati.
Soal-soal eksistensial seperti ini mungkin dapat dirumuskan dengan “tiga pertanyaan dasar dalam hidup”: Dari mana kita datang? Sedang apa kita dalam hidup ini? Ke mana kita pergi setelah mati?—betul, memang ini “judul” salah satu lukisan Gauguin. Soal-soal ini adalah rangsang pertama yang selalu melahirkan “tanya di hati” para pengarang kita. Hasilnya adalah karya-karya seperti Deru Campur Debu dan Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan yang Putus. Kedua buku ini memerlukan keterangan tersendiri.
Kedua buku ini “patut dibaca” sebagai satu kesatuan karena ada banyak sajak penting yang sama-sama termuat ke dalam buku itu. Konsekuensinya dari segi pembacaan sangat penting. Profesor Teeuw, misalnya, menunjukkan ada perbedaan tekstual antara sajak “Kawanku dan Aku” dalam kedua terbitan itu. Dalam Deru Campur Debu, bait terakhir sajak itu berbunyi “Sudah larut sekali/Hilang tenggelam segala makna/Dan gerak tak punya arti”. Sedangkan dalam Kerikil Tajam, bunyinya adalah “Sudah larut sekali/Hingga hilang segala makna/Dan gerak tak punya arti”. Analisis Profesor Teeuw menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kedua versi itu: “hingga hilang” dianggap lebih baik ketimbang “hilang tenggelam”.
Virtuositas Chairil dalam menyajak diimbangi dengan klop oleh kedalaman “isi” sajak-sajak dalam kedua buku yang terbit secara anumerta itu. Walhasil, banyak sajak Chairil yang sekaligus merupakan puisi suasana dan puisi ide karena efek yang ditumbulkannya dari teks.
Eksistensialisme sering dilekatkan pada sajak-sajak dalam buku-buku ini. Anasir yang paling sering dirujuk orang adalah hedonisme—baik positif maupun negatif—yang terkandung di dalam sajak-sajak itu. Bagi Jassin, seruan “Aku mau hidup seribu tahun lagi”, misalnya, pada masa sajak “Aku” ditulis adalah “goncangan” tersendiri terhadap kecenderungan umum yang berlaku pada masa sajak itu ditulis, yaitu kepasrahan total seperti yang dianjurkan oleh tradisi masyarakat Indonesia pada masa itu. Elan vital semacam inilah yang membuat penyairnya ditahbiskan sebagai “dewa sastra Indonesia” dan dipuja habis-habisan oleh banyak orang.
Orang juga merujuk kepada ekspresi eksistensialis lain yang diajukan oleh Chairil, yaitu kematian, tepatnya pada sajak “Yang Terampas dan yang Putus”:
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku
Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin
Malam semakin merasuk, rimba jadi semati tugu
Di karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
Lalu aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu
Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
Dua sajak yang berlainan “isi”-nya itu membuat kita menyadari kompleksitas kehidupan manusia. Seakan-akan sajak-sajak dalam buku-buku ini membukakan dugaan, bahwa orang yang haus akan hidup ternyata bisa juga sangat haus akan kematian.
“Isi” dari buku-buku semacam Deru Campur Debu dan Kerikil Tajam seringkali mendapatkan perhatian yang berlebih ketimbang “bentuk” sastra yang mewadahinya. Sehingga, kilauan wujudnya sebagai sebuah “komposisi sastra”—komposisi menyiratkan adanya campur tangan bakat, keahlian, dan ketekunan—seringkali kalah ketimbang “amanat” (atau “pesan” atau “isi”). Akibatnya cukup mengkhawatirkan.
Kecerlangan kedua buku itu membuat banyak orang hendak meniru sosok si pencipta. Sayangnya, yang kemudian ditirukan lebih banyak sekadar sosok lahiriah saja: penyair yang kumal, bohemian, “semau gue”, hedonistik. Sedangkan usaha penciptaan karya yang cerlang seperti kedua buku itu menjadi nomor dua: banyak penyair yang sekadar pesolek dan kenes namun miskin papa dalam soal karya.
Jika Deru Campur Debu dan Kerikil Tajam sering dirujuk sebagai perwujudan elan vital dan elan mortal pada titik paling ekstrem, Dan Kematian Makin Akrab, Atheis, duka-mu abadi, Ziarah, Sajak-sajak 33, Sebuah Radio, Kumatikan, dan Gairah untuk Hidup dan Gairah untuk Mati melakukan “pendalaman” pada ruang di antara kehidupan dan kematian.
Ruang di antara kedua titik itu terisi antara lain oleh pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan dan hubungan antarmakhluk (baik antarinsan maupun antara insan dengan makhluk lain).
Atheis mendedahkan pergolakan keyakinan seseorang akan Tuhan sebagai causa prima bagi segala sesuatu Dan Kematian Makin Akrab adalah kumpulan sajak-sajak pilihan dari seorang penyair yang telah puluhan tahun menggeluti persajakan dan menampilkan sajak-sajak yang kontemplatif dan ideistis, seperti “Salju” dan “Dan Kematian Makin Akrab”.
Sedangkan Sajak-sajak 33 dan Sebuah Radio, Kumatikan banyak menyoal hubungan antara laki-laki dan perempuan. Melalui komposisi yang rumit, misalnya, Cocktail Party mengungkapkan kegeraman atas “nasib” perempuan yang “dikutuk” untuk hidup dalam sebuah dunia sosial yang partriarkhal.
Sementara itu, duka-mu abadi adalah kumpulan komposisi literer yang banyak memanfaatkan simbol-simbol religius dan alam untuk mengartikulasikan pelbagai soal eksistensial. Gairah untuk Hidup dan Gairah untuk Mati langsung menyergap pembaca dengan judulnya, yang menggunakan tanda-tanda (hidup, mati) yang menjadi atribut dasar eksistensialisme—mahzab apapun. (Bersambung) [+baca-]
Pertanyaan abadi dalam hidup manusia menimpakan “kutuk” dan “berkat” pada saat yang bersamaan. Pertanyaan-pertanyaan memang telah coba dijawab oleh nalar—dan ilmu sebagai pirantinya. Namun ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan nalar. Jawabannya mungkin memang ada, namun berupa dugaan dan “lokalistis”—maksudnya, tidak disepakati sebagai jawaban yang secara universal dianggap “benar”.
Maka, pertanyaan tentang “roh”, “jiwa”, kelahiran, kematian, Tuhan, hubungan antarmakhluk hidup, eskatologi, usia, kosmologi, waktu, dan ruang, menimbulkan jawaban yang beragam. Pertanyaan “Siapakah atau apakah Tuhan itu?”, misalnya, dapat membuat dua orang yang berbeda agama dan keyakinan berdiskusi atau melakukan pencarian jawaban sampai mati.
Soal-soal eksistensial seperti ini mungkin dapat dirumuskan dengan “tiga pertanyaan dasar dalam hidup”: Dari mana kita datang? Sedang apa kita dalam hidup ini? Ke mana kita pergi setelah mati?—betul, memang ini “judul” salah satu lukisan Gauguin. Soal-soal ini adalah rangsang pertama yang selalu melahirkan “tanya di hati” para pengarang kita. Hasilnya adalah karya-karya seperti Deru Campur Debu dan Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan yang Putus. Kedua buku ini memerlukan keterangan tersendiri.
Kedua buku ini “patut dibaca” sebagai satu kesatuan karena ada banyak sajak penting yang sama-sama termuat ke dalam buku itu. Konsekuensinya dari segi pembacaan sangat penting. Profesor Teeuw, misalnya, menunjukkan ada perbedaan tekstual antara sajak “Kawanku dan Aku” dalam kedua terbitan itu. Dalam Deru Campur Debu, bait terakhir sajak itu berbunyi “Sudah larut sekali/Hilang tenggelam segala makna/Dan gerak tak punya arti”. Sedangkan dalam Kerikil Tajam, bunyinya adalah “Sudah larut sekali/Hingga hilang segala makna/Dan gerak tak punya arti”. Analisis Profesor Teeuw menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kedua versi itu: “hingga hilang” dianggap lebih baik ketimbang “hilang tenggelam”.
Virtuositas Chairil dalam menyajak diimbangi dengan klop oleh kedalaman “isi” sajak-sajak dalam kedua buku yang terbit secara anumerta itu. Walhasil, banyak sajak Chairil yang sekaligus merupakan puisi suasana dan puisi ide karena efek yang ditumbulkannya dari teks.
Eksistensialisme sering dilekatkan pada sajak-sajak dalam buku-buku ini. Anasir yang paling sering dirujuk orang adalah hedonisme—baik positif maupun negatif—yang terkandung di dalam sajak-sajak itu. Bagi Jassin, seruan “Aku mau hidup seribu tahun lagi”, misalnya, pada masa sajak “Aku” ditulis adalah “goncangan” tersendiri terhadap kecenderungan umum yang berlaku pada masa sajak itu ditulis, yaitu kepasrahan total seperti yang dianjurkan oleh tradisi masyarakat Indonesia pada masa itu. Elan vital semacam inilah yang membuat penyairnya ditahbiskan sebagai “dewa sastra Indonesia” dan dipuja habis-habisan oleh banyak orang.
Orang juga merujuk kepada ekspresi eksistensialis lain yang diajukan oleh Chairil, yaitu kematian, tepatnya pada sajak “Yang Terampas dan yang Putus”:
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku
Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin
Malam semakin merasuk, rimba jadi semati tugu
Di karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
Lalu aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu
Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
Dua sajak yang berlainan “isi”-nya itu membuat kita menyadari kompleksitas kehidupan manusia. Seakan-akan sajak-sajak dalam buku-buku ini membukakan dugaan, bahwa orang yang haus akan hidup ternyata bisa juga sangat haus akan kematian.
“Isi” dari buku-buku semacam Deru Campur Debu dan Kerikil Tajam seringkali mendapatkan perhatian yang berlebih ketimbang “bentuk” sastra yang mewadahinya. Sehingga, kilauan wujudnya sebagai sebuah “komposisi sastra”—komposisi menyiratkan adanya campur tangan bakat, keahlian, dan ketekunan—seringkali kalah ketimbang “amanat” (atau “pesan” atau “isi”). Akibatnya cukup mengkhawatirkan.
Kecerlangan kedua buku itu membuat banyak orang hendak meniru sosok si pencipta. Sayangnya, yang kemudian ditirukan lebih banyak sekadar sosok lahiriah saja: penyair yang kumal, bohemian, “semau gue”, hedonistik. Sedangkan usaha penciptaan karya yang cerlang seperti kedua buku itu menjadi nomor dua: banyak penyair yang sekadar pesolek dan kenes namun miskin papa dalam soal karya.
Jika Deru Campur Debu dan Kerikil Tajam sering dirujuk sebagai perwujudan elan vital dan elan mortal pada titik paling ekstrem, Dan Kematian Makin Akrab, Atheis, duka-mu abadi, Ziarah, Sajak-sajak 33, Sebuah Radio, Kumatikan, dan Gairah untuk Hidup dan Gairah untuk Mati melakukan “pendalaman” pada ruang di antara kehidupan dan kematian.
Ruang di antara kedua titik itu terisi antara lain oleh pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan dan hubungan antarmakhluk (baik antarinsan maupun antara insan dengan makhluk lain).
Atheis mendedahkan pergolakan keyakinan seseorang akan Tuhan sebagai causa prima bagi segala sesuatu Dan Kematian Makin Akrab adalah kumpulan sajak-sajak pilihan dari seorang penyair yang telah puluhan tahun menggeluti persajakan dan menampilkan sajak-sajak yang kontemplatif dan ideistis, seperti “Salju” dan “Dan Kematian Makin Akrab”.
Sedangkan Sajak-sajak 33 dan Sebuah Radio, Kumatikan banyak menyoal hubungan antara laki-laki dan perempuan. Melalui komposisi yang rumit, misalnya, Cocktail Party mengungkapkan kegeraman atas “nasib” perempuan yang “dikutuk” untuk hidup dalam sebuah dunia sosial yang partriarkhal.
Sementara itu, duka-mu abadi adalah kumpulan komposisi literer yang banyak memanfaatkan simbol-simbol religius dan alam untuk mengartikulasikan pelbagai soal eksistensial. Gairah untuk Hidup dan Gairah untuk Mati langsung menyergap pembaca dengan judulnya, yang menggunakan tanda-tanda (hidup, mati) yang menjadi atribut dasar eksistensialisme—mahzab apapun. (Bersambung) [+baca-]
Label: 100 Buku Sastra
Thursday, April 23, 2009
Seratus Buku Sastra: Riuh Di Masa Jepang (4 dari 20)
Oleh AN Ismanto
Masa pendudukan Jepang (1942-1945) adalah periode yang buruk dalam sejarah Indonesia. Masa ini sering dilukiskan sebagai masa di mana situasi perang membuat orang Indonesia sangat menderita.
Pelukisan semacam ini merangsang timbulnya pandangan yang menempatkan para pelibat di dalamnya pada posisi yang oposisional secara eskstrem: ada penjajah dan ada pihak yang dijajah.
Ditulis jauh setelah masa itu berlalu, Dan Perang pun Usai punya kesempatan yang lebih luas untuk mendedahkan bahwa situasi perang pada masa itu sebenarnya mengandung kontradiksi-kontradiksinya sendiri.
Letnan Ose, pribadi yang hidup—dan berpencaharian—dari adanya perang namun justru menginginkan perang itu selesai, Wimpie si Belanda interniran Belanda, Kliwon si Jawa romusha yang digelandang ke Riau, Satiyah yang diperbantukan kepada Ose, adalah sosok-sosok yang tidak pas jika ditempatkan dalam relasi oposisional yang kaku.
Oleh keberadaan sosok-sosok itu, kehidupan pada masa yang keras itu dalam roman ini adalah kehidupan yang bergradasi, tak melulu hitam-putih. Namun komposisinya secara keseluruhan pekat oleh ideal populer bahwa perang membuat manusia sengsara dan manusia harus dibebaskan dari kesengsaraan itu.
Jalan pembebasan itu rupanya bagi sebagian besar tokohnya adalah kematian. Namun demikian, mereka yang tetap hidup pun dipandang sebagai ideal juga, yang punya kemuliaannya sendiri. Maka dapat dimafhumi bila Letnan Ose tak melakukan harakiri sebagaimana teman-temannya sesama serdadu Jepang.
Sedangkan perang yang terjadi selama Revolusi Fisik (1945-1950) dipandang lebih kurang sebagai perang yang adil (just war) oleh bangsa Indonesia—dan juga oleh sebagian besar pengarang Indonesia. Dalam perang total itu berhadapan kekuatan-kekuatan yang tujuannya saling bertolak belakang: yang satu kepingin kembali berkuasa sedangkan yang satu lagi menolak dikuasai oleh penguasa yang lama.
Dalam perkembangan situasi selama Revolusi Fisik itu, yang saling berhadapan bukan hanya dua kekuatan lagi, melainkan lebih. Sejarawan kita mencatat bahwa selama periode genting itu timbul berkali-kali perpecahan sosial politik yang melibatkan kekerasan.
Salah satu yang membuat publik sastra kita trenyuh sampai sekarang adalah tentang terbunuhnya Raja Penyair Pujangga Baru Amir Hamzah dalam revolusi sosial yang pecah di Sumatera Timur tak lama setelah Proklamasi.
Dalam lapangan politik, pihak “sini” goyah ketika suatu faksi politik menculik PM Hatta. Dalam lapangan ekonomi, Ori (Oeang Republik Indonesia) megap-megap digasak uang merah terbitan NICA. Dalam lapangan militer, TNI kacau balau sehingga NICA-KL/KNIL berhasil dua kali memuingkan garis pertahanan linear di Jawa dan Sumatera. Perpecahan semakin meluas ketika FDR melancarkan “kup” di Madiun pada 1948.
Di pihak “sana” sendiri terjadi bentrok antarpartai di Tweede Kamer ketika membahas persoalan Indonesia.
Puncak dari semua kemelut itu adalah perang. Bangsa yang hendak dijunjung tinggi oleh karya-karya sastra berbahasa Indonesia terancam batal dan, bahkan, punah.
Pagar Kawat Berduri dan Pulang adalah dua karya utama yang bercorak romantisisme revolusioner. Walaupun keduanya secara emosional menggambarkan peperangan itu sebagai perang yang syah dan secara keseluruhan merupakan glorifikasi terhadap periode penuh peluru dan pembunuhan itu, namun mereka punya asumsi-asumsi ideal masing-masing.
Pagar Kawat Berduri terasa lebih kosmopolit dan “toleran” karena memberikan ruang yang lapang juga kepada tokoh “musuh” untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya tentang relasi Indonesia-Belanda.
Sedangkan dalam hal tokoh-tokoh Indonesia, kedua roman itu sama-sama melukiskan sebagaimana galibnya dan sebagaimana seharusnya pelukisan tokoh pejuang pada masa itu: keras hati, rela berkorban, mencintai Tanah Air, namun dengan perumitan yang memperlihatkan “daging dan tubuh” mereka sehingga menjadi sosok yang seolah-olah bernyawa, utuh-lengkap sebagai manusia, termasuk pula dengan rasa-rasa negatif seperti benci, iri hati, takut.
Bahkan ketika tokoh utama dalam Pulang adalah “pejuang” yang pernah menjadi anggota Heiho serta melakukan kebohongan publik, ia dilukiskan tetap berusaha memenuhi ideal pejuang yang populer pada masa itu.
Latar untuk narasi-narasi dalam Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma merentang sejak masa pendudukan Jepang hingga Revolusi Fisik. Inilah kumpulan narasi yang membuat banyak orang menuduh pengarangnya sebagai “defaitistis” dalam revolusi Indonesia.
Berlawanan dengan karya-karya sastra yang memperlakukan masa Jepang dengan “intensifikasi kesengsaraan rakyat” dan revolusi dengan glorifikasi yang membuta-tuli, Dari Ave Maria penuh dengan narasi-narasi tentang “kejelekan-kejelekan” yang kontroversial dan skeptis, terutama dalam novelet “Surabaya”.
Namun “sisi lain” dari perjuangan itu justru menghadirkan warna lain dalam lanskap kesusastraan kita yang pada waktu itu masih hijau.
Gaya tutur dalam karya ini memang luar biasa dan “baru” bagi masanya yang masih belum lepas dari gaya romantik-impresionis. Dari Ave Maria ditulis dengan gaya yang disebut oleh HB Jassin sebagai “kesederhanaan baru”: kalimatnya pendek-pendek, pikiran-pikirannya meloncat-loncat, dalam satu kalimat terkandung banyak pikiran, pikiran dan perasaan tidak dituruti sampai yang sekecil-kecilnya, satu perkataan mengandung banyak asosiasi, artinya oleh satu perkataan itu orang jadi teringat pada banyak pikiran yang lain.
Lebih jauh, Jassin menyatakan bahwa narasi-narasi Idrus bukanlah cerita pendek, akan tetapi “lukisan-lukisan”, yang melukiskan keadaan-keadaan, kejadian-kejadian, dan kelakukan-kelakukan orang seorang sekelilingnya, tapi tidak sampai menceritakan dari semula hingga akhirnya pertumbuhan sesuatu kejadian atau sesuatu jiwa. Dengan kebaruan-kebaruan itulah maka dari Dari Ave Maria ditabalkan sebagai pembaharu prosa sastra Indonesia modern.
Jalan Tak Ada Ujung mengambil garis yang sama sinisnya dengan Dari Ave Maria. Namun, gaya tutur karya yang ditulis setelah konfrontasi dengan pihak “sana” rampung ini berlawanan dengan Dari Ave Maria. Perkembangan jiwa adalah pokok yang utama dan ditelisik perkembangannya sebegitu detail sejak awal hingga akhir sehingga ditemukan sebab-sebab penyimpangan yang terjadi.
Guru Isa, misalnya, diceritakan sembuh dari impotensi setelah ia mengetahui bahwa sebab penyakitnya itu adalah ketakutannya yang berlebihan kepada ketidakpastian dan kekerasan hidup yang muncul sebagai akibat masuknya kembali Belanda ke Indonesia. Dalam roman ini terlukiskan bahwa revolusi Indonesia, se-syah apapun, juga menimpakan akibat yang melukai kemanusiaan.
Mungkin, Jalan Tak Ada Ujung memang sebenarnya sepakat dengan adagium yang telah kelewat sering diulang-ulang itu: “Revolusi memakan anak-anaknya sendiri”. (Bersambung) [+baca-]
Masa pendudukan Jepang (1942-1945) adalah periode yang buruk dalam sejarah Indonesia. Masa ini sering dilukiskan sebagai masa di mana situasi perang membuat orang Indonesia sangat menderita.
Pelukisan semacam ini merangsang timbulnya pandangan yang menempatkan para pelibat di dalamnya pada posisi yang oposisional secara eskstrem: ada penjajah dan ada pihak yang dijajah.
Ditulis jauh setelah masa itu berlalu, Dan Perang pun Usai punya kesempatan yang lebih luas untuk mendedahkan bahwa situasi perang pada masa itu sebenarnya mengandung kontradiksi-kontradiksinya sendiri.
Letnan Ose, pribadi yang hidup—dan berpencaharian—dari adanya perang namun justru menginginkan perang itu selesai, Wimpie si Belanda interniran Belanda, Kliwon si Jawa romusha yang digelandang ke Riau, Satiyah yang diperbantukan kepada Ose, adalah sosok-sosok yang tidak pas jika ditempatkan dalam relasi oposisional yang kaku.
Oleh keberadaan sosok-sosok itu, kehidupan pada masa yang keras itu dalam roman ini adalah kehidupan yang bergradasi, tak melulu hitam-putih. Namun komposisinya secara keseluruhan pekat oleh ideal populer bahwa perang membuat manusia sengsara dan manusia harus dibebaskan dari kesengsaraan itu.
Jalan pembebasan itu rupanya bagi sebagian besar tokohnya adalah kematian. Namun demikian, mereka yang tetap hidup pun dipandang sebagai ideal juga, yang punya kemuliaannya sendiri. Maka dapat dimafhumi bila Letnan Ose tak melakukan harakiri sebagaimana teman-temannya sesama serdadu Jepang.
Sedangkan perang yang terjadi selama Revolusi Fisik (1945-1950) dipandang lebih kurang sebagai perang yang adil (just war) oleh bangsa Indonesia—dan juga oleh sebagian besar pengarang Indonesia. Dalam perang total itu berhadapan kekuatan-kekuatan yang tujuannya saling bertolak belakang: yang satu kepingin kembali berkuasa sedangkan yang satu lagi menolak dikuasai oleh penguasa yang lama.
Dalam perkembangan situasi selama Revolusi Fisik itu, yang saling berhadapan bukan hanya dua kekuatan lagi, melainkan lebih. Sejarawan kita mencatat bahwa selama periode genting itu timbul berkali-kali perpecahan sosial politik yang melibatkan kekerasan.
Salah satu yang membuat publik sastra kita trenyuh sampai sekarang adalah tentang terbunuhnya Raja Penyair Pujangga Baru Amir Hamzah dalam revolusi sosial yang pecah di Sumatera Timur tak lama setelah Proklamasi.
Dalam lapangan politik, pihak “sini” goyah ketika suatu faksi politik menculik PM Hatta. Dalam lapangan ekonomi, Ori (Oeang Republik Indonesia) megap-megap digasak uang merah terbitan NICA. Dalam lapangan militer, TNI kacau balau sehingga NICA-KL/KNIL berhasil dua kali memuingkan garis pertahanan linear di Jawa dan Sumatera. Perpecahan semakin meluas ketika FDR melancarkan “kup” di Madiun pada 1948.
Di pihak “sana” sendiri terjadi bentrok antarpartai di Tweede Kamer ketika membahas persoalan Indonesia.
Puncak dari semua kemelut itu adalah perang. Bangsa yang hendak dijunjung tinggi oleh karya-karya sastra berbahasa Indonesia terancam batal dan, bahkan, punah.
Pagar Kawat Berduri dan Pulang adalah dua karya utama yang bercorak romantisisme revolusioner. Walaupun keduanya secara emosional menggambarkan peperangan itu sebagai perang yang syah dan secara keseluruhan merupakan glorifikasi terhadap periode penuh peluru dan pembunuhan itu, namun mereka punya asumsi-asumsi ideal masing-masing.
Pagar Kawat Berduri terasa lebih kosmopolit dan “toleran” karena memberikan ruang yang lapang juga kepada tokoh “musuh” untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya tentang relasi Indonesia-Belanda.
Sedangkan dalam hal tokoh-tokoh Indonesia, kedua roman itu sama-sama melukiskan sebagaimana galibnya dan sebagaimana seharusnya pelukisan tokoh pejuang pada masa itu: keras hati, rela berkorban, mencintai Tanah Air, namun dengan perumitan yang memperlihatkan “daging dan tubuh” mereka sehingga menjadi sosok yang seolah-olah bernyawa, utuh-lengkap sebagai manusia, termasuk pula dengan rasa-rasa negatif seperti benci, iri hati, takut.
Bahkan ketika tokoh utama dalam Pulang adalah “pejuang” yang pernah menjadi anggota Heiho serta melakukan kebohongan publik, ia dilukiskan tetap berusaha memenuhi ideal pejuang yang populer pada masa itu.
Latar untuk narasi-narasi dalam Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma merentang sejak masa pendudukan Jepang hingga Revolusi Fisik. Inilah kumpulan narasi yang membuat banyak orang menuduh pengarangnya sebagai “defaitistis” dalam revolusi Indonesia.
Berlawanan dengan karya-karya sastra yang memperlakukan masa Jepang dengan “intensifikasi kesengsaraan rakyat” dan revolusi dengan glorifikasi yang membuta-tuli, Dari Ave Maria penuh dengan narasi-narasi tentang “kejelekan-kejelekan” yang kontroversial dan skeptis, terutama dalam novelet “Surabaya”.
Namun “sisi lain” dari perjuangan itu justru menghadirkan warna lain dalam lanskap kesusastraan kita yang pada waktu itu masih hijau.
Gaya tutur dalam karya ini memang luar biasa dan “baru” bagi masanya yang masih belum lepas dari gaya romantik-impresionis. Dari Ave Maria ditulis dengan gaya yang disebut oleh HB Jassin sebagai “kesederhanaan baru”: kalimatnya pendek-pendek, pikiran-pikirannya meloncat-loncat, dalam satu kalimat terkandung banyak pikiran, pikiran dan perasaan tidak dituruti sampai yang sekecil-kecilnya, satu perkataan mengandung banyak asosiasi, artinya oleh satu perkataan itu orang jadi teringat pada banyak pikiran yang lain.
Lebih jauh, Jassin menyatakan bahwa narasi-narasi Idrus bukanlah cerita pendek, akan tetapi “lukisan-lukisan”, yang melukiskan keadaan-keadaan, kejadian-kejadian, dan kelakukan-kelakukan orang seorang sekelilingnya, tapi tidak sampai menceritakan dari semula hingga akhirnya pertumbuhan sesuatu kejadian atau sesuatu jiwa. Dengan kebaruan-kebaruan itulah maka dari Dari Ave Maria ditabalkan sebagai pembaharu prosa sastra Indonesia modern.
Jalan Tak Ada Ujung mengambil garis yang sama sinisnya dengan Dari Ave Maria. Namun, gaya tutur karya yang ditulis setelah konfrontasi dengan pihak “sana” rampung ini berlawanan dengan Dari Ave Maria. Perkembangan jiwa adalah pokok yang utama dan ditelisik perkembangannya sebegitu detail sejak awal hingga akhir sehingga ditemukan sebab-sebab penyimpangan yang terjadi.
Guru Isa, misalnya, diceritakan sembuh dari impotensi setelah ia mengetahui bahwa sebab penyakitnya itu adalah ketakutannya yang berlebihan kepada ketidakpastian dan kekerasan hidup yang muncul sebagai akibat masuknya kembali Belanda ke Indonesia. Dalam roman ini terlukiskan bahwa revolusi Indonesia, se-syah apapun, juga menimpakan akibat yang melukai kemanusiaan.
Mungkin, Jalan Tak Ada Ujung memang sebenarnya sepakat dengan adagium yang telah kelewat sering diulang-ulang itu: “Revolusi memakan anak-anaknya sendiri”. (Bersambung) [+baca-]
Label: 100 Buku Sastra
Wednesday, April 22, 2009
100 Buku Sastra: Keras dan Bertendens! (Esei 3 dari 20)
Oleh AN Ismanto
Adalah menarik bahwa daftar 100 buku ini dibuka dengan sebuah karya prosa yang terbilang “keras” pada masa terbitnya: Student Hidjo. Paling tidak ada dua sebab kenapa ia menjadi “keras”—atau, lebih tepatnya, dianggap “keras”. Sebab pertama, tentu saja, adalah isinya, dan yang kedua adalah pengarangnya, Mas Marco Kartodikromo, pendiri JIB yang langganan tertimpa delik pers pemerintah kolonial.
Student Hidjo tampaknya menjadi semacam prototip, atau motif dasar, bagi karya-karya sastra Indonesia modern sehingga dapat disebut sebagai “sastra yang melawan”. Atribut “melawan” ini selalu menjadi pusat tikai yang seru di sepanjang pertumbuhan kesusastraan kita.
“Melawan”, oleh para penyair dan pengarang kita, tampaknya seringkali dimaknai sebagai “melawan” dalam pengertian politis. Di sini, kita berjumpa lagi dengan keruwetan rumusan seni untuk seni dan seni yang bertendens. Uraian HB Jassin tentang seni bertendens tampaknya cukup untuk membenahi keruwetan itu. Seni memang mengandung tendens, kata Jassin, namun tendens itu seringkali dikacaukan dengan propaganda politik. Ini kelihatan jelas pada masa Jepang di mana seniman dan sastrawan diwajibkan untuk mencipta karya-karya untuk keperluan propaganda dalam rangka memenangkan perang.
Tendens dalam seni dan sastra bagi Jassin bersifat inheren, namun bukan berupa propaganda. Jassin mem-pra-anggap-kan bahwa karya sastra punya “tugas” untuk melakukan sesuatu demi perbaikan masyarakat dan itu dilakukan melalui pengajaran. Contoh yang diajukannya adalah Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana.
Namun demikian, para pengarang kita memandang tendens itu dari sudut masing-masing. Hasilnya adalah karya-karya “bertendens” yang gradasi “pengajaran”-nya berbeda-beda. Seringkali kadar pengajaran yang paling kuat menguar adalah ketika suatu karya mendekatkan “pengajaran” itu dengan “perlawanan” politis. Dalam kelompok ini, terdapat enam buku, yaitu Student Hijo, Hikayat Kadiroen, Matinya Seorang Petani, Tirani dan Benteng, Saksi Mata, dan Aku Ingin Jadi Peluru.
Dalam kadar tertentu, ada karya yang mencapai taraf folk-art: Aku Ingin Jadi Peluru adalah alamat untuk “puisi-puisi perlawanan”. Setiap kali orang bicara tentang “puisi perlawanan”, orang selalu merujuk buku ini—dan juga, tentu saja, penyairnya: Wiji Thukul. Sebabnya, di dalam buku ini ada larik yang hampir selalu diserukan dalam demonstrasi di jalanan: “hanya satu kata: lawan!”.
Namun, jauh sebelum runtuhnya Orde Baru, Tirani dan Benteng juga mencapai taraf yang sama dengan Aku Ingin Jadi Peluru. Untuk merujuk kepada berdirinya Orde Baru, tumbangnya Orde Lama, pengkhinatan G 30 s/PKI (sic!), orang akan merujuk buku ini. “Kami adalah Pemilik Sah Republik Ini”, misalnya, adalah “sajak wajib” ketika orang berbicara tentang pergolakan di sekitar tahun 1965-1966 di Indonesia.
Anasir perlawanan yang lebih halus muncul dalam karya-karya terbitan awal Balai Pustaka. Badan bentukan kolonial ini mulanya diniatkan sebagai penyedia bacaan yang “aman” bagi masyarakat. “Aman” di sini diartikan terutama sebagai “tidak membahayakan kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda”. Maka jika ada anasir perlawanan yang progresif yang dimunculkan oleh badan yang disubsidi sangat besar oleh pemerintah kolonial, perlawanan itu haruslah bersifat sangat halus.
Maka karya-karya seperti Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, dan Salah Asuhan adalah karya-karya “melawan” yang telah mengalami domestifikasi atau publikisasi yang terbatas sifatnya: arah perlawanan tidak lagi ditujukan kepada pemerintah kolonial atau otoritas kekuasaan yang resmi melainkan kepada masyarakat sendiri, terutama kepada adat. Maka karya-karya ini lebih “lembut” walaupun sekaligus tampak ganjil bagi pembaca masa kini.
Sitti Nurbaya, misalnya, sering menjadi alamat bagi adat kawin paksa yang banyak dihujat. Padahal, Sitti Nurbaya dalam roman ini tidaklah terpaksa menikah lantaran adat, melainkan soal lain: ekonomi. Kejanggalan lainnya adalah asumsi prokolonial yang dikandungnya: Samsulbahri dilukiskan sebagai serdadu yang memerangi rakyat yang menolak belasting atau pajak yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial.
Posisi sebagai “bacaan” aman menimbulkan kesulitan lain. Selain harus menyiasati sensor dari staf Balai Pustaka dan persaingan dengan “bacaan-bacaan liar”, ketiga karya itu harus berkompetisi dengan khotbah atau ceramah agama karena teknik penceritaan mereka seringkali tidak berbeda jauh dari khotbah.
Penjauhan karya sastra dari hal ihwal politik yang dilakukan oleh Balai Pustaka rupanya menimbulkan kesadaran bahwa gerakan politik dan ideologi saja tidak cukup. Kesadaran tentang transformasi sosial harus dirangsangkan kepada pelaku gerakan itu sendiri, yaitu masyarakat. Terlepas dari nuansa didaktis-khotbah yang membuatnya agak kaku sebagai karya sastra, Layar Terkembang memenuhi rumusan Jassin tentang “karya bertendens”. Roman ini mengajukan ide-ide cemerlang tentang hal ini, terutama tentang emansipasi perempuan.
Sedangkan Belenggu bergerak semakin mendalam dengan melampaui batas sosial dan memasuki ranah psike. Monolog interior dalam Belenggu belum biasa digunakan pada masa roman ini terbit. Namun yang lebih belum biasa lagi adalah sikap dan ide yang diajukannya tentang hubungan pernikahan, peran intelektual dalam masyarakat, dan peran sosial perempuan. Saking janggalnya bagi masanya, novel ini ditolak oleh Balai Pustaka dan akhirnya diterbitkan oleh penerbit partikelir. Ketika diterbitkan pun, ia diterpa badai tanggapan sumir—termasuk, ironisnya, dari Sutan Takdir Alisjahbana yang menganjur-anjurkan modernisme.
Motif “perlawanan” ini menimbulkan sesuatu dalam pikiran. “Perlawanan” sebagai motif dasar, pola, sejajar dengan struktur “intrinsik” dalam karya sastra, terutama prosa fiksi. Bila pada puisi motif ini walaupun mudah “dirasakan” namun sukar “dibuktikan”, dalam prosa fiksi “perlawanan” adalah inheren dalam struktur “dalam” prosa fiksi yang aninom dan netral itu. Pola dasar dari cerita yang baik hanya itu-itu saja: pembukaan, pengenalan konflik, konflik, pemecahan masalah, penutup. Konflik di sini mengasumsikan adanya pihak-pihak yang saling berlawanan—kata “lawan” di sini menguarkan kesan agresif. Apakah hal ini berarti bahwa kita dapat memastikan bahwa “perlawanan”, “melawan”, “lawan”, adalah ajektif yang juga inheren dalam sastra Indonesia? (Bersambung) [+baca-]
Adalah menarik bahwa daftar 100 buku ini dibuka dengan sebuah karya prosa yang terbilang “keras” pada masa terbitnya: Student Hidjo. Paling tidak ada dua sebab kenapa ia menjadi “keras”—atau, lebih tepatnya, dianggap “keras”. Sebab pertama, tentu saja, adalah isinya, dan yang kedua adalah pengarangnya, Mas Marco Kartodikromo, pendiri JIB yang langganan tertimpa delik pers pemerintah kolonial.
Student Hidjo tampaknya menjadi semacam prototip, atau motif dasar, bagi karya-karya sastra Indonesia modern sehingga dapat disebut sebagai “sastra yang melawan”. Atribut “melawan” ini selalu menjadi pusat tikai yang seru di sepanjang pertumbuhan kesusastraan kita.
“Melawan”, oleh para penyair dan pengarang kita, tampaknya seringkali dimaknai sebagai “melawan” dalam pengertian politis. Di sini, kita berjumpa lagi dengan keruwetan rumusan seni untuk seni dan seni yang bertendens. Uraian HB Jassin tentang seni bertendens tampaknya cukup untuk membenahi keruwetan itu. Seni memang mengandung tendens, kata Jassin, namun tendens itu seringkali dikacaukan dengan propaganda politik. Ini kelihatan jelas pada masa Jepang di mana seniman dan sastrawan diwajibkan untuk mencipta karya-karya untuk keperluan propaganda dalam rangka memenangkan perang.
Tendens dalam seni dan sastra bagi Jassin bersifat inheren, namun bukan berupa propaganda. Jassin mem-pra-anggap-kan bahwa karya sastra punya “tugas” untuk melakukan sesuatu demi perbaikan masyarakat dan itu dilakukan melalui pengajaran. Contoh yang diajukannya adalah Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana.
Namun demikian, para pengarang kita memandang tendens itu dari sudut masing-masing. Hasilnya adalah karya-karya “bertendens” yang gradasi “pengajaran”-nya berbeda-beda. Seringkali kadar pengajaran yang paling kuat menguar adalah ketika suatu karya mendekatkan “pengajaran” itu dengan “perlawanan” politis. Dalam kelompok ini, terdapat enam buku, yaitu Student Hijo, Hikayat Kadiroen, Matinya Seorang Petani, Tirani dan Benteng, Saksi Mata, dan Aku Ingin Jadi Peluru.
Dalam kadar tertentu, ada karya yang mencapai taraf folk-art: Aku Ingin Jadi Peluru adalah alamat untuk “puisi-puisi perlawanan”. Setiap kali orang bicara tentang “puisi perlawanan”, orang selalu merujuk buku ini—dan juga, tentu saja, penyairnya: Wiji Thukul. Sebabnya, di dalam buku ini ada larik yang hampir selalu diserukan dalam demonstrasi di jalanan: “hanya satu kata: lawan!”.
Namun, jauh sebelum runtuhnya Orde Baru, Tirani dan Benteng juga mencapai taraf yang sama dengan Aku Ingin Jadi Peluru. Untuk merujuk kepada berdirinya Orde Baru, tumbangnya Orde Lama, pengkhinatan G 30 s/PKI (sic!), orang akan merujuk buku ini. “Kami adalah Pemilik Sah Republik Ini”, misalnya, adalah “sajak wajib” ketika orang berbicara tentang pergolakan di sekitar tahun 1965-1966 di Indonesia.
Anasir perlawanan yang lebih halus muncul dalam karya-karya terbitan awal Balai Pustaka. Badan bentukan kolonial ini mulanya diniatkan sebagai penyedia bacaan yang “aman” bagi masyarakat. “Aman” di sini diartikan terutama sebagai “tidak membahayakan kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda”. Maka jika ada anasir perlawanan yang progresif yang dimunculkan oleh badan yang disubsidi sangat besar oleh pemerintah kolonial, perlawanan itu haruslah bersifat sangat halus.
Maka karya-karya seperti Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, dan Salah Asuhan adalah karya-karya “melawan” yang telah mengalami domestifikasi atau publikisasi yang terbatas sifatnya: arah perlawanan tidak lagi ditujukan kepada pemerintah kolonial atau otoritas kekuasaan yang resmi melainkan kepada masyarakat sendiri, terutama kepada adat. Maka karya-karya ini lebih “lembut” walaupun sekaligus tampak ganjil bagi pembaca masa kini.
Sitti Nurbaya, misalnya, sering menjadi alamat bagi adat kawin paksa yang banyak dihujat. Padahal, Sitti Nurbaya dalam roman ini tidaklah terpaksa menikah lantaran adat, melainkan soal lain: ekonomi. Kejanggalan lainnya adalah asumsi prokolonial yang dikandungnya: Samsulbahri dilukiskan sebagai serdadu yang memerangi rakyat yang menolak belasting atau pajak yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial.
Posisi sebagai “bacaan” aman menimbulkan kesulitan lain. Selain harus menyiasati sensor dari staf Balai Pustaka dan persaingan dengan “bacaan-bacaan liar”, ketiga karya itu harus berkompetisi dengan khotbah atau ceramah agama karena teknik penceritaan mereka seringkali tidak berbeda jauh dari khotbah.
Penjauhan karya sastra dari hal ihwal politik yang dilakukan oleh Balai Pustaka rupanya menimbulkan kesadaran bahwa gerakan politik dan ideologi saja tidak cukup. Kesadaran tentang transformasi sosial harus dirangsangkan kepada pelaku gerakan itu sendiri, yaitu masyarakat. Terlepas dari nuansa didaktis-khotbah yang membuatnya agak kaku sebagai karya sastra, Layar Terkembang memenuhi rumusan Jassin tentang “karya bertendens”. Roman ini mengajukan ide-ide cemerlang tentang hal ini, terutama tentang emansipasi perempuan.
Sedangkan Belenggu bergerak semakin mendalam dengan melampaui batas sosial dan memasuki ranah psike. Monolog interior dalam Belenggu belum biasa digunakan pada masa roman ini terbit. Namun yang lebih belum biasa lagi adalah sikap dan ide yang diajukannya tentang hubungan pernikahan, peran intelektual dalam masyarakat, dan peran sosial perempuan. Saking janggalnya bagi masanya, novel ini ditolak oleh Balai Pustaka dan akhirnya diterbitkan oleh penerbit partikelir. Ketika diterbitkan pun, ia diterpa badai tanggapan sumir—termasuk, ironisnya, dari Sutan Takdir Alisjahbana yang menganjur-anjurkan modernisme.
Motif “perlawanan” ini menimbulkan sesuatu dalam pikiran. “Perlawanan” sebagai motif dasar, pola, sejajar dengan struktur “intrinsik” dalam karya sastra, terutama prosa fiksi. Bila pada puisi motif ini walaupun mudah “dirasakan” namun sukar “dibuktikan”, dalam prosa fiksi “perlawanan” adalah inheren dalam struktur “dalam” prosa fiksi yang aninom dan netral itu. Pola dasar dari cerita yang baik hanya itu-itu saja: pembukaan, pengenalan konflik, konflik, pemecahan masalah, penutup. Konflik di sini mengasumsikan adanya pihak-pihak yang saling berlawanan—kata “lawan” di sini menguarkan kesan agresif. Apakah hal ini berarti bahwa kita dapat memastikan bahwa “perlawanan”, “melawan”, “lawan”, adalah ajektif yang juga inheren dalam sastra Indonesia? (Bersambung) [+baca-]
Label: 100 Buku Sastra
Tuesday, April 21, 2009
100 Buku Sastra Indonesia yang Perlu Dibaca Sebelum Dikuburkan (esai 2 dari 20)
Oleh AN Ismanto
[seri tulisan ini adalah pengantar memasuki buku yang ditulis Tim Sastra IBOEKOE, "100 Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan". Sebuah sekoci kecil sastra yang muda belia dan dikarunia Tuhan banyak waktu luang untuk menulis]
Ini memang bukan serangkaian buku sastra terbaik. Tetapi bila suatu predikat memang diperlukan, maka “penting” boleh jadi lebih tepat. Dan karena “penting”, maka buku-buku ini “patut” untuk dibaca. Tentu saja predikat “penting” itu bakal memicu berondongan pertanyaan dan—mungkin—cercaan. Mengapa buku-buku ini penting? Apakah daftar ini hendak mengatakan bahwa buku-buku yang tak tercantum di sini “tidak penting”? Apakah kriteria pemilihan memang sudah “tepat” dan “valid”? Apa sebenarnya yang hendak digapai oleh buku ini?
Di hadapan berondongan semacam itu, tentu dibutuhkan penjelasan-penjelasan. Penjelasan tentang kriteria adalah yang terutama. Pemaparan tentang soal ini tampaknya sudah mencukupi untuk menjadi titik berangkat. Dengan mencermati kriteria-kriteria itu, misalnya, kita dapat mafhum kenapa buku-buku babon seperti Pokok dan Tokoh karya Profesor A. Teeuw, Kalangwan karya P. Zoetmoelder, dan Tambera karya Utuy T. Sontani tidak “terpilih”—Profesor Teeuw dan Romo Zoet menulis dalam bahasa Belanda dan Tambera pada mulanya ditulis dalam bahasa Sunda.
Barangkali juga ada gugatan: kenapa mesti karya-karya yang pada mulanya ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa lain yang tersebutkan dalam kriteria? Untuk menjawab gugatan ini, ada baiknya kita mengingat lagi bahwa bahasa—bahan dan media karya sastra itu—punya relung-relung budaya sendiri yang hanya bisa dipahami, diucapkan, dan dikomunikasikan oleh komunitas pewicaranya—secara metaforis, HB Jassin menyebut bahwa karya sastra adalah “suara hati suatu bangsa”. “Relung-relung budaya” ini di dalam bahasa Indonesia, Melayu Tinggi, Melayu Rendah/Pasar/Lingua Franca, tentu berbeda dari “relung-relung budaya” dalam bahasa-bahasa daerah—apalagi bahasa asing—dan karena itu membutuhkan pengolahan tersendiri.
Mungkin yang dapat diajukan sebagai kebaruan—kita tidak dapat menghindari pretensi “modernis” ini—adalah bahwa 100 buku “penting” itu disusun sedapat mungkin dengan melandaskan diri pada sang karya, walaupun sang pengarang bagaimana pun juga tidak dapat disihkan begitu saja dari pembicaraan.
Selama ini orang yang memelajari pertumbuhan sastra kita dihadapkan pada suatu lanskap yang terpilah-pilah dengan jelas oleh periodisasi atau pembagian angkatan. Paling tidak ada empat periodisasi yang berbeda-beda dan saling bersaing, yaitu periodisasi sastra oleh HB Jassin, Ajip Rosidi, Pramoedya Ananta Toer-Lekra, dan Korrie Layun Rampan. Bila bukan berdasarkan periodisasi, maka yang digunakan sebagai dasar biasanya adalah sang pengarang, seperti yang telah dilakukan oleh Profesor Teeuw dan Keith Foulcher.
Namun keseratus buku yang “terpilih” di sini disajikan secara urut berdasarkan tahun, mulai dari yang tertua (1919) hingga yang paling muda (2005) tanpa mementingkan benar periodisasi yang telah “baku” maupun siapa sang pengarang yang telah menciptakan karya—walaupun demikian, periodisasi tetap diperhitungkan sejauh memang diperlukan. Untuk rangkaian buku seri, yang diambil sebagai pengurut dalam penyajian sedapat mungkin adalah terbitan pada tahun pertama. Karena lebih mementingkan sang karya, maka boleh jadi ada pengarang yang menyumbangkan dua buku atau lebih ke dalam daftar. HB Jassin, misalnya, menyumbangkan buku-buku kritik maupun kumpulan polemik yang bagi kami terlalu “penting” untuk disisihkan dari daftar.
Ada keuntungan tersendiri dalam penyajian secara urut-tahun semacam itu. Kita dapat menghindari perdebatan usang tentang periodisasi atau angkatan dalam kesusastraan Indonesia modern. Perdebatan semacam ini sudah banyak dijumpai di tempat lain dan memberikan terlalu banyak perhatian kepadanya hanya akan menyendat langkah kita yang paling utama dalam laku bersastra: membaca sang karya. Lagipula pembagian angkatan biasanya dilakukan berdasarkan sang pengarang, bukan sang karya. Padahal, sang karyalah yang merupakan entitas paling penting dalam kesusastraan.
Tentang sang karya dan sang pengarang ini, Goenawan Mohamad pernah menulis bahwa pembaca kita punya kecenderungan untuk menempatkan sang pengarang di pusat walaupun semestinya yang berperan sebagai lakon utama di panggung sastra adalah sang karya. Pembaca kita “memaksa” sang karya untuk mundur atau bahkan menghilang ke balik punggung sang pengarang. Sang pengarang sendiri dimajukan dan, dalam bentuknya yang menakutkan, kecenderungan ini bahkan mencapai taraf nihilasi terhadapnya, seperti yang terjadi pada kasus Pramoedya Ananta Toer.
Dengan memberikan kesempatan kepada buku-buku sastra itu, sang karya, untuk tampil satu langkah lebih depan ketimbang sang pengarang, maka kita punya kesempatan yang lebih lapang untuk mengerti kenapa suatu karya tertentu punya jejak langkah yang kokoh dalam sejarah sastra. Dan bukankah kekokohan jejak itulah yang menjadi sebab utama kenapa sang pengarang selalu tersebut dalam sejarah sastra?
Dan untuk sementara, kita akan meminta sang pengarang untuk undur sejenak dan memberikan tempat paling depan kepada sang karya.
Namun, alangkah bijak jika kita juga selalu mengingat peringatan Profesor Teeuw bahwa dalam membaca suatu karya sastra, kita menghadapi keadaan yang paradoksal. Di satu pihak, sebuah karya sastra atau karya seni pada umumnya, merupakan keseluruhan yang bulat, yang berdiri sendiri, yang otonom dan yang boleh dan harus kita pahami dan tafsirkan pada dirinya sendiri. Karya itu adalah sebuah dunia rekaan yang tugasnya hanya satu saja: patuh-setia pada dirinya sendiri.
Tetapi di pihak lain, tidak ada karya seni mana pun juga yang berfungsi dalam situasi kosong: setiap sajak, cipta sastra atau karya seni, merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya, merupakan pola pelaksanaan pola harapan pada pembaca yang ditimbulkan dan ditentukan oleh sistem kode dan konvensi itu.
Hubungan antara dunia otonom dengan horison harapan-konvensi literer ini menimbulkan soal yang cukup membikin ruwet pembicaraan tentang sastra. Acapkali pembicaraan tentang suatu karya sastra, sebagaimana pada pembicaraan tentang karya-karya seni, terantuk dinding tak tertembus bernama “selera”. Pembicaraan tentang karya sastra yang mengandung penilaian (dalam artian preskriptif, baik-buruk, benar-salah) dengan dasar “selera” ini biasanya menjelma menjadi kuldesak karena tidak ada dialog—kata Immanuel Kant, selera tidak dapat diperdebatkan.
Kebuntuan pembicaraan berdasarkan “selera” itu kemudian oleh sebagian orang dipertentangkan dengan penilaian berdasarkan “kritik sastra”. Kritik sastra adalah cabang dari ilmu yang mensyaratkan obyektivitas dan menihilkan subyektivitas. Ia punya ukuran-ukurannya sendiri yang telah baku dan “ilmiah”—dan karena itu “benar”. Kekurangan kritik sastra semacam ini adalah kekakuan metode-metodenya dan ke-kering-an hasil-hasilnya. Banyak “jurnal sastra” yang “ilmiah” tak terbaca oleh khalayak yang lebih luas—mungkin karena memang tidak punya daya tarik untuk dibaca atau memang sengaja dibikin “tidak menarik untuk dibaca”—dan akhirnya membeku di rak-rak perpustakaan di kampus.
Buku ini tidak secara ekstrem menggunakan salah satu dari kedua cara pendekatan dan penilaian itu, namun cenderung bergerak di antara ketegangan yang muncul di antara keduanya. Memang ini bukan cara membicarakan sastra yang “ilmiah”, namun paling tidak dengan cara ini telah dibuka suatu ruang dialog untuk bertegur sapa dengan sang karya dan juga dengan penilaian yang beragam atasnya. (Bersambung) [+baca-]
[seri tulisan ini adalah pengantar memasuki buku yang ditulis Tim Sastra IBOEKOE, "100 Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan". Sebuah sekoci kecil sastra yang muda belia dan dikarunia Tuhan banyak waktu luang untuk menulis]
Ini memang bukan serangkaian buku sastra terbaik. Tetapi bila suatu predikat memang diperlukan, maka “penting” boleh jadi lebih tepat. Dan karena “penting”, maka buku-buku ini “patut” untuk dibaca. Tentu saja predikat “penting” itu bakal memicu berondongan pertanyaan dan—mungkin—cercaan. Mengapa buku-buku ini penting? Apakah daftar ini hendak mengatakan bahwa buku-buku yang tak tercantum di sini “tidak penting”? Apakah kriteria pemilihan memang sudah “tepat” dan “valid”? Apa sebenarnya yang hendak digapai oleh buku ini?
Di hadapan berondongan semacam itu, tentu dibutuhkan penjelasan-penjelasan. Penjelasan tentang kriteria adalah yang terutama. Pemaparan tentang soal ini tampaknya sudah mencukupi untuk menjadi titik berangkat. Dengan mencermati kriteria-kriteria itu, misalnya, kita dapat mafhum kenapa buku-buku babon seperti Pokok dan Tokoh karya Profesor A. Teeuw, Kalangwan karya P. Zoetmoelder, dan Tambera karya Utuy T. Sontani tidak “terpilih”—Profesor Teeuw dan Romo Zoet menulis dalam bahasa Belanda dan Tambera pada mulanya ditulis dalam bahasa Sunda.
Barangkali juga ada gugatan: kenapa mesti karya-karya yang pada mulanya ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa lain yang tersebutkan dalam kriteria? Untuk menjawab gugatan ini, ada baiknya kita mengingat lagi bahwa bahasa—bahan dan media karya sastra itu—punya relung-relung budaya sendiri yang hanya bisa dipahami, diucapkan, dan dikomunikasikan oleh komunitas pewicaranya—secara metaforis, HB Jassin menyebut bahwa karya sastra adalah “suara hati suatu bangsa”. “Relung-relung budaya” ini di dalam bahasa Indonesia, Melayu Tinggi, Melayu Rendah/Pasar/Lingua Franca, tentu berbeda dari “relung-relung budaya” dalam bahasa-bahasa daerah—apalagi bahasa asing—dan karena itu membutuhkan pengolahan tersendiri.
Mungkin yang dapat diajukan sebagai kebaruan—kita tidak dapat menghindari pretensi “modernis” ini—adalah bahwa 100 buku “penting” itu disusun sedapat mungkin dengan melandaskan diri pada sang karya, walaupun sang pengarang bagaimana pun juga tidak dapat disihkan begitu saja dari pembicaraan.
Selama ini orang yang memelajari pertumbuhan sastra kita dihadapkan pada suatu lanskap yang terpilah-pilah dengan jelas oleh periodisasi atau pembagian angkatan. Paling tidak ada empat periodisasi yang berbeda-beda dan saling bersaing, yaitu periodisasi sastra oleh HB Jassin, Ajip Rosidi, Pramoedya Ananta Toer-Lekra, dan Korrie Layun Rampan. Bila bukan berdasarkan periodisasi, maka yang digunakan sebagai dasar biasanya adalah sang pengarang, seperti yang telah dilakukan oleh Profesor Teeuw dan Keith Foulcher.
Namun keseratus buku yang “terpilih” di sini disajikan secara urut berdasarkan tahun, mulai dari yang tertua (1919) hingga yang paling muda (2005) tanpa mementingkan benar periodisasi yang telah “baku” maupun siapa sang pengarang yang telah menciptakan karya—walaupun demikian, periodisasi tetap diperhitungkan sejauh memang diperlukan. Untuk rangkaian buku seri, yang diambil sebagai pengurut dalam penyajian sedapat mungkin adalah terbitan pada tahun pertama. Karena lebih mementingkan sang karya, maka boleh jadi ada pengarang yang menyumbangkan dua buku atau lebih ke dalam daftar. HB Jassin, misalnya, menyumbangkan buku-buku kritik maupun kumpulan polemik yang bagi kami terlalu “penting” untuk disisihkan dari daftar.
Ada keuntungan tersendiri dalam penyajian secara urut-tahun semacam itu. Kita dapat menghindari perdebatan usang tentang periodisasi atau angkatan dalam kesusastraan Indonesia modern. Perdebatan semacam ini sudah banyak dijumpai di tempat lain dan memberikan terlalu banyak perhatian kepadanya hanya akan menyendat langkah kita yang paling utama dalam laku bersastra: membaca sang karya. Lagipula pembagian angkatan biasanya dilakukan berdasarkan sang pengarang, bukan sang karya. Padahal, sang karyalah yang merupakan entitas paling penting dalam kesusastraan.
Tentang sang karya dan sang pengarang ini, Goenawan Mohamad pernah menulis bahwa pembaca kita punya kecenderungan untuk menempatkan sang pengarang di pusat walaupun semestinya yang berperan sebagai lakon utama di panggung sastra adalah sang karya. Pembaca kita “memaksa” sang karya untuk mundur atau bahkan menghilang ke balik punggung sang pengarang. Sang pengarang sendiri dimajukan dan, dalam bentuknya yang menakutkan, kecenderungan ini bahkan mencapai taraf nihilasi terhadapnya, seperti yang terjadi pada kasus Pramoedya Ananta Toer.
Dengan memberikan kesempatan kepada buku-buku sastra itu, sang karya, untuk tampil satu langkah lebih depan ketimbang sang pengarang, maka kita punya kesempatan yang lebih lapang untuk mengerti kenapa suatu karya tertentu punya jejak langkah yang kokoh dalam sejarah sastra. Dan bukankah kekokohan jejak itulah yang menjadi sebab utama kenapa sang pengarang selalu tersebut dalam sejarah sastra?
Dan untuk sementara, kita akan meminta sang pengarang untuk undur sejenak dan memberikan tempat paling depan kepada sang karya.
Namun, alangkah bijak jika kita juga selalu mengingat peringatan Profesor Teeuw bahwa dalam membaca suatu karya sastra, kita menghadapi keadaan yang paradoksal. Di satu pihak, sebuah karya sastra atau karya seni pada umumnya, merupakan keseluruhan yang bulat, yang berdiri sendiri, yang otonom dan yang boleh dan harus kita pahami dan tafsirkan pada dirinya sendiri. Karya itu adalah sebuah dunia rekaan yang tugasnya hanya satu saja: patuh-setia pada dirinya sendiri.
Tetapi di pihak lain, tidak ada karya seni mana pun juga yang berfungsi dalam situasi kosong: setiap sajak, cipta sastra atau karya seni, merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya, merupakan pola pelaksanaan pola harapan pada pembaca yang ditimbulkan dan ditentukan oleh sistem kode dan konvensi itu.
Hubungan antara dunia otonom dengan horison harapan-konvensi literer ini menimbulkan soal yang cukup membikin ruwet pembicaraan tentang sastra. Acapkali pembicaraan tentang suatu karya sastra, sebagaimana pada pembicaraan tentang karya-karya seni, terantuk dinding tak tertembus bernama “selera”. Pembicaraan tentang karya sastra yang mengandung penilaian (dalam artian preskriptif, baik-buruk, benar-salah) dengan dasar “selera” ini biasanya menjelma menjadi kuldesak karena tidak ada dialog—kata Immanuel Kant, selera tidak dapat diperdebatkan.
Kebuntuan pembicaraan berdasarkan “selera” itu kemudian oleh sebagian orang dipertentangkan dengan penilaian berdasarkan “kritik sastra”. Kritik sastra adalah cabang dari ilmu yang mensyaratkan obyektivitas dan menihilkan subyektivitas. Ia punya ukuran-ukurannya sendiri yang telah baku dan “ilmiah”—dan karena itu “benar”. Kekurangan kritik sastra semacam ini adalah kekakuan metode-metodenya dan ke-kering-an hasil-hasilnya. Banyak “jurnal sastra” yang “ilmiah” tak terbaca oleh khalayak yang lebih luas—mungkin karena memang tidak punya daya tarik untuk dibaca atau memang sengaja dibikin “tidak menarik untuk dibaca”—dan akhirnya membeku di rak-rak perpustakaan di kampus.
Buku ini tidak secara ekstrem menggunakan salah satu dari kedua cara pendekatan dan penilaian itu, namun cenderung bergerak di antara ketegangan yang muncul di antara keduanya. Memang ini bukan cara membicarakan sastra yang “ilmiah”, namun paling tidak dengan cara ini telah dibuka suatu ruang dialog untuk bertegur sapa dengan sang karya dan juga dengan penilaian yang beragam atasnya. (Bersambung) [+baca-]
100 Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan (Esai 1 dari 20)
Oleh AN Ismanto
[seri tulisan ini adalah pengantar memasuki buku yang ditulis Tim Sastra IBOEKOE, "100 Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan". Sebuah tim sekoci kecil yang muda belia dan dikarunia Tuhan banyak waktu luang untuk menulis]
Harus dipahami baik-baik bahwa buku ini tidak bermaksud mengajukan suatu daftar “buku-buku terbaik” ataupun “buku-buku terpenting”. Tujuan utama buku ini ialah pertama-tama untuk menemui buku-buku karya sastra yang menjadi penopang utama Pax Literaria Indonesia.
Tetapi nyatalah bagi kita bahwa topangan semacam itu bukan hanya akan terasa dalam lapangan kesusastraan belaka. Ada buku-buku yang memang memberikan topangan atau hanya berpengaruh di lapangan itu saja tanpa diketahui oleh khalayak yang lebih luas, tetapi banyak juga yang pengaruhnya meloncati batas lapangan itu dan memasuki lapangan kemasyarakatan umum.
Maka masalah paling ruwet dalam pekerjaan seperti ini tentu saja masalah pemilihan. Secara otomatis sejumlah buku akan timbul seketika dalam pikiran dan subyektivitas akan turut campur. Dalam buku ini, subyektivitas itu dibangun oleh empat orang, yaitu An Ismanto, Anton Kurnia, Muhidin M Dahlan, dan Taufik Rahzen. Sedangkan sebagian besar dari buku-buku yang hinggap dalam pikiran dapat ditolak atau diterima dengan menggunakan beberapa ukuran.
Pertama, tentu saja, buku itu adalah buku karya sastra Indonesia—dalam pengertian yang paling luas, yang artinya akan mencakup buku-buku sajak, novel, esei, catatan perjalanan, biografi, cerita pendek, lakon/drama, fiksi, cerita silat, komik, dan sebagainya. Dengan atribut “Indonesia” dimaksudkan bahwa buku itu pada mulanya ditulis dalam bahasa Indonesia, Melayu Tinggi dan/atau Melayu Rendah/Pasar/Melayu Lingua Franca.
Kedua, ia harus “menggoncang” kesusastraan Indonesia. “Goncangan” itu harus timbul sebagai akibat dari daya besar yang dimilikinya sebagai karya sastra. Di sini diasumsikan bahwa sebuah karya memiliki strukturnya sendiri yang komplet dan self-sufficient, sehingga ia dapat berdiri sendirian ketika menjumpai pembaca dan sendirian pula mempertahankan diri di hadapan pisau bedah kritikus dan pakar sastra yang kredibel. Selain itu ia juga harus mampu memancing pembicaraan atau perdebatan yang luas di kalangan kesusastraan dan boleh jadi juga di kalangan masyarakat yang lebih luas.
Ketiga, buku itu tidak akan disisihkan bila memberikan pengaruh besar terhadap situasi kemasyarakat secara umum, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tolok ukurnya ada dua.
Tolok ukur pertama, buku itu masuk dalam sejarah sastra “resmi”, artinya masuk ke dalam kurikulum pengajaran bahasa dan sastra Indonesia yang diajarkan di sekolah. Dengan tolok ukur ini, maka sebagian besar dari karya-karya yang tercantum dalam buku-buku pelajaran bahasa Indonesia akan masuk ke dalam daftar. Alasannya, dengan masuk ke dalam kurikulum, maka semua orang yang pernah bersekolah dan mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia tentu kenal dengan buku-buku itu atau paling tidak pernah mengetahui nama pengarangnya—karena pastilah seorang pelajar di Indonesia oleh gurunya diperintahkan untuk “menghapal” judul-judul buku itu dan pengarangnya sekalian (ini adalah praktek yang umum di ruang-ruang kelas). Perkenalan inilah yang membangun pengertian awal khalayak tentang kesusastraan.
Tetapi, kita akan memberikan tempat utama kepada buku-buku yang telah memiliki “alamat” dalam kehidupan sehari-hari, seperti misalnya Sitti Nurbaya yang sering dirujuk orang ketika berbicara tentang adat dan kawin paksa.
Tolok ukur kedua, buku itu punya pengaruh yang nyata terhadap atau dalam kehidupan masyarakat walaupun tidak “diakui” oleh kurikulum resmi, misalnya sangat diminati masyarakat sehingga laris dalam penjualan atau membuka perspektif “yang lain” dalam memandang isi ceritanya. Golongan ini dihuni oleh cerita silat, komik wayang, dan novel-novel yang sering dicap sebagai roman picisan atau novel pop, termasuk chicklit atau teenlit. [+baca-]
[seri tulisan ini adalah pengantar memasuki buku yang ditulis Tim Sastra IBOEKOE, "100 Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan". Sebuah tim sekoci kecil yang muda belia dan dikarunia Tuhan banyak waktu luang untuk menulis]
Harus dipahami baik-baik bahwa buku ini tidak bermaksud mengajukan suatu daftar “buku-buku terbaik” ataupun “buku-buku terpenting”. Tujuan utama buku ini ialah pertama-tama untuk menemui buku-buku karya sastra yang menjadi penopang utama Pax Literaria Indonesia.
Tetapi nyatalah bagi kita bahwa topangan semacam itu bukan hanya akan terasa dalam lapangan kesusastraan belaka. Ada buku-buku yang memang memberikan topangan atau hanya berpengaruh di lapangan itu saja tanpa diketahui oleh khalayak yang lebih luas, tetapi banyak juga yang pengaruhnya meloncati batas lapangan itu dan memasuki lapangan kemasyarakatan umum.
Maka masalah paling ruwet dalam pekerjaan seperti ini tentu saja masalah pemilihan. Secara otomatis sejumlah buku akan timbul seketika dalam pikiran dan subyektivitas akan turut campur. Dalam buku ini, subyektivitas itu dibangun oleh empat orang, yaitu An Ismanto, Anton Kurnia, Muhidin M Dahlan, dan Taufik Rahzen. Sedangkan sebagian besar dari buku-buku yang hinggap dalam pikiran dapat ditolak atau diterima dengan menggunakan beberapa ukuran.
Pertama, tentu saja, buku itu adalah buku karya sastra Indonesia—dalam pengertian yang paling luas, yang artinya akan mencakup buku-buku sajak, novel, esei, catatan perjalanan, biografi, cerita pendek, lakon/drama, fiksi, cerita silat, komik, dan sebagainya. Dengan atribut “Indonesia” dimaksudkan bahwa buku itu pada mulanya ditulis dalam bahasa Indonesia, Melayu Tinggi dan/atau Melayu Rendah/Pasar/Melayu Lingua Franca.
Kedua, ia harus “menggoncang” kesusastraan Indonesia. “Goncangan” itu harus timbul sebagai akibat dari daya besar yang dimilikinya sebagai karya sastra. Di sini diasumsikan bahwa sebuah karya memiliki strukturnya sendiri yang komplet dan self-sufficient, sehingga ia dapat berdiri sendirian ketika menjumpai pembaca dan sendirian pula mempertahankan diri di hadapan pisau bedah kritikus dan pakar sastra yang kredibel. Selain itu ia juga harus mampu memancing pembicaraan atau perdebatan yang luas di kalangan kesusastraan dan boleh jadi juga di kalangan masyarakat yang lebih luas.
Ketiga, buku itu tidak akan disisihkan bila memberikan pengaruh besar terhadap situasi kemasyarakat secara umum, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tolok ukurnya ada dua.
Tolok ukur pertama, buku itu masuk dalam sejarah sastra “resmi”, artinya masuk ke dalam kurikulum pengajaran bahasa dan sastra Indonesia yang diajarkan di sekolah. Dengan tolok ukur ini, maka sebagian besar dari karya-karya yang tercantum dalam buku-buku pelajaran bahasa Indonesia akan masuk ke dalam daftar. Alasannya, dengan masuk ke dalam kurikulum, maka semua orang yang pernah bersekolah dan mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia tentu kenal dengan buku-buku itu atau paling tidak pernah mengetahui nama pengarangnya—karena pastilah seorang pelajar di Indonesia oleh gurunya diperintahkan untuk “menghapal” judul-judul buku itu dan pengarangnya sekalian (ini adalah praktek yang umum di ruang-ruang kelas). Perkenalan inilah yang membangun pengertian awal khalayak tentang kesusastraan.
Tetapi, kita akan memberikan tempat utama kepada buku-buku yang telah memiliki “alamat” dalam kehidupan sehari-hari, seperti misalnya Sitti Nurbaya yang sering dirujuk orang ketika berbicara tentang adat dan kawin paksa.
Tolok ukur kedua, buku itu punya pengaruh yang nyata terhadap atau dalam kehidupan masyarakat walaupun tidak “diakui” oleh kurikulum resmi, misalnya sangat diminati masyarakat sehingga laris dalam penjualan atau membuka perspektif “yang lain” dalam memandang isi ceritanya. Golongan ini dihuni oleh cerita silat, komik wayang, dan novel-novel yang sering dicap sebagai roman picisan atau novel pop, termasuk chicklit atau teenlit. [+baca-]
Subscribe to:
Posts (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::