Friday, September 14, 2007

Benang Kusut Buku Pelajaran

Oleh Darmaningtyas

Buku pelajaran merupakan senjata utama bagi seorang pelajar karena dalam buku itulah ada ilmu pengetahuan yang harus dikuasai oleh murid. Tapi ironisnya, di Indonesia masalah pengadaan buku pelajaran itu selalu menjadi masalah yang tak pernah terselesaikan. Justru sebaliknya, selalu melahirkan persoalan baru setiap tahun ajaran baru atau bahkan setiap semester, karena mekanisme pengadaannya yang penuh dengan nuansa bisnis.

Bagi masyarakat kebanyakan awam, masalah yang ditimbulkan oleh pengadaan buku pelajaran adalah selalu ganti setiap semester dan buku yng dipakai oleh murid sebelumnya tidak bisa digantikan kepada murid berikutnya.

Ini memang strategi penerbit untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari bisnis buku pelajaran. Bisnis buku pelajaran semacam itulah yang saya sebut sebagai bisnis buku yang memiskinkan dan membodohkan masyarakat.

Setelah masyarakat lebih dari sepuluh tahun mengeluh tentang bisnis buku yan membodohkan dan memiskinkan itu, pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian membuat kebijakan untuk memberlakukan buku ajar minimal lima ahun. Kebijkan itu kemudian dituangkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 11/2005. Keputusan tersebut dimaksudkan untuk mengakhiri bisnis buku pelajaran yang cenderung menyengsarakan masyarakat.

Di satu pihak, keputusan itu melegakan masyarakat karena ada payung hukum yang pasti untuk menolak bisnis buku pelalajaran yang menyengsarakan. Tapi di lain pihak, keluarnya keputusan yang terlambat (setelah dimulainya ajaran baru) membuat keputusan itu sia-sia belaka kerena orangtua sudah terlanjur membeli buku pelajaran untuk anak-anaknya yang masuk sekolah baru. Dengan kata lain, Keputusan Menteri tersebut baru akan efektif untuk tahun ajaran 2006/2007 nanti.

Keputusan Menteri Pendidikan mengenai masa berlaku buku pelajaran untuk masa minimal lima tahun itu belum terlaksana, tiba-tiba ada keputusan baru menyangkut penarikan buku pelajaran sejarah yang disusun berdasarkan kurikulum 2004 atau yang dikenal dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK).

Tidak ada alasan yang jelas mengapa buku pelajaran sejarah tersebut ditarik. Yang pasti, banyak orangtua yang sudah terlanjur membelikan buku pelajaran sejarah tersebut untuk anak-anak mereka. Dan ketika buku tersebut ditarik, tidak otomatis uang mereka dikembalikan oeleh pemerintah melalui penerbit. Artinya, masyarakat harus membayar mahal untuk sesuatu yang tidak berguna.

Isi Menyesatkan

Selain mekanisme pengadaannya yang menyengsarakan masyarakat, isi buku paket atau buku pelajaran itu sendiri bisa membingungkan atau menyesatkan murid-murid. Hal itu disebabkan tidak jelas betul pesan yang ingin disampaikan oleh penulis buku pelajaran, terutama dalam membuat soal-soal yang dimaksudkan untuk membantu pemahaman murid. Di bawah ini diberikan contoh materi materi pelajaran bahasa Indonesia kelas III semester I yang disusun berdasarkan kurikulum 1994.

Pada buku Bina Bahasa Indonesia 3A untuk Sekolah Dasar Kelas 3 Semester I, terbitan Erlangga yang disusun oleh Tim BKG, Kurikulum 1994 Suplemen 1999 halaman 8 dicontohkan mengenai penggunaan huruf kapital utuk nama suku bangsa dan bahasa. Contoh yang diberikan adalah 1) “Kami adalah bangsa …” (jawabannya Indonesia) dan 2) Di Kabupaten Banten berdiam suku…(jawabannya Baduy).

Kedua contoh di atas tidak ada persoalan karena pesan yang disampaikan jelas dan kedua pilihan yang diberikan juga tidak membingungkan, karena dari kedua contoh soal yang tersedia terdapat terdapat dua jawaban yang harus dipilih dan membedakannya juga amat jelas. Tapi sampai pada soal yang harus dikerjakan oleh murid amat membingungkan. Dari 10 pertanyaaan yang tersedia terdapat 10 alternatif jawaban. Tapi semua alternatif jawaban itu bisa benar semua bila diisikan ke dalam masing-msing pertanyaan, seperti yang terlihat di bawah ini:

Kerjakan seperti contoh!
1. Pamanku orang Bandung, ia adalah suku?
2. Bibiku pandai berbahasa?
3. Adikku ingin belajar bahasa?
4. Ayahnya termasuk suku?
5. Benarkah kamu termasuk bangsa?
6. Saya paham betul bahasa?
7. Di mana suku … berada?
8. Ayahku pernah bertemu dengan suku?
9. Kami senang bisa belajar bahasa?
10. Kami pernah mengunjungi suku?

Sedangkan alternatif jawabannya: Sunda, Jepang, Inggris, Bali, Arab, Betawi, Manado, Indian, Madura, Tengger.

Menyimak daftar pertanyaan dan alternatif jawaban seperti di atas, maka sebetulnya tidak ada jawaban tunggal. Pertanyaan nomor satu, misalnya, belum tentu jawabannya suku Sunda. Sebab bisa saja pamanku sebetulnya suku Madura, tapi karena sejak kecil tinggal di Bandung, maka ia lebih suka menyebutnya sebagai orang Bandung.

Demikian pula pertanyaan nomor dua, seandainya dijawab lebih dari satu alternatif jawaban yang tersedia sa-sah saja dan benar. Sebab sangat mungkin bibiku pandai berbahasa Jepang, Inggris, Bali, dan Arab. Atau pandai berbahasa Sunda, Jepang, Inggris, dan Arab. Hal yang sama berlaku untuk pertanyaan lainnya. Sebagai contoh pertanyaan No. 10, sah dan benar bila dijawab: Kami pernah mengunjungi suku Tengger, Sunda, Bali, Madura, atau bahkan suku Indian di Amerika sana. Seorang antropolog atau seorang traveler sangat mungkin mengunjungi banyak suku di negeri/dunia ini.

Isi buku yang membingungkan itu bila dipegang oleh guru yang tidak cerdas dan berpikir tertutup, akan menimbulkan kekerasan pada murid. Sebab, murid akan dipaksa untuk menjawab sesuai dengan selera guru.

Pada pertanyaan nomor satu mungkin guru akan memaksa murid untuk menjawab “suku Sunda”. Murid yang mempunyai jawaban lain bisa disalahkan, padahal jawaban murid yang sembarang pasti benar bila mereka masih tetap mengambil salah satu atau beberapa dari 10 alternatif jawaban yang tersedia.

Contoh di atas diambil hanya dari satu halaman salah satu buku pelajaran saja. Bila kita coba telisik semua buku pelajaran dari TK hingga SMA, sangat mungkin akan ditemukan banyak kesalahan informasi maupun contoh soal sehingga akibatnya buku itu tidak mencerdaskan murid, tapi membingungkan dan menyesatkan murid.

Di mana letak kesalahan contoh soal di atas? Jawaban yang tersedia tidak fokus! Padahal, soal yang akurat harus memberikan alternatif jawaban pasti, karena kepastian itu menunjukkan bahwan pesan yang ingin disampaikan sangat jelas. Bila pesannya tidak jelas, murid bisa menjawab sembarangan dan tidak disalahkan. Kekeliruan yang ada dalam buku di atas sangat menyedihkan karena buku itu disusun oleh Tim Bina Karya Guru. Bila para guru yang menyusun saja tidak tidak menyadari adanya kesalahan yang sangat fatal, bagaimana mungkin guru pemakainya “yang dengan keterbatasan kemampuannya” akan bersikap kritis dan mengetahui kesalahan buku itu? Guru kemudian memproduksi kesalahan secara terus-menerus.

Darmaningtyas, Anggota Dewan Penasihat Center for the Betterment of Education, di Jakarta

* Digunting dari Harian Media Indonesia Edisi Selasa 20 Agustus 2005

No comments: