Tuesday, April 21, 2009

100 Buku Sastra Indonesia yang Perlu Dibaca Sebelum Dikuburkan (esai 2 dari 20)

Oleh AN Ismanto

[seri tulisan ini adalah pengantar memasuki buku yang ditulis Tim Sastra IBOEKOE, "100 Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan". Sebuah sekoci kecil sastra yang muda belia dan dikarunia Tuhan banyak waktu luang untuk menulis]

Ini memang bukan serangkaian buku sastra terbaik. Tetapi bila suatu predikat memang diperlukan, maka “penting” boleh jadi lebih tepat. Dan karena “penting”, maka buku-buku ini “patut” untuk dibaca. Tentu saja predikat “penting” itu bakal memicu berondongan pertanyaan dan—mungkin—cercaan. Mengapa buku-buku ini penting? Apakah daftar ini hendak mengatakan bahwa buku-buku yang tak tercantum di sini “tidak penting”? Apakah kriteria pemilihan memang sudah “tepat” dan “valid”? Apa sebenarnya yang hendak digapai oleh buku ini?

Di hadapan berondongan semacam itu, tentu dibutuhkan penjelasan-penjelasan. Penjelasan tentang kriteria adalah yang terutama. Pemaparan tentang soal ini tampaknya sudah mencukupi untuk menjadi titik berangkat. Dengan mencermati kriteria-kriteria itu, misalnya, kita dapat mafhum kenapa buku-buku babon seperti Pokok dan Tokoh karya Profesor A. Teeuw, Kalangwan karya P. Zoetmoelder, dan Tambera karya Utuy T. Sontani tidak “terpilih”—Profesor Teeuw dan Romo Zoet menulis dalam bahasa Belanda dan Tambera pada mulanya ditulis dalam bahasa Sunda.

Barangkali juga ada gugatan: kenapa mesti karya-karya yang pada mulanya ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa lain yang tersebutkan dalam kriteria? Untuk menjawab gugatan ini, ada baiknya kita mengingat lagi bahwa bahasa—bahan dan media karya sastra itu—punya relung-relung budaya sendiri yang hanya bisa dipahami, diucapkan, dan dikomunikasikan oleh komunitas pewicaranya—secara metaforis, HB Jassin menyebut bahwa karya sastra adalah “suara hati suatu bangsa”. “Relung-relung budaya” ini di dalam bahasa Indonesia, Melayu Tinggi, Melayu Rendah/Pasar/Lingua Franca, tentu berbeda dari “relung-relung budaya” dalam bahasa-bahasa daerah—apalagi bahasa asing—dan karena itu membutuhkan pengolahan tersendiri.

Mungkin yang dapat diajukan sebagai kebaruan—kita tidak dapat menghindari pretensi “modernis” ini—adalah bahwa 100 buku “penting” itu disusun sedapat mungkin dengan melandaskan diri pada sang karya, walaupun sang pengarang bagaimana pun juga tidak dapat disihkan begitu saja dari pembicaraan.

Selama ini orang yang memelajari pertumbuhan sastra kita dihadapkan pada suatu lanskap yang terpilah-pilah dengan jelas oleh periodisasi atau pembagian angkatan. Paling tidak ada empat periodisasi yang berbeda-beda dan saling bersaing, yaitu periodisasi sastra oleh HB Jassin, Ajip Rosidi, Pramoedya Ananta Toer-Lekra, dan Korrie Layun Rampan. Bila bukan berdasarkan periodisasi, maka yang digunakan sebagai dasar biasanya adalah sang pengarang, seperti yang telah dilakukan oleh Profesor Teeuw dan Keith Foulcher.

Namun keseratus buku yang “terpilih” di sini disajikan secara urut berdasarkan tahun, mulai dari yang tertua (1919) hingga yang paling muda (2005) tanpa mementingkan benar periodisasi yang telah “baku” maupun siapa sang pengarang yang telah menciptakan karya—walaupun demikian, periodisasi tetap diperhitungkan sejauh memang diperlukan. Untuk rangkaian buku seri, yang diambil sebagai pengurut dalam penyajian sedapat mungkin adalah terbitan pada tahun pertama. Karena lebih mementingkan sang karya, maka boleh jadi ada pengarang yang menyumbangkan dua buku atau lebih ke dalam daftar. HB Jassin, misalnya, menyumbangkan buku-buku kritik maupun kumpulan polemik yang bagi kami terlalu “penting” untuk disisihkan dari daftar.

Ada keuntungan tersendiri dalam penyajian secara urut-tahun semacam itu. Kita dapat menghindari perdebatan usang tentang periodisasi atau angkatan dalam kesusastraan Indonesia modern. Perdebatan semacam ini sudah banyak dijumpai di tempat lain dan memberikan terlalu banyak perhatian kepadanya hanya akan menyendat langkah kita yang paling utama dalam laku bersastra: membaca sang karya. Lagipula pembagian angkatan biasanya dilakukan berdasarkan sang pengarang, bukan sang karya. Padahal, sang karyalah yang merupakan entitas paling penting dalam kesusastraan.

Tentang sang karya dan sang pengarang ini, Goenawan Mohamad pernah menulis bahwa pembaca kita punya kecenderungan untuk menempatkan sang pengarang di pusat walaupun semestinya yang berperan sebagai lakon utama di panggung sastra adalah sang karya. Pembaca kita “memaksa” sang karya untuk mundur atau bahkan menghilang ke balik punggung sang pengarang. Sang pengarang sendiri dimajukan dan, dalam bentuknya yang menakutkan, kecenderungan ini bahkan mencapai taraf nihilasi terhadapnya, seperti yang terjadi pada kasus Pramoedya Ananta Toer.

Dengan memberikan kesempatan kepada buku-buku sastra itu, sang karya, untuk tampil satu langkah lebih depan ketimbang sang pengarang, maka kita punya kesempatan yang lebih lapang untuk mengerti kenapa suatu karya tertentu punya jejak langkah yang kokoh dalam sejarah sastra. Dan bukankah kekokohan jejak itulah yang menjadi sebab utama kenapa sang pengarang selalu tersebut dalam sejarah sastra?

Dan untuk sementara, kita akan meminta sang pengarang untuk undur sejenak dan memberikan tempat paling depan kepada sang karya.
Namun, alangkah bijak jika kita juga selalu mengingat peringatan Profesor Teeuw bahwa dalam membaca suatu karya sastra, kita menghadapi keadaan yang paradoksal. Di satu pihak, sebuah karya sastra atau karya seni pada umumnya, merupakan keseluruhan yang bulat, yang berdiri sendiri, yang otonom dan yang boleh dan harus kita pahami dan tafsirkan pada dirinya sendiri. Karya itu adalah sebuah dunia rekaan yang tugasnya hanya satu saja: patuh-setia pada dirinya sendiri.

Tetapi di pihak lain, tidak ada karya seni mana pun juga yang berfungsi dalam situasi kosong: setiap sajak, cipta sastra atau karya seni, merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya, merupakan pola pelaksanaan pola harapan pada pembaca yang ditimbulkan dan ditentukan oleh sistem kode dan konvensi itu.

Hubungan antara dunia otonom dengan horison harapan-konvensi literer ini menimbulkan soal yang cukup membikin ruwet pembicaraan tentang sastra. Acapkali pembicaraan tentang suatu karya sastra, sebagaimana pada pembicaraan tentang karya-karya seni, terantuk dinding tak tertembus bernama “selera”. Pembicaraan tentang karya sastra yang mengandung penilaian (dalam artian preskriptif, baik-buruk, benar-salah) dengan dasar “selera” ini biasanya menjelma menjadi kuldesak karena tidak ada dialog—kata Immanuel Kant, selera tidak dapat diperdebatkan.

Kebuntuan pembicaraan berdasarkan “selera” itu kemudian oleh sebagian orang dipertentangkan dengan penilaian berdasarkan “kritik sastra”. Kritik sastra adalah cabang dari ilmu yang mensyaratkan obyektivitas dan menihilkan subyektivitas. Ia punya ukuran-ukurannya sendiri yang telah baku dan “ilmiah”—dan karena itu “benar”. Kekurangan kritik sastra semacam ini adalah kekakuan metode-metodenya dan ke-kering-an hasil-hasilnya. Banyak “jurnal sastra” yang “ilmiah” tak terbaca oleh khalayak yang lebih luas—mungkin karena memang tidak punya daya tarik untuk dibaca atau memang sengaja dibikin “tidak menarik untuk dibaca”—dan akhirnya membeku di rak-rak perpustakaan di kampus.

Buku ini tidak secara ekstrem menggunakan salah satu dari kedua cara pendekatan dan penilaian itu, namun cenderung bergerak di antara ketegangan yang muncul di antara keduanya. Memang ini bukan cara membicarakan sastra yang “ilmiah”, namun paling tidak dengan cara ini telah dibuka suatu ruang dialog untuk bertegur sapa dengan sang karya dan juga dengan penilaian yang beragam atasnya. (Bersambung)

No comments: