Sunday, April 27, 2008

Kebijakan Buku yang Memberdayakan

Oleh Anita Lie

Kebijakan pemerintah untuk membeli hak cipta buku pelajaran, seperti tercantum dalam Peraturan Mendiknas Nomor 2 Tahun 2008, menyulut kontroversi.

Junaidi Gafar khawatir program ini akan gagal karena masalah buku pelajaran di Indonesia ”tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan kekuasaan” semata. Juga dicemaskan dampak mematikan pada industri penerbitan jika pemerintah ”memaksakan membeli hak cipta buku pelajaran” (Kompas, 24/3/2008).

Sebaliknya, Rab A Broto menyambut gembira kebijakan ini karena ”selama ini penerbit terlalu banyak menangguk untung dan kurang memedulikan kemaslahatan orang banyak” (Kompas, 7/4/2008).

Di lapangan, sistem ini mirip mafia, terkait oknum penerbitan dan percetakan, birokrat di Depdiknas, makelar, kepala sekolah, dan guru yang terjalin rapi.

Tujuan mulia

Peraturan Mendiknas (Permendiknas) ini patut disambut positif dan diharapkan bisa menjadi alternatif atas mahalnya dan pergantian buku pelajaran tiap tahun karena seringnya modifikasi kurikulum.

Pemerintah memang berhak dan wajib membuat regulasi yang melindungi masyarakat dan memastikan akses terhadap pendidikan bermutu tidak terhambat variasi harga buku. Tanpa regulasi, eksploitasi pasar buku pelajaran tidak hanya menyudutkan masyarakat, tetapi juga memengaruhi etika birokrat dan pendidik.

Umum dipahami, alokasi hingga 35 persen harga buku (biasanya untuk toko buku) dijadikan iming-iming bagi birokrat dan pendidik yang berwenang memutuskan buku yang akan dipakai siswa. Meski sudah ada regulasi, kolusi pasar buku pelajaran dengan pendidik tidak bisa penuh diberantas dan menantang ancaman sanksi yang ditetapkan Permendiknas No 26/ 2005.

Agar Permendiknas No 2/ 2008 bisa mengatasi keterjangkauan buku pelajaran, pelaksanaan kebijakan ini perlu mengantisipasi beberapa hal.

Pertama, ketika pemerintah melaksanakan hak dan kewajiban regulasi, eksekusi dari hulu ke hilir oleh pemerintah atau badan kepanjangan tangan pemerintah (Badan Standar Nasional Pendidikan) mengandung risiko terbentuknya tirani kekuasaan dalam lahan baru.

Pemerintah mempunyai kekuasaan dan dana untuk memberi hibah kepada calon penulis buku, menilai kelayakan, dan membeli hak cipta (Pasal 3 dan 4) serta mengatur perizinan, distribusi, dan penjualan melalui jalur birokrasi dan koperasi sekolah (Pasal 8 dan 11). Tawaran pemerintah untuk membeli hak cipta akan menggiurkan sebagian calon penulis yang tergoda memuluskan jalan bersama oknum yang berwenang menilai kelayakannya.

Mekanisme yang menjamin transparansi memang dibutuhkan. Tanpa mekanisme dan transparansi, dikhawatirkan mutu buku pelajaran yang diloloskan menjadi taruhannya.

Selama ini, di balik kekurangan industri buku pelajaran, kompetisi bebas antarpenerbit membangun mekanisme seleksi penulis. Hal ini ikut mengembangkan kualitas buku yang lolos proses seleksi.

Untuk menghindari tirani birokrasi pendidikan, pelaksanaan kebijakan buku pelajaran perlu menciptakan kemitraan dan kesetaraan dengan penerbit buku pelajaran dan terus berupaya memberdayakan masyarakat pendidik. Harus diakui, penerbit sudah punya pengalaman dalam memproduksi dan distribusi.

Pengawasan masyarakat

Kedua, kebijakan buku juga perlu memberi ruang pilihan bagi masyarakat. Pengalaman penerbit dalam industri buku memungkinkan mereka membuat buku bermutu dari segi isi, grafis, dan cetakan.

Pasal 11 Permendiknas No 2/ 2008 melarang peredaran buku penerbit oleh aparat birokrasi dan pendidik. Pasal ini dimaksudkan untuk menghilangkan kemungkinan kolusi antara penerbit dan pendidik. Sebaliknya, pasal ini tidak membatasi hak pilih atas buku yang dianggap lebih bermutu.

Ketiga, mengharapkan pengawasan masyarakat dalam pelaksanaan Permendiknas No 2/2008. Keberdayaan masyarakat pendidikan terhadap kebijakan publik dan praktiknya—bahkan yang terkait kemaslahatan masyarakat—belum memadai untuk menjadi pilar kekuatan yang setara dengan pilar negara dan pasar. Bahkan, saat berhadapan dengan kekuatan pasar buku pelajaran, masyarakat pendidik cenderung ikut terbawa arus pasar.

Keadaan ini semua seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi penerbit untuk memperbaiki situasi. Kebijakan rabat yang mengatasnamakan proses distribusi dan secara terselubung digunakan birokrasi dan pendidik untuk mengeruk untung seharusnya bisa digunakan untuk membangun kapasitas masyarakat pendidik.

Tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menemukan penulis buku bermutu seharusnya bisa menjadi tanggung jawab sosial bagi penerbit untuk ikut memberikan pelatihan berkelanjutan bagi para calon penulis.

* Anita Lie Dosen FKIP Unika Widya Mandala, Surabaya; Anggota Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)

* Digunting dari Harian Kompas Edisi 23 April 2008

No comments: